Diakon Nicolaus Agung Suprobo: Perjalanan Panggilanku Unik

Awal ketertarikan saya untuk menjadi seorang imam mulai bersemi ketika saya bertugas menjadi seorang misdinar di gereja saya. Pada waktu itu, ketika saya sedang bertugas melayani romo, tiba-tiba muncul begitu saja kekaguman terhadap romo yang sedang merayakan Ekaristi. Saat melayani romo, hati saya sungguh merasa senang dan damai. Apalagi ketika romo sedang mengangkat hosti dan piala, saya sungguh merasa kagum dan takjub. Rasa kagum, senang dan damai inilah yang membatin di dalam hati saya dan membuat saya ingin menjadi seorang romo. Pada waktu itu keinginan untuk menjadi seorang romo hanya saya simpan sendiri di dalam hati saya dan saya tidak pernah mengatakannya kepada siapapun termasuk orang tua saya. Alasannya adalah saya sadar bahwa sepertinya saya tidak mungkin menjadi romo. Hal ini dilatarbelakangi karena saya adalah orang yang biasa-biasa saja. Saat itu, saya hanya melihat bahwa ketika besar nanti pastilah saya akan menjadi seorang petani seperti bapak dan kebanyakan orang-orang di kampung saya.

Setelah lulus SMA, saya pun diajak oleh kedua orang tua saya untuk berbicara bersama. Dalam pembicaraan dengan kedua orang tua saya tersebut, saya ditanya oleh kedua orang tua saya, “kamu mau kuliah, kursus komputer atau masuk seminari?” saya tidak tahu persis mengapa tiga pilihan tersebut yang ditawarkan kepada saya. Akan tetapi, setelah mendengar pertanyaan atau tawaran tersebut saya pun memilih untuk masuk seminari. Kedua orang tua saya langsung setuju dan saya pun mulai mengurus persyaratan yang dibutuhkan untuk masuk seminari menengah Stella Maris Bogor. Pada waktu itu, ada dua pilihan seminari yang dapat saya pilih yaitu St.Paulus Palembang dan Stella Maris Bogor, namun karena Fr. Lukas (pada waktu itu TOP di Sidomulyo) menyarankan saya ke Stella Maris, maka saya pun akhirnya memilih Seminari Menengah Stella Maris Bogor. Singkat cerita setelah menjalani test selama tiga hari, saya pun diterima dan menjalani proses formatio.

Dalam menjalani proses formatio di Seminari Menengah Stella Maris Bogor, saya belajar banyak hal baru seperti ibadat harian, liturgi, belajar berbagai bahasa (latin, inggris, jerman), opera dan lain-lain.  Singkat cerita, selama menjalani proses formatio kurang lebih dua tahun, saya pun merasa bahwa pengalaman formatio tersebut sudah cukup menjadi bekal bagi saya untuk menjalani hidup sebagai seorang calon imam (frater). Pada tahun terakhir, pada saat berjumpa dengan romo rektor (Romo Jatmiko), saya ditanya mau melamar kemana? Belum sempat menjawab, beliau menyarankan saya agar melamar saja di Keuskupan Tanjungkarang tempat saya berasal. Mendengar hal itu saya pun mengiyakannya, karena sejak awal saya memang sudah berencananya ingin masuk projo Tanjungkarang. Alasannya adalah karena saya memang berasal dari Lampung dan saya lebih mengenal Keuskupan Tanjungkarang dari keuskupan yang lain. Akan tetapi, harus saya akui bahwa saya sempat tertarik dengan Serikat Jesus dan pernah live in di sana selama empat hari, namun saya tidak bisa membohongi hati saya bahwa sejak awal hati saya telah memilih Keuskupan Tanjungkarang.

