Diakon Vincentius Namapadji Kopong Daten

Ketika mengenang perjalanan saya menuju imamat, saya menyadari bahwa perjalanan tersebut dipenuhi oleh berbagai cobaan dan anugerah. Namun, dengan penuh syukur, saya bisa mengatakan bahwa sebagian besarnya adalah anugerah. Saya mengingat usaha keras orang tua saya dalam mendidik iman saya dan saudara-saudara saya. Saya bersyukur atas teladan hidup beriman yang luar biasa yang saya terima dari keluarga,  lingkungan tempat saya tumbuh, dan orang-orang yang telah membentuk serta mempersiapkan saya untuk menanggapi panggilan dalam pelayanan imamat. Selain itu, saya merasa beruntung berasal dari Paroki Sta. Maria Mater Dolorosa SoE, salah satu wilayah paroki di Keuskupan Agung Kupang, yang subur akan panggilan. Banyaknya imam dan biarawan/biarawati yang berasal dari paroki ini memotivasi banyak anak untuk merasakan panggilan yang sama.

Saat diminta untuk menuliskan refleksi panggilan saya ini, alasan saya masuk seminari, dan ketertarikan saya untuk menjadi seorang imam. Pertama-tama saya harus mengakui bahwa hal itu sulit dijelaskan secara menyeluruh. Panggilan ini tetap merupakan misteri, bahkan bagi saya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa menjelaskan jalan Tuhan? Tidak ada yang benar-benar tahu.

Motivasi awal saya masuk ke Seminari bukanlah karena keinginan untuk menjadi seorang imam. Saat menjelang lulus SMP, saya bersama beberapa teman seangkatan mendaftarkan diri ke pastor paroki saya waktu itu untuk masuk Seminari. Mungkin bagi teman-teman saya yang lain, alasan mereka ingin masuk Seminari adalah memang untuk menjadi imam. Namun, bagi saya, saat itu saya ikut mendaftar karena saya sendiri bingung ingin melanjutkan pendidikan di mana setelah lulus. Selain itu, saya melihat banyak teman dan kakak kelas dari SMP kami yang memilih melanjutkan pendidikan ke Seminari setelah lulus. Ketika Pastor Paroki bertanya, “apakah kamu mau masuk Seminari?” Saya menjawab, “ia romo, saya mau!” tanpa motivasi seutuhnya untuk menjadi imam. Saya tertarik untuk mendaftar karena ada banyak teman yang juga mau, ditambah lagi kakak kandung saya sudah lebih dahulu bersekolah di Seminari.

Kehidupan Seminari yang Menumbuhkan Panggilan

Ketertarikan saya untuk menjadi imam justru tumbuh dan berproses ketika saya sudah beberapa tahun menjalani pendidikan dan pembinaan di Seminari Menengah. Hubungan persaudaraan dengan teman-teman seangkatan saya adalah momen yang sangat saya hargai sebagai seorang seminaris. Seminari adalah tempat di mana seseorang dapat menemukan Gereja masa depan. Saya sangat bahagia diberi kesempatan menjadi bagian dari Gereja masa depan itu. Bersama dengan para seminaris lainnya, seluruh lingkungan Seminari bagi kami adalah tempat untuk mempelajari kebijaksanaan dan kebenaran surgawi. Di sini, saya mulai jatuh cinta dengan kehidupan di Seminari.

Tahun-tahun saya di Seminari membentuk saya menjadi seseorang yang lebih baik dan mengajari saya cara menjadi murid yang lebih baik. Saya teringat akan perjumpaan saya dengan sebuah kertas usang yang entah kenapa ada di lorong menuju kapel Seminari. Entah kenapa juga harus saya yang mengambilnya. Kertas usang itu berisikan kata-kata St. Leonardus dari Porto Mauritio, bunyinya demikian “Bahasa manusia atau malaikat manakah yang dapat menggambarkan kuasa yang tak terukur seperti yang dilakukan seorang imam dalam perayaan ekaristi? Siapakah yang dapat membayangkan bahwa suara manusia, yang secara kodrat tidak memiliki kuasa bahkan untuk mengangkat jerami dari tanah, memperoleh melalui Rahmat, sebuah kekuatan yang luar biasa sehingga dapat membawa Putera Allah dari surga ke bumi?”

