Diakon Chosmas Oswyn Koba

Panggilan menjadi seorang imam bagi pribadi saya adalah jalan mulia yang begitu menyenangkan. Menyenangkan karena ketika dijalani dengan sukacita dan tanpa ketakutan semuanya akan baik-baik saja. Bagi saya, Tuhan Yesus selalu menyertai saya dalam jalan ini. Ia selalu berada di samping saya. Panggilan mengikuti-Nya, saya alami ketika berada di bangku Sekolah Dasar (SD); waktu itu saya ditanya oleh paman saya yang adalah guru matematika di sekolah. Katanya jika saya jadi imam maka bakat menyanyi saya akan semakin berkembang hal ini karena beliau mengetahui bahwa saya suka menyanyi. Lambatlaun akhirnya saya berniat masuk seminari. Niat saya semakin kuat karena kakek saya adalah seorang pastor Serikat Sabda Allah (SVD) yang selalu datang ke rumah dan memberi saya makanan enak. Dalam benak saya, ketika menjadi seorang imam saya pun akan selalu merasakan kenikmatan makanan yang serba enak.

Ketika tamat Sekolah Dasar, saya mengikuti seleksi masuk seminari di istana Keuskupan Agung Ende dan saya diterima di Seminari Bunda Segala Bangsa-Maumere. Tahun 2008 adalah tahun yang sangat berharga bagi saya karena boleh menginjakan kaki di Seminari Bunda Segala Bangsa. Angkatan saya adalah angkatan terakhir yang boleh bersekolah di  SMPK Frateran Maumere namun berstatus seminaris. Saya bersukacita karena di seminari saya mendapat kawan-kawan baru, pembina yang selalu memberi kasih sayang, belajar hal-hal baru misalnya ketertipan dan tanggung jawab, saya dipilih menjadi ketua musik vokal, dan saya bersyukur bawasannya saya dijaga kakak sepupu yang merupakan senior saya. Di seminari senioritas sangat kuat. Satu kesempatan ketika kawan-kawan lain diperintah untuk mencuci pakaian kakak-kakak kelas tiga saya sendiri yang tidak mendapatkan perintah tersebut karena kakak melarang saya agar tidak mengikuti perintah tersebut. Ketika naik kelas tiga, saya dikeluarkan dari seminari karena alasan bolos. Waktu itu 10 orang dikeluarkan dari seminari, saya termasuk didalamnya.

Sebelum dikeluarkan, pembina seminari yakni Romo Bone menganjurkan saya untuk melanjutkan ke Kelas Persiapan Bawah di Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko. Dalam benak saya beranggapan bahwa Romo Bone masih sangat mendukung saya dalam jalan panggilan menjadi serang imam. Ia terus terang mendukung saya. Bhkan pada malam harinya, ia memanggil saya dan mengatakan bahwa ada ketaatan dan kedisiplinan yang kuat melekat dalam diri saya dan itu merupakan salah satu yang harus dimiliki oleh seorang calon imam. Ajakan dari Romo Bone tidak diindakan oleh saya. Saya tidak melanjutkan pendidikan di seminari.