Selesai dari Seminari Menengah Stella Maris, saya kemudian melamar kepada Mgr. Andreas Hendri Soewijata Henrisoesanta agar diterima menjadi seorang calon imam untuk Keuskupan Tanjungkarang. Setelah diterima, saya kemudian bersama dengan tiga teman yang lain berangkat ke Pematangsiantar untuk menjalani tahun orientasi rohani TOR dan studi filsafat. Selama menjalani tahun orientasi rohani ada satu pengalaman yang sangat berkesan bagi saya yaitu ketika penjubahan. Dalam pengalaman penjubahan itu saya sungguh merasa bangga karena diperkenankan oleh Tuhan untuk memakai jubah, lambang kesucian. Akan tetapi di sisi yang lain, saya juga merasa tidak pantas karena saya pribadi melihat bahwa saya masih memiliki banyak kekurangan. Dalam ketegangan itu, saya pun mencoba untuk tetap setia saja menghidupi panggilan-Nya.

Awal menjalani studi filsafat, saya merasa cukup senang karena dapat berjumpa dengan teman-teman baru dari Kapusin, Konventual dan tiga suster (KYM, KSSY dan KSFL). Selain itu, pelajaran yang diberikan oleh para romo, bruder, dan suster pun cukup menarik. Namun, kegembiraan itu hanya diawal saja. Lama kelamaan saya merasa bahwa belajar filsafat itu tidak menarik, sehingga pada waktu itu, ketika hendak menulis skripsi saya pun memilih Kitab Suci. Pelajaran yang sebenarnya sangat berat tetapi cukup menarik bagi saya. Saya melihat bahwa belajar kitab suci itu lebih berfaedah bagi saya karena saya adalah seorang calon imam sehingga ketika berpastoral nanti pastilah pengetahuan yang saya dapat akan lebih dapat diaplikasikan dengan lebih baik. Singkat cerita, skripsi kitab suci saya selesai dan saya bersama dengan ketiga teman yang lain kembali ke Lampung untuk menjalani tahun orientasi panggilan (TOP).

Selama menjalani masa TOP di Paroki St. Yusuf Pringsewu, saya sungguh merasa senang karena boleh ambil bagian dalam karya pastoral bersama dengan Romo Dwijo, Romo Sutris, Romo Muji, dan Romo Kamilus. Dalam menjalani TOP, saya mencoba untuk menjalankan dengan sebaik mungkin setiap tugas yang diberikan kepada saya. Akan tetapi, dalam menjalani masa TOP tersebut saya belum bisa memutuskan untuk lanjut atau tidak. Dalam situasi itu, saya pun kemudian disarankah oleh tim OGF untuk menjalani bimbingan bersama dengan Romo Nardi di Jogya. Selama menjalani bimbingan, saya melihat kembali perjalanan hidup panggilan saya. Bersama dengan Romo Nardi, saya kembali merangkai kisah panggilan yang saya alami. Singkat cerita, saya pun memutuskan untuk melanjutkan hidup panggilan sebagai seorang calon imam.

Setelah menjalani bimbingan di Jogya, saya pun kembali ke Lampung untuk menjalani TOP kedua di Paroki St. Yohanes Rasul Kedaton. Dengan semangat baru, saya mencoba untuk menikmati TOP kedua ini dengan penuh kegembiraan. Selama menjalani Top 2 tersebut ada satu nasihat dari Romo Manggo yang menguatkan saya untuk semakin setia menghidupi panggilan saya. Nasihat itu adalah ketika beliau mengatakan kepada saya, “mengalir saja frater”. Kata kata ini memang sederhana tetapi bagi saya cukup menguatkan. Kata-kata itu pun saya renungkan dan saya menangkap pesan bahwa dalam menjalani panggilan tidak perlu banyak pertimbangan, tetapi mengalir saja maka Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik bagi saya.

Setelah menjalani TOP kedua dengan lancar, saya kemudian dipanggil oleh Bapa Uskup untuk studi s2 teologi di Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Mendengar apa yang dikatakan Bapa Uskup, saya kemudian menanggapi bahwa saya tidak bisa bahasa inggris. Namun, Bapa Uskup mengatakan bahwa beliau sudah menghubungi Uskup Bandung Mgr. Anton dan saya akan studi di UNPAR dan tinggal di Seminari Tinggi Fermentum. Karena semuanya sudah dipersiapkan, saya pun hanya bisa menjawab, “baik Bapa Uskup, saya akan mengusahakannya”. Saya belajar untuk taat dan pada akhirnya saya berangkat ke Bandung untuk studi s2 teologi di Universitas Katolik Parahyangan Bandung.

