Keinginan
Pertama kali saya sadar ingin menjadi seorang imam ialah ketika ada beberapa imam berkunjung dan menginap di rumah keluarga kami. Mungkin waktu itu saya kelas 1, 2 atau 3 SD. Saat itu saya mengalami dan melihat sosok-sosok imam yang amat baik dan bersahabat. Saya ingat juga salah seorang imam terampil dalam sulap. Saat itu, keinginan untuk menjadi imam tidak saya sampaikan selain kepada orang tua saya saja.
Keinginan untuk menjadi seorang imam menjadi semakin kuat tatkala saya memasuki jenjang SMP, terutama saat saya mulai aktif mengikuti misdinar di Gereja Paroki Santo Yohanes Rasul Kedaton. Ketika itu, saya mengalami perjumpaan dengan seorang imam muda yang ditugaskan di paroki saya. Ia mahir bermain gitar dan bermain piano. Bahkan ketika berkotbah, beliau menyelinginya dengan bernyanyi sambil memainkan gitar ataupun piano: suatu hal yang menurut saya keren dan belum pernah saya lihat dari imam-imam lainnya. Ia juga sering menyempatkan diri untuk hadir mendampingi pertemuan misdinar. Ia nampaknya dicintai oleh banyak umat.
Karena perjumpaan dengan imam, saya akhirnya merasa terpanggil: “kok, saya ingin menjadi seperti mereka”.
Kenyataan saat itu
Sampai kelas 3 SMP, kemampuan akademis maupun non-akademis saya tidak begitu cemerlang. Saya sempat berada di titik belum mendaftar seleksi pun sudah tidak diterima karena standard nilai untuk mendaftar pun tidak memadai. Di titik itu, saya kemudian terpikir untuk masuk ke seminari. Waktu itu saya berpikir bahwa seminari pastilah lebih mengutamakan ilmu-ilmu agama sebagai kriteria. Benar, saya diterima di Seminari Menengah Santo Paulus Palembang dengan score tes matematika hanya 40.
Singkat cerita, saya masuk Seminari dan berproses di dalamnya. Empat tahun saya jalani dengan sungguh-sungguh: Gramatica, Syntaxis, Poecis, dan Rethorica. Ketika saya melihat diri sendiri, saya terkagum-terpukau karena melihat seorang pribadi yg sama sekali berbeda dari sebelumnya. Ternyata dia bukanlah seseorang yg berada di bawah rata-rata, dia bukanlah seseorang yg tidak punya kemampuan intelektual, olah raga – olah rasa, dan humaniora. Pengalaman itu saya beri nama pengalaman diberkati.
Kemudian saya berefleksi: mengapa Tuhan menyingkapkan kepada saya pengalaman diberkati