Namun panggilan saya tidak putus ditengah jalan. Seusai tamat dari SMPK Frateran Maumere, saya melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) Frateran Ndao. Salah satu sekolah yang sangat bergengsi di Kabupaten Ende. Di SMAK Ndao, saya selalu dipuja oleh para freter karena nilai agama katolik yang selalu bagus. Ketika menamatkan Pendidikan di SMAK Ndao, saya diajak oleh salah seorang frater untuk menjadi frater Bunda Hati Kudus namun saya menolak tawarannya. Hal ini karena saya tidak mau menjadi frater kekal, saya inin menjadi seorang imam. Akhirnya saya melanjutkan panggilan saya di Kelas Persiapan Atas San Paulo-Mataloko. Awal masuk di KPA Mataloko, saya mengalami kekeringan panggilan karena keinginan untuk melanjutkan panggilan ini bukan atas kemauan saya melainkan atas kemauan sang bunda. Saya terpaksa saja menjalankan panggilan dengan sangat berat hati. Namun seiring berjalanya waktu, saya selalu dikuatkan oleh RP, Yanto Ndona, O.Carm. ia selalu mengatakan bahwasanya panggilan mengikuti Yesus selalu penuh dengan tantangan dan berat. Namun yesus sendiri yang akan membantu dan membimbing siapa saja yang mau mengikutiNya. Awal tahun 2015 pada bulan Februari tanggal 17, saya mendapat kabar dari bapak bahwa adik saya meninggal dunia. Ia meninggal dunia dengan cara yang begitu tragis yakni dengan menggantung diri. Kabar ini saya dapat dari RP, Yanto Ndona. Pater Yanto sekali lagi menguatkan saya. Ia memeluk saya dan mengatakan bahwa saya kuat dan bisa melewati cobaan ini. Sesampainya di rumah, saya disambut oleh senyuman manis dari sang bunda. Senyuman mama menguatkan saya dan kerabat dekat heran bahwasanya saya tidak menagisi kepergian adik tercinta. Saya memegang kuat nasihat dari Pater Yanto. Ibadat pemakaman dilakukan oleh saya. Bapak berpesan agar saya tetap menjalani panggilan dengan bersukacita dan jangan ragu akan panggilan Tuhan. Bagi bapak, saya telah dewasa karena dapat melewati cobaan ini dengan lapang dada.

Tahun 2015 pun saya menamatkan Pendidikan di KPA Mataloko dan melanjutkan pendidikan di Tahun Orientasi Rohani St. Damian Nela. Di sana saya bertemu banyak kawan dari tamatan seminari. Bagi saya mereka adalah anak-anak pintar dan saya merasa gelisah karena mereka beda dari saya. Mereka pintar dan saya tidak. Namun saya tetap mempercayakan semuanya itu dalam tangan Tuhan. Saya yakin Ia selalu menyertai saya. Ia selalu dan masih berada di samping saya.

Penerimaan Jubah dan Jalan Suci

Tahun 2016 adalah tahun dimana saya menerima pakaian rohani atau jubah. Saya bersukacita akhirnya keingian tercapai. Jubah bagi saya adalah pemberian Tuhan yang istimewa dan harus dijaga. Ada seorang pastor yang selalu mengingatkan saya untuk menjaga jubah itu agar tak pernah noda. Noda dalam artian jangan meninggalkan atau melepasnya. Pada tahun 2020 saya menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Yoseph Naikoten. Pengelaman yang berharga dalam masa ini yakni saya selalu dikuatkan oleh Romo Andre Alo’A. beliau selalu mengajarkan saya untuk hidup ugahari dan selalu berpasrah pada Bunda Maria. Romo Andre dengan jiwa kebapaanya, selalu mengajarkan saya untuk lebih mencintai orang miskin daripada yang lain. Ia selalu memberi masukan dan motivasi bagi saya. Pernah suatu hari saya tidak mengikuti misa pagi. Ia memanggil dan meninju perut saya serta memberi saya motivasi. Ia berpesan bahwa Ekaristi adalah puncak dari kehidupan manusia dan menggereja. Jangan sekali-kali meninggalkan Ekaristi. Dari Romo Andre, saya belajar untuk selalu setia dan mencintai Ekaristi. Ekaristi harus menjadi pegangan bagi saya yang adalah seorang calon imam.

Tahun 2021, Ibunda saya meninggal dunia; Romo berpesan pada saya untuk tetap berserah diri pada Bunda Maria. Pengelaman pahit ini menjadi kekuatan tersendiri bagi saya. Saya memaknai pengelaman ini sebagai titik awal saya menemukan Tuhan dan lebih dekat dengan Tuhan. Motto tahbisan “Jangan takut, percaya saja. Merupakan refleksi akan pengalaman-pengalaman yang pernah saya alami. Bagi saya, Tuhan selalu menjaga saya. Ia selalu memeluk saya dan selalu mengandeng tangan saya. Saya percaya bahwa Ia tidak pernah meninggalkan saya. Tahun 2022 saya mengakhiri Masa Tahun Orientasi Pastoran (TOP) di Paroki St. Yoseph-Naikoten. Ketika hendak kembali ke Seminari Tinggi St. Mikhael, saya diantar oleh banyak anak OMK dan orang tua. Saya menyakini bahwa mereka mendukung saya dan selalu berdoa bagi saya.