Setelah sampai di Bandung, saya mulai beradaptasi dengan para romo, para frater dan situasi di seminari. Awalnya, saya merasa canggung karena saya sendirian, namun setelah beberapa hari tinggal di seminari ternyata bukan hanya saya saja yang berasal dari luar Keuskupan Bandung yaitu ada juga frater dari Keuskupan Sorong yang studi s2 di Bandung. Dalam proses studi, saya menemukan satu mata kuliah yang bagi saya cukup menarik yaitu studi tentang ekumene. Dalam studi itu, saya menemukan suatu persoalan bahwa ekumene adalah tanggungjawab seluruh umat awam bukan hanya para uskup dan para imam, namun mengapa partisipasi umat awam sangat kurang dalam ekumene. melihat persolan itu saya pun kemudian mengangkatnya di dalam tulisan tesis saya. Singkat cerita, setelah dibantu oleh Romo Tedjoworo akhirnya saya pun dapat menyelesai tesis tepat pada waktunya.

Selesai studi s2 di Bandung, saya kemudian pulang ke Lampung dan menjalani persiapan pastoral di Paroki St. Theodorus Liwa, Lampung Barat. Selama menjalani persiapan pastoral di Liwa, saya mulai beradaptasi lagi karena saya berpastoral bersama dengan para romo OFM yang membantu melayani di Keuskupan Tanjungkarang. Dalam kebersamaan dengan para romo OFM ini, saya sungguh merasa senang karena saya sangat diterima dengan baik dan boleh untuk ikut ambil bagian dalam karya pastoral. Saya diajak untuk ikut ambil bagian di dalam liturgi ekaristi untuk membaca Injil, membagi komuni, dan membereskan piala dan sibori. Saya juga diberi kesempatan bersama dengan teman saya yang menjalani TOP untuk memberikan rekoleksi KBG di setiap stasi. Saya merasa dipercaya dalam karya pastoral dan hal ini membuat saya menjadi semakin percaya diri dalam mempersiapkan diri menjadi seorang calon imam. Selain itu, di sana saya juga belajar untuk selalu setia melayani umat bagaimanapun medannya dan selalu berdoa bersama di dalam hidup berkomunitas.

Setelah menjalani persiapan pastoral kurang lebih setahun, saya pun bertemu dengan Romo Anjar dan diberitahu bahwa saya akan melanjutkan studi s3 filsafat di STF Driyarkara Jakarta. Mendengar itu, saya menolaknya karena saya dari sejak s1 memang tidak menyukai filsafat. Romo Anjar pun mengatakan bahwa ini rencana Bapa Uskup sehingga saya harus mengusahakannya. Setelah cukup lama berbicara dan terkesan seperti tawar menawar, pada akhirnya saya pun menerima keputusan itu dan untuk kedua kalinya saya belajar lagi untuk taat terhadap rencana Bapa Uskup.

Persiapan pastoral dianggap selesai dan saya pun kemudian mempersiapkan diri untuk studi s3. Di sela-sela persiapan studi, saya bersama dengan tiga teman saya diundang oleh Bapa Uskup untuk bertemu bersama. Dalam pertemuan tersebut, kami ditanya tentang kesiapannya dalam menerima tahbisan imamat dan diakonat. Mendengar hal itu kami berempat pun menyatakan siap. Dalam pertemuan itu, Bapa uskup juga menekankan mengenai tiga nasihat injil yang perlu sungguh untuk dihidupi.

Setelah pertemuan itu saya pun mulai beremenung secara pribadi terkait tiga nasihat injil tersebut yaitu kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Dalam permenungan terhadap tiga nasihat injil tersebut saya mencoba memfokuskan permenungan pada diri Yesus Kristus sendiri yang telah memanggil saya. Dengan kata lain, saya melihat tiga nasihat injil berdasarkan hidup Yesus sendiri. Pertama, kemiskinan. Seperti Yesus yang lahir di kandang domba, hidup dalam keluarga yang sederhana, mau merendahkan diri dan melayani semua orang dari berbagai macam latarbelakang, begitulah seharusnnya kemiskinan itu saya hidupi. Materi memang penting tetapi itu bukanlah yang utama, materi adalah sarana bagi saya untuk melayani umat terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. Kisah orang muda kaya yang gagal mengikuti Yesus menjadi pembelajaran bagi saya bahwa materi dapat menjadi penghambat bagi saya untuk sungguh mengikuti Yesus.