Jika tadi saya hanya sebatas jatuh cinta pada kehidupan di seminari, perjumpaan dengan kertas usang itu membuat saya mulai jatuh cinta pada panggilan menuju imamat. Saya tahu bahwa pada suatu titik dalam hidup saya, saya menyadari bahwa menjadi seorang imam adalah sesuatu yang istimewa. Betapa istimewanya itu, sehingga hanya mereka yang memiliki martabat imamat lah yang dapat mengucapkan doa konsekrasi yang sama dengan yang diucapkan Yesus beribu-ribu tahun yang lalu. Ya, panggilan imamat adalah karunia yang berharga. Jadi saya terus-menerus bersyukur kepada Tuhan atas karunia panggilan saya yang berharga ini.  Sejak saat itu, doa dan harapan saya setiap membuat tanda salib saat masuk dan keluar gereja adalah “Tuhan, saya mau jadi imam. Bantu saya!”

Dari Kupang ke Tanjungkarang

Beberapa tahun terakhir ini, Keuskupan Agung Kupang (KAK) telah mengirim misionaris dalam negeri ke beberapa keuskupan: Padang, Palembang, Sorong, Manokwari, dan Tanjung Selor. Untuk Tanjungkarang, ini yang pertama. Perutusan ini merupakan salah satu aspek dari refleksi sinodal yang diminta oleh Paus Fransiskus. Ini merupakan perwujudan misi KAK setelah mengalami proses sinodal berjalan bersama dalam persekutuan, partisipasi, dan misi sejak 2021-2023. Dengan demikian, Gereja KAK melaksanakan misi melalui perutusan para misionaris KAK dalam bingkai kesatuan Gereja universal. Keuskupan yang surplus imam untuk membantu keuskupan lain yang membutuhkan. Dari perspektif ini, Gereja KAK telah mewujudkan semangat sinodal berjalan bersama dalam aspek misi.

Beberapa bulan menjelang tahbisan diakonat di Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui-Kupang, kami dipanggil satu per satu dan ditanyai kesiapan dan pandangan kami perihal misi ini. Sebagai seorang yang akan mengucapkan janji untuk taat pada uskup, saya menjawab, “Ya, saya bersedia untuk mendukung semua program dari keuskupan. Saya bersedia diutus jika ada keuskupan yang membutuhkan dan meminta. Namun dengan satu syarat, saya mau ditahbiskan menjadi imam di sini, di Keuskupan Agung Kupang”.

Beberapa minggu sebelum tahbisan, saya dipanggil lagi dan diberitahu bahwa saya akan ditugaskan ke Keuskupan Tanjungkarang dan akan ditahbiskan menjadi imam di sana. Perasaan berkecamuk seketika muncul dalam diri saya. Saya menyesali waktu di mana saya memberikan jawaban “bersedia untuk diutus”. Harusnya jawaban saya waktu itu adalah “tidak bersedia”. Saya mulai mengkhawatirkan dan mencemaskan kesiapan saya untuk itu. Saya takut harus meninggalkan kenyamanan saya di KAK. Saya cemas harus meninggalkan begitu banyak orang yang mengasihi saya. Saya menyesal kenapa harus ditahbiskan menjadi imam di keuskupan orang. Begitu banyak orang yang mengenal saya, mendukung dan menemani saya dalam perjalanan imamat, tidak akan bisa menyaksikan tahbisan saya secara langsung. Saya menyesal, kenapa perasaan ini baru muncul ketika keputusan sudah ditetapkan. Sejujurnya, saya takut.