Pada tanggal 31 Mei 2024, saya ditahbiskan menjadi diakon di Kapela Seminari Tinggi St. Mikhael. Motto Tahbisan “Jangan takut, percaya saja! Menjadi pegangan dalam hidup panggilan. Saya yakin, Tuhan selalu memeluk dan mendampingi saya. Saya yakini pula bahwa saya tidak berjalan sendirian, tetapi Kristus sebagai Imam Agung akan senantiasa menyertai hidup dan setiap karya yang dilakukan saya.

Tahun Diakonat Di Keuskupan Tanjungkarang

Kesempatan yang diberikan selama masa Tahun Pastoral Diakonat (TPD) di Paroki Ratu Damai-Teluk Betung adalah proses menuju kematangan sebuah pilihan menjadi imam. Pengalaman tersebut menjadi kenyataan yang tidak dapat dikesampingkan. Penempatan masa Tahun Pastoral Diakonat (TPD) di Paroki Ratu Damai-Teluk Betung, memberikan saya pengalaman berbeda dalam perjalanan panggilan menjadi imam. Saya yang notabene seorang calon Imam dari Keuskupan Agung Kupang harus menjadi misionaris lokal di Keuskupan Tanjungkarang. Menjawabi panggilan Tuhan bagi saya adalah sebuah pilihan bebas dan saya menjawabinya dengan sukacita. Ketika diutus ke Keuskupan Tanjungkarang, saya mengalami sukacita penuh layaknya Santa Elisabeth yang mengalami sukacita penuh ketika mendapat kunjungan dari Santa Perawan Maria.

Menjawabi panggilan dengan sukacita adalah kunci hidup yang saya pegang. Namun saya menemukan bahwa kebebasan memberikan tawaran yang sesungguhnya asing. Saya perlu penyesuaian terhadap kenyataan tersebut. Maka melalui refleksi ini saya mencoba mengambarkan situasi bebas yang membantu dalam perkembangan panggilan sebagai seorang calon imam.

Tugas dan Pelaksanaan

Tugas dan pelaksanaan merupakan suatu kesesuaian antara konsep pekerjaan dan bagaimana melakukannya. Menunjukan hasil yang baik adalah target dari suatu proses akan tindakan yang dibuat. Tetapi secara pribadi saya begitu menyadari bahwa keberhasilan masih jauh dari harapan yang dibangun. Saya terus berproses dengan kegagalan yang terkadang membuat jenuh. Pada tahap tersebut saya tidak pernah menyerah untuk membenah dan memberikan evaluasi terhadap tugas dan pelaksanaan yang diberikan. Saya selalu mencari kesempatan untuk kembali bangkit dalam mencapai hasil yang baik.

Terdapat banyak orang yang memberikan saya masukan untuk membenah tugas dan pelaksanaan yang diberikan. Hal yang saya syukuri adalah saya tidak berjalan sendiri dalam memperoleh hasil yang baik. Masukan dari RD. Roi, demikian nama panggilannya sehari-hari dan RD. Pius, membuat saya dewasa dalam menghadapi tugas dan pelaksanaannya. Terdapat umat dan para suster yang memberikan saya semangat dalam menghadapi rasa putus asa dalam pelaksanaan sebuah tugas. Di Paroki Ratu Damai, saya selalu diberikan kebebasan untuk mencari tugas dan kegiatan. Di Paroki Ratu Damai, saya dipercayakan untuk mengurus Misdinar, Orang Muda Katoli, melakukan ibadat pemberkatan jenazah dan sebagainya. Kepercayaan itu tidak saya jalani dengan sesuka hati namun dengan jiwa yang taat. Saya sadar bahwa tugas yang diberikan harus dilakukan dengan sepenuh hati.

Meski demikian, saya juga menyadari bahwa dalam proses untuk mencapai keberhasilan terdapat semangat yang tidak terlihat wujudnya. Keadaan itu sering saya katakan dengan keterlibatan Tuhan dalam setiap proses tersebut. Secara pribadi saya mensyukuri bahwa keterlibatan Tuhan melalui orang-orang sekitar menumbuhkan kedewasaan dalam hal berpikir dan beriman. Inilah jalan emas yang saya alami. Walaupun sering jatuh tetapi saya percaya akan ada penolong yang memberikan semangat untuk bangkit.