Kedua, kemurnian. Seperti Yesus yang selalu berbuat baik tanpa noda dosa, memikirkan yang baik bagi keselamatan banyak orang, menjalin relasi yang baik dengan Bapa-Nya melalui doa dan juga menghormati setiap perempuan yang ada di sekitarnya, begitulah kemurnian seharusnya saya hidupi. Kemurnian tidak hanya terbatas pada fungsi biologis saja tetapi juga menyangkut hati, pikiran dan tindakan yang murni untuk melayani sesama. Kisah perempuan yang mendapat pengampunan ketika kedapatan berbuat zinah menunjukkan bahwa Yesus memiliki hati, pikiran dan tindakan yang murni dalam melayani sesama-Nya.

Ketiga, ketaatan.  Seperti Yesus yang taat kepada Bapa-Nya yaitu dengan hadir ke dunia dan menyelamatkan semua orang melalui pengorbanan diri di salib, begitulah seharusnya saya menghidupi ketaatan. Ketaatan memang tidak mudah, oleh karena itu, dibutukan usaha untuk menyesuaikan visi pribadi dengan visi Bapa Uskup. Seperti Yesus yang satu visi dengan Bapa-Nya, saya pun juga seharusnya satu visi dengan Bapa Uskup sang gembala utama. Ketika Bapa Uskup membutuhkan seorang imam yang studi maka saya harus taat untuk studi. Dengan demikian, di dalam ketaatan juga terdapat sifat konsensus (kesepakatan/kesepahaman) dari pihak saya. Ketiga Nasihat Injil tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan bagi saya. Dibutuhkan kesadaran, komitmen, dan disposisi batin yang baik agar saya dapat menghidupinya..

Dalam pengalaman formatio yang telah saya alami, saya melihat bahwa panggilan saya sangat identik dengan tantangan. Tantangan dalam studi maupun dalam pergulatan pribadi. Namun, dalam menghadapi tantangan itu saya mulai bermenung dan dalam permenungan itu saya menemukan dua pilihan yaitu menghadapi atau mundur. Kalau saya mundur berarti saya kalah, akan tetapi kalau saya maju maka ada kemungkinan saya bisa menghadapi tantangan itu. Dalam menghadapi tantangan itu, saya juga pun selalu berdoa kepada Tuhan dan memasrahkan segala sesuatu kepada-Nya. Hasilnya, Tuhan selalu menyertai saya dan saya pun bisa menghadapi tantangan-tantangan itu.

Berdasarkan pengalaman dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, saya menemukan bahwa Tuhan selalu menyertai saya, sehingga saya bisa menghadapi setiap tantangan yang ada. Pengalaman penyertaan Tuhan ini membuat saya kuat dan yakin bahwa cara hidup yang saya hidupi saat ini adalah sungguh kehendak Tuhan. Dengan demikian, kendati masih banyak kekurangan, saya pun merasa mantap untuk menerima rahmat tahbisan diakonat dan ingin mendedikasikan diri saya untuk Keuskupan Tanjungkarang.

Motto tahbisan diakon saya adalah “TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Mzm 118:6). Motto ini muncul begitu saja ketika saya berdoa ibadat harian. Saya sungguh terkesan dengan kata-kata ini dan kata-kata ini pun bagi saya cukup menggambarkan perjalanan panggilan saya bahwa ada banyak tantangan yang saya hadapi tetapi Tuhan selalu dipihak saya dan saya pun pada akhirnya dapat menghadapi tantangan-tantangan tersebut.