Mengetahui bahwa saya mengalami tekanan yang luar biasa, salah seorang romo formator kami, seorang imam senior di KAK yang kini berusia 82 tahun, memanggil saya. Usianya menunjukkan bahwa ia telah melewati pahit manisnya perjalanan hidup maupun imamat. Seringkali dia meminta bantuan saya untuk mengemudikan mobilnya, baik untuk pergi pelayanan maupun sekedar membeli obat. Di atas mobil dia menanyakan kesiapan saya untuk bermisi di keuskupan Tanjungkarang. “Apakah kamu siap?” “Kapan kalian berangkat?” dan masih banyak lagi. Semua pertanyaan itu tidak ada satupun yang saya jawab. Sampai akhirnya, mungkin dia mengerti perasaan saya dan membagikan pengalamannya ketika masih muda. Ia ditunda selama 7 tahun untuk ditahbiskan menjadi diakon. Ia dikirim ke pulau Alor tanpa kejelasan dari keuskupan mengenai kapan ia akan ditahbiskan. Saat itu ia katakan pada saya, “Jangan takut. Dulu saya juga tidak mau untuk pergi ke sana (alor). Namun di hari ini, saya bersyukur dan katakan bahwa, ‘Untung Saya Pernah ke Alor’”. Kata-katanya itu membekas di hati saya. Saya mulai merenungkan, apakah suatu hari nanti saya juga bisa mengatakan “Untung Saya Pernah ke Tanjungkarang”. Saya telah berjuang selama belasan tahun di Seminari untuk ditahbiskan. Meragukan penyertaan Tuhan dalam hidup saya di masa depan tentu adalah langkah yang tidak bijaksana. Sedikit lagi saya ditahbiskan. Saya memberanikan diri untuk terus maju. Saya sadar bahwa kesulitan apapun yang dihadapi dalam perjalanan panggilan, tidak ada apa-apanya dengan penderitaan Yesus di kayu salib.

Kasih karunia di atas kasih karunia. Itulah yang Tuhan berikan kepada saya di hari pentahbisan saya menjadi Diakon. Ketika saya mengingat kembali saat pentahbisan itu, saya ingat air mata sukacita mengalir di wajah saya ketika saya bersujud di lantai selama litani orang kudus. Itu damai, itu menyenangkan, itu terasa benar. Saya tidak lagi takut. Sekarang saya seorang Diakon, dan yang saya rasakan hanyalah sukacita. Saya memikirkan fakta bahwa saya berdiri lagi setelah litani dan doa tahbisan itu. Secara metaforis, dari kehidupan lama menuju kehidupan baru. Saya meninggalkan kehidupan lama untuk menjalani kehidupan baru dalam pelayanan kepada Allah dengan keyakinan dan harapan dalam kuasa-Nya.

Saya teringat akan homili Bapak Uskup Agung Kupang dalam misa pentahbisan kami sebagai diakon. “Diakon dilahirkan dari altar. Di dalam jantung perayaan ekaristi, diakon dilahirkan dalam doa. Itulah doa tiada henti dari Gereja yang dipercayakan secara khusus kepada para pelayan khusus. Peliharalah dialog yang intens dan penuh kasih dengan Bapa. Berdoalah untuk kalian dan untuk seluruh dunia. Doa membantu kalian untuk naik ke atas, melampaui keramaian kota dan aneka kecemasan sepanjang hari. Untuk membersihkan penglihatan dan hati. Penglihatan untuk memandang dunia dengan mata Allah dan hati untuk mencintai sesama dengan hati Allah.

Sebagai seorang diakon, saya sadar bahwa kesetiaan pengabdian saya kepada Allah dan Gereja telah saya nyatakan di hadapan uskup dan seluruh umat dengan mengikrarkan janji untuk hidup setia serta janji ketaatan kepada uskup. Perlahan-lahan, saya berusaha memahami bahwa perutusan ke keuskupan Tanjungkarang adalah jalan-jalan Tuhan untuk saya. Saya mulai paham bahwa bukan tempat di mana saya ditahbiskan yang menjadi hal utama, melainkan kesiapan batin saya untuk menerima tugas dan tanggung jawab lebih besar sebagai seorang pelayan Allah lah yang utama. Kalau saya belum bersedia diutus ke mana saja, berarti saya belum siap untuk menjadi murid. Kalau saya menolak tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepada saya, itu berarti saya mengingkari janji pengabdian kepada Allah yang saya nyatakan di hadapan uskup dan seluruh umat.  Saya berdoa agar dapat melihat perutusan ini dengan maksud Allah – dengan mata kasih dan pengertian.

Dalam perjalanan dari Kupang menuju Tanjungkarang, saya merefleksikan motto episkopal dari Bapak Uskup Agung Kupang: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” dan motto episkopal dari Bapak Uskup Tanjungkarang: “Tetapi karena Engkau yang menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga”. Dua motto episkopal dengan topografi wilayah yang jauh berbeda. “Padang dan Lautan”. “Anak padang diutus ke lautan”. “Saya anak gembala, diutus untuk menebarkan jala”. Tentu, ini bukanlah tugas yang mudah. Penyesuaian akan menjadi bagian penting dari perjalanan ini. Saya menyadari bahwa saya perlu banyak belajar lagi.