Pergaulan dan Relasi Sosial

Pergaulan dan relasi sosial, merupakan suatu kebutuhan yang dimiliki oleh setiap manusia; kebutuhan untuk saling berbagi dan saling membantu. Melalui pergaulan dan relasi yang dibuat, sesungguhnya setiap orang dibentuk untuk mengenal identitas dirinya. Meski demikian secara pribadi saya sadar bahwa pergaulan yang dibangun selalu menawarkan hal yang baik dan hal yang buruk. Sampai pada tahap ini saya mencoba memberikan refleksi perjalanan panggilan berdasarkan nilai baik dan buruknya relasi.

Pergaulan dan relasi secara baik sesungguhnya mendatangkan berkat. Perjalanan panggilan menjadi seorang calon imam di Paroki Ratu Damai-Teluk Betung, menjadikan saya dewasa dalam menjaga dan merawat relasi. Bagi saya, pergaulan dan relasi kepada seluruh umat begitu terjaga. Saya menghargai para orang tua, kaum remaja dan anak-anak. Penghargaan yang saya berikan membawa dampak yang besar dalam jalan panggilan saya. Maka, dalam menjaga dan merawat relasi adalah penghargaan yang diberikan tanpa mengenal jenis usia dan status.

Sedangkan relasi yang buruk pastinya mendatangkan musibah. Dalam masa Tahun Pastoral Diakonat (TPD) yang saya jalani, relasi yang mendatangkan musibah biasanya datang saat saya tidak mampu menjaga penghargaan kepada orang lain. Hal ini biasanya muncul saat saya terlalu dekat dengan satu kelompok atau orang tertentu.

Ada pun relasi dengan lawan jenis menjadi hal yang penting sebagai calon imam maupun imam. Sebagai seorang calon imam, saya perlu sadar akan batas. Untuk mengatasi situasi ini biasanya saya menyalurkan pada hobi dan pekerjaan yang membuat saya samakin sibuk agar tidak memiliki waktu untuk banyak berkhayal. Meski sudah membuat batasan yang ketat, sebagai manusia saya terus berusaha agar tidak terjerumus pada pergaulan dan relasi yang tidak sesuai dengan jalan panggilan sebagai calon imam.

Option Of The Poor

Pilihan untuk berpihak kepada orang miskin secara tertulis tidak menjadi aturan yang pasti dalam pembentukan menjadi imam diosesan. Pengembangan imam diosesan lebih mengarahkan pada pelayanan seperti imam lokal yang menjaga dan merawat keberadaan umat Katolik dalam wilayah Keuskupan. Meski demikian semangat untuk berpihak kepada kaum tertinggal dan kaum lemah menjadi sebuah tindakan yang dibuat saya.

Sebagai manusia biasa, keberpihakan untuk memperhatikan kaum miskin, tertinggal dan lemah adalah hal yang wajar terjadi. Ditambah posisi yang saya ambil sebagai calon imam diosesan yang dibesarkan dalam masa Tahun Diakonat bersentuhan langsung dengan lingkungan sekitar yang menjadikan semangat khusus untuk keberpihakan kepada orang miskin, membuat saya semakin matang melihat kondisi tersebut. aksi yang saya sering lakukan adalah keberpihakan saya terhadap orang-orang yang bekerja sebagai penarik becak. Dalam renungan pribadi saya, mereka merupakan orang-orang yang tidak dianggap. Tetapi saya berusaha memberikan perhatian kepada mereka dengan memberikan penghargaan yang layak sebagaimana orang-orang yang waras. Biasanya Ketika saya pulang dari pelayanan, saya selalu menempatkan diri untuk bertegur sapa dengan para penarik becak dan memberikan mereka makanan. Saya yakin dan sadar bahwa suara hati yang menggerakan saya untuk selalu mengunjungi para penarik becak adalah suara dari Yesus sendiri. Dari para penarik becak saya belajar untuk lebih mencintai hidup dan bersyukur akan pemberian Tuhan.