Setelah menerima tahbisan diakonat, saya kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan studi s3 dan sekaligus menjalani masa diakonat di Seminari Tinggi Yohanes Paulus II Keuskupan Agung Jakarta. Dalam menjalani masa diakonat, saya sungguh merasa senang karena boleh ambil bagian dalam pelayanan perayaan ekaristi, adorasi dan kegiatan-kegiatan rohani yang lain. Akan tetapi, dalam persiapan studi s3, saya mengalami perasaan yang cukup mengecewakan. Setelah mempersiapkan studi selama kurang lebih satu tahun, saya pun dinyatakan belum lulus. Hasil test ini pun saya sampaikan kepada Bapa Uskup dan Beliau pun menyarankan agar saya untuk mempersiapkan tahbisan imamat terlebih dulu.

Dalam merenungkan tahbisan imamat, saya pun melihat kembali pengalaman perjalanan panggilan saya. Dalam permenungan itu, saya menemukan bahwa panggilan saya cukup unik jika dibandingkan dengan perjalanan panggilan teman-teman saya. Terkait Top (dua kali), Studi (Bandung dan Jakarta) dan Penpas (Paroki Teodorus Liwa bersama saudara OFM) penuh dengan dinamika. Saya pribadi terkadang cukup sulit untuk melihat rencana Tuhan dalam hidup saya. Karena apa yang saya bayangkan itu terkadang berbeda dengan kenyataan hidup yang saya alami. Namun, meskipun terkadang mengalami kesulitan, saya selalu memiliki keyakinan bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah untuk saya. Saya pun melihat bahwa kisah panggilan saya itu memiliki kemiripan dengan kisah panggilan Allah kepada Abram. Meskipun Abram belum mengetahui negeri yang akan ditunjukkan Allah kepadanya, ia tetap taat dan pergi untuk menjalankan rencana Allah di dalam hidupnya. Kisah Panggilan Allah kepada Abram ini pun menjadi penegasan dan inspirasi bagi motto tahbisan imamat saya, yaitu “Pergilahke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu” (Kej 12:1).

 

Nama                        : Nicolaus Agung Suprobo

Lahir                         : 1 April 1992

Anak ke                    :  Pertama

Paroki asal                : Paroki Keluarga Kudus Lampung Selatan

Orangtua

Ayah                         : Yakobus Mujiman

Ibu                            : Maria Sukarsih

Masa Pendidikan dan Imamat

SD                            : SDN 02 Sidomulyo (1998-2004)

SMP                         : SMPN 01 Sidomulyo (2004-2007)

SMA                        : SMAN 01 Sidomulyo (2007-2010)

Seminari Menengah : Seminari Menengah Stella Maris, Bogor (2010-2012)

TOR                         : TOR Santo Markus Pematangsiantar, Sumatera Utara (2012-2013)

Seminari Tinggi        : Seminari Tinggi Santo Petrus Pematangsiantar Sumatera Utara (2013-2017)

Filsafat                     :  Fakultas Filsafat Unika Santo Thomas, Medan (2013-2017)

TOP                          : 1. Paroki St. Yusuf Pringsewu (2017-2018)

        1. Paroki St. Yohanes Rasul Kedaton (2018-2019)

Pendidikan Teologi  : Fakultas Filsafat, Unika Parahyangan, Bandung (2019-2021)

Persiapan Pastoral    : Paroki Santo Theodorus, Liwa, Lampung Barat (2021-2022)

Tahbisan Diakonat   :  Stasi St. Petrus, Panjang, Paroki Ratu Damai, Teluk Betung (2022)

Masa Diakonat         : Seminari Tinggi Yohanes Paulus II Keuskupan Agung Jakarta (2022-2023)

Motto Panggilan      : Kejadian 12:1 “Pergilah…ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu

 

 

Berita lain dari Keuskupan

  • All Posts
    •   Back
    • Berita Katolik Dunia
    • Berita Keuskupan
    • Komsos KWI
    • Komisi Keluarga

Keuskupan Tanjungkarang

keuskupantanjungkarang.org adalah website resmi Keuskupan Tanjungkarang yang dikelola langsung oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Tanjungkarang

Kritik, usul, dan saran dapat menghubungi kami melalui komsosktjk18@gmail.com

Lokasi Kantor Keuskupan Tanjungkarang

© 2018-2024 Komsos Tanjungkarang | Designed by Norbertus Marcell

You cannot copy content of this page

Scroll to Top