Saya memilih motto tahbisan: “Janji-Mu sangat teruji dan hamba-Mu mencintainya” (Mazmur 119:140). Saya memilih motto ini saat refleksi akhir menjelang tahbisan diakonat. Sebagai seorang beriman, saya tahu bahwa tidak pernah ada saat ketika Tuhan tidak bersama saya, sebagai kekuatan yang melampaui usaha saya, sebagai hikmat yang lebih besar daripada pemahaman saya. Ya, Janji Tuhan untuk senantiasa menyertai itu saya rasakan dalam hidup saya. Maka mencintai-Nya adalah sebuah perjalanan spiritual yang memperkuat iman dan karakter saya. Ini adalah komitmen yang dibangun melalui pengalaman, kesetiaan, dan pengakuan akan kasih Allah yang tidak pernah pudar. Saya percaya bahwa ke mana pun saya diutus, janji Allah untuk menyertai itu selalu tergenapi. Ya, saya siap untuk diutus. Inilah saatnya memulai perjalanan misi. Sebuah perutusan suci. Diterima dengan kesungguhan hati. Dijalani dengan sukacita injil.

Demikianlah refleksi saya akan perjalanan panggilan yang saya tempuh hingga saat ini, atau lebih tepatnya, perjalanan yang telah saya tempuh dengan Rahmat Tuhan. Saya tahu dengan keyakinan penuh bahwa hanya cinta yang membuat perjalanan itu menjadi mungkin. Dan pada akhirnya, saya teringat akan surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Tesalonika, “berdoalah untuk kami, supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2 Tes 3:1).  Saya sadar bahwa saya adalah manusia lemah yang membutuhkan doa, bantuan dan dukungan dari orang lain. Besar harapan saya adalah bahwa saya menjadi pelayan yang dapat bekerja sama dengan banyak pihak untuk mendatangkan sukacita dan keselamatan bagi banyak orang.

Saya berdoa, semoga Allah yang telah memulai karya yang baik dalam diri saya berkenan menyelesaikannya pula. ***

Nama                                       : Marys Vincentius Namapadji Kopong Daten

Tempat dan Tanggal Lahir      : SoE, 27 September 1996

Anak ke                                   : 3 dari 4 bersaudara

Paroki Asal                              : Sta. Maria Mater Dolorosa SoE – Keuskupan Agung Kupang

Orang Tua

Ayah                                        : Gorys Sahar Tupen Masan

Ibu                                           : Mariana Leba

Masa Pendidikan dan Imamat

SD                                           : SDK Yaswari V SoE (2002-2008)

SMP                                        : SMPK Sint Vianney SoE (2008-2011)

SMA                                       : SMA Seminari St. Rafael Oepoi – Kupang (2011-2015)

TOR                                        : TOR Lo’o Damian Emaus – Atambua (2015-2016)

Seminari Tinggi                       : Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui – Kupang (2016-2024)

Filsafat                                                : Fakultas Filsafat Unika Widya Mandira – Kupang (2016-2020)

TOP                                         : Kuasi Paroki St. Andreas Lasiana – Kupang (2020-2022)

Pendidikan Teologi                 : Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui – Kupang (2022-2024)

Tahbisan Diakonat                  : Kapela Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui,

oleh Mgr. Hironimus Pakaenoni, Uskup Agung Kupang

(31 Mei 2024)

Masa Diakonat                        : Paroki St. Yohanes Rasul Kedaton (Juli 2024-sekarang)

Motto Tahbisan                       : Mazmur 119:140 “Janji-Mu sangat teruji, dan hamba-Mu

mencintainya”

 

 

 

 

Berita lain dari Keuskupan

  • All Posts
    •   Back
    • Berita Katolik Dunia
    • Berita Keuskupan
    • Komsos KWI
    • Komisi Keluarga

Keuskupan Tanjungkarang

keuskupantanjungkarang.org adalah website resmi Keuskupan Tanjungkarang yang dikelola langsung oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Tanjungkarang

Kritik, usul, dan saran dapat menghubungi kami melalui komsosktjk18@gmail.com

Lokasi Kantor Keuskupan Tanjungkarang

© 2018-2024 Komsos Tanjungkarang | Designed by Norbertus Marcell

You cannot copy content of this page

Scroll to Top