Waktu Senggang

Menggunakan waktu senggang, menjadi kesempatan bagi saya untuk membenah setiap pekerjaan dan terlebih khusus melihat lebih jauh tentang siapa saya sebagai orang yang terpanggil. Penggunaan waktu senggang ini biasanya diisi dengan urusan pribadi terlebih khusus untuk kebutuhan keseharian. Terkadang juga waktu senggang menjadi kesempatan untuk bermalas-malasan dan tidur-tiduran. Keadaan ini menjadi soal yang selalu saya hadapi. Kondisi terpuruk ini perlahan saya atasi dengan mencoba mengembangkan kemampuan saya sebagai pribadi yang tertarik pada pekerjaan “tarik suara”. Selain mengembangkan minat pribadi, saya juga tetap menjaga tradisi membaca. Mempertahankan tradisi tersebut saya anggap penting karena sebagai seorang yang berpendidikan, memperbaharui ilmu menjadi pekerjaan yang perlu dibuat setiap saatnya. Waktu senggang pun kadangkala saya gunakan untuk menulis refleksi harian berdasarkan pengalaman hidup seharian.

Tentang Disiplin Diri

Kedisiplinan diri adalah kemampuan untuk mengontrol, menata dan mengatur pribadi ketika berada dihadapan orang lain. Melalui kedisiplinan diri sesungguhnya pribadi diajarkan agar aturan menjadi acuan penting saat menata. Berdasarkan definisi pribadi, saya melihat bahwa kedisiplinan yang ada dalam diri saya semakin dewasa. Saat saya masih berada dalam masa pendidikan di Seminari Menengah atau Seminari Tinggi saya dihadapkan dengan aturan yang pasti. Aturan yang tertulis yang di dalamnya saya perlu mengikuti. Tetapi saat masuk masa Tahun Pastoral Diakonat (TPD), saya menemukan kenyataan yang berbeda. Terlebih khusus ketika mendapatkan tugas di Paroki Ratu Damai- Teluk Betung. Tidak ada aturan yang begitu mengikat dalam kehidupan komunitas Pastoran. Saya memperoleh kebebasan yang total.

Kebebasan ini mulanya saya gunakan dengan kemauan pribadi. Namun perlahan saya menyadari ada bentuk kedisiplinan yang berbeda. Bentuk kedisiplinan yang bebas dengan tanggung jawab besar. Inilah saat yang membuat kedisiplinan semakin rumit dari aturan tertulis. Saya perlu secara sadar dan dewasa mengelolah diri agar masa Tahun Pastoral Diakonat menjadi bernilai. Secara pribadi saya perlu memberikan apresiasi kepada Pastor paroki, Pastor pembantu dan komunitas pastoran yang secara tidak langsung mengajarkan saya akan kedewasaan dalam disiplin diri.

Kehidupan Rohani

Kehidupan rohani menjadi salah satu penunjang utama dalam perjalanan calon imam maupun imam. Menjadi penting bahwa kehidupan rohani adalah identitas yang tidak bisa terlepaskan. Saya juga sadar bahwa kehidupan rohani juga bukan mutlak dilakukan secara bersama, melainkan penghayatan pribadi terhadap kerohanian.  Masa Tahun Pastoral Diakonat, saya jalani dengan sukacita. Dalam bidang kerohanian terkadang jam 3 sore, saya meyempatkan untuk Koronka walau pun masih bolong. Ketika melakukan Koronka saya memperoleh penghayatan pribadi sebagai seorang calon imam. Dalam bidang kerohanian saya sering melakukan Ibadat Malam sebelum tidur, melakukan kunjungan ke Gua Maria Ratu Damai, dan terkadang saya melakukan Devoosi pribadi. Penghayatan kerohanian dengan menghadirkan Tuhan dalam setiap pekerjaan yang dilakukan bagi saya memampukan saya untuk lebih dekat dengan Dia,  memberanikan diri saya dan mengasah batin saya. Saya sadar bahwa keterlibatan Tuhan Yesus dalam panggilan menjadi calon imam adalah hal yang utama.

Refleksi 3 Nasehat Injil

Kemiskinan

Konsili Vatikan II dalam dekrit Presbyterorum Ordinis art. 17 menunjukan “Mereka harus meneliti dalam terang iman, semua yang ditemukannya agar mereka dibimbing untuk memanfaatkan barang-barang duniawi dengan baik, sesuai kehendak Allah dan menolak hal-hal yang menghalangi perutusan mereka”. Art. 17 menunjukan kepada saya tentang kemiskinan. Sebagai calon imam, saya harus paham untuk membuat jarak dengan harta. Godaan terhadap harta mampu membuat saya mengabaikan karya pelayanan sebagai imam. Meski pada sisi yang berbeda, dengan harta duniawi saya bisa menggunakannya sebagai alat untuk membantu karya pelayanan.

Refleksi saya secara pribadi tentang persoalan keterikatan terhadap harta duniawi menjadi proses belajar yang tidak pernah berhenti. Saya tetap akan berjumpa dengan harta duniawi dan terus mendapat godaan. Saya dapat mengabaikan orang lain karena harta. Saya juga bisa masuk dalam golongan hedonis. Ditambah konteks sosial yang akan saya jalani kedepannya. Sebagai pengingat, art.17 dapat menjadi pedoman dasar saya menjadi imam kelak. “Bahwa harta duniawi, tidak diperkenankan untuk memperkaya diri tetapi menjadi sarana penunjang untuk karya pelayanan”. Saya menyakini bahwa pemberian yang didapatkan adalah semata-mata hanya titipan Tuhan belaka. Dalam menjalani panggilan suci ini pun saya selalu berusaha tampil apa adanya. Menggunakan barang-barang dengan batasannya tersendiri.

Kemurnian

Presbyterorum Ordinis Art. 16 menjelaskan “Jadi atas cara ini mereka mengakui di depan manusia, bahwa mereka ingin membaktikan dirinya secara tak terbagi kepada tugas yang diserahkan kepada mereka, yakni mempersunting orang-orang beriman kepada satu-satunya pria, dan mengadapkan mereka sebagai perawan yang murnih kepada Kristus.” Refleksi Gereja tersebut memberikan petunjuk kepada saya bahwa kemurnian berhubungan dengan pemberian diri manusia kepada Kristus. Fokus pelayanan kepada semua orang dengan perhatian khusus kepada mereka yang miskin dan tertindas. Pencapaian tersebut dapat berjalan bila saya tidak masuk dalam relasi pribadi.

Oleh karena itu dalam merefleksikan kemurnian, saya memahami bahwa perlu adanya batasan terhadap relasi, terlebih kepada lawan jenis. Relasi yang berlebihan kepada lawan jenis mampu membuat fokus pelayanan hilang dan tidak murnih sebagaimana Kristus memberikan cintanya kepada semua orang secara murnih pula. Saya yakini bahwa saya pun disuaki oleh kaum hawa. Namun saya beregang teguh akan pelayanan total bagi siapa saja tanpa membeda-bedakan. Oleh karena itu, kedekatan pribadi bahkan menjadikan Kristus sebagai idola perlu menjadi palajaran yang terus diselami dalam menjalankan imamat suci ini.

Ketaatan 

Dekrit Presbyterorum Ordinis memberikan banyak penjelasan tentang taat. Salah satu artikel yang saya kutip untuk merefleksikan ketaatan adalah artikel 9 “Pada pokoknya, hendaknya para imam selalu memperhatikan kepenuhan sakramen imamat, yang dimiliki para uskup dan menghormati wewenang Kristus, Gembala Tertinggi di dalam diri para uskup”. Ketaatan berarti ikut terhadap perintah yang diberikan. Ketaatan juga berarti mengabaikan ego diri.

Permenungan pribadi tentang ketaatan sesungguhnya menghantar saya kepada sikap untuk bekerja sama. Sebagaimana tujuan dari imamat adalah imam, nabi dan raja, maka saya perlu menghidupi ketiga hal tersebut. Selain mengambil bagian dari imamat itu sendiri, saya juga perlu mengabaikan kepentingan pribadi untuk karya pewartaan berdasarkan perintah uskup. Keadaan ini terkadang susah, tetapi kerendahan hati menjadi bagian yang perlu menjadi permenungan untuk tetap memperjuangkan nasehat injili tersebut. Permenungan pribadi tentang ketaatan saya pegang dengan teguh, hal ini karena sebelum ditugaskan ke Keuskupan Tanjungkarang saya dan beberapa kawan dipanggil oleh Romo Prefek selalku pimpinan seminari tinggi. Banyak dari kawan-kawan ketika ditanya untuk bermisi mereka takut untuk menjalankannya. Berbeda dengan saya, dengan tegas saya siap untuk bermisi. Bagi saya, ketaatan sanggat dijunjung tinggi. Saya taat pada Uskup Diosesan layaknya saya taat pula pada Kristus.

Pada akhirnya menjadi imam bukan perkara mudah. Banyak tantangan dan cobaan yang dihadapi setiap saat. Memilih untuk berpaling dari Tuhan, bukanlah pilihan yang menunjang imamat. Saya perlu mendekatkan diri kepada Tuhan lewat doa dan syukur akan rahmat yang diberikan-Nya. Kedua hal ini saya pikir penting sebagai pegangan ditengah kemajuan zaman. Motto Tahbisan “Jangan takut, percaya saja! (Bdk. Mrk 5: 36b). Saya merefleksikan akan Sabda Yesus yang menguatkan iman kepala rumah ibadat bahwasannya anaknya pasti disembuhkan Tuhan. Jangan takut, percaya saja, merupakan pegangan dalam menjalani panggilan suci ini. Saya yakin dan percaya Yesus selalu membisikan dan selalu menguatkan saya, Ia akan selalu berada di samping saya menjalani panggilan ini. Ia mengajarkan saya untuk berjalan bersama, Ia selalu memegang tangan saya dan memeluk saya disaat saya jatuh.

Oleh karena itu, dalam refleksi singkat ini, dengan kerendahan hati dan kemurnian jiwa secara tegas saya melamar untuk bersedia ditahbiskan menjadi imam Tuhan. ***

 

Chosmas Oswyn Koba

Tempat Tanggal Lahir             : Welamosa, 26 September 1995

Anak ke                                   : 1 dari 3 bersaudara

Asal Paroki                              : Paroki Emanuel Welamosa

Asal Keuskupan                      : Keuskupan Agung Ende

Orang Tua

Ayah                                       : Anselmus Koba

Ibu                                           : Alma, Angela Marici Gaka

 

Masa Pendidikan dan Imamat

SD                                           : SDK St. Mikhael Welamosa 2002-2008.

SMP                                        : SMPK Frateran Maumere 2008-2011.

SMA                                       : SMAK Frateran Ndao 2011-2014.

КРА                                        : Kelas Persiapan Atas-Mataloko 2014-2015.

TOR                                        : TOR Lo’o St. Damian-Nela 2015-2016.

Seminari Tinggi                       : Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui-Kupang 2016-2024

Perguruan Tinggi                     : Fakultas Filsafat UNWIRA 2016-2020.

TOP                                         : Paroki St. Yoseph Naikoten-Kupang 2020-2022

Tahbisan Diakon                     : Kapela Seminari Tinggi St. Mikhael-Penfui oleh

Mgr. Hironimus Pakaenoni Uskup Keuskupan Agung Kupang

31 Mei 2024.

Tahun Diakonat                      : Paroki Ratu Damai Teluk Betung, Keuskupan Tanjungkarang

Lampung. 14 Juni 2024-Sekarang.

Motto Tahbisan                       : “Jangan takut, percaya saja!  (Mrk 5:36b).

 

 

 

 

 

Berita lain dari Keuskupan

  • All Posts
    •   Back
    • Berita Katolik Dunia
    • Berita Keuskupan
    • Komsos KWI
    • Komisi Keluarga

Keuskupan Tanjungkarang

keuskupantanjungkarang.org adalah website resmi Keuskupan Tanjungkarang yang dikelola langsung oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Tanjungkarang

Kritik, usul, dan saran dapat menghubungi kami melalui komsosktjk18@gmail.com

Lokasi Kantor Keuskupan Tanjungkarang

© 2018-2024 Komsos Tanjungkarang | Designed by Norbertus Marcell

You cannot copy content of this page

Scroll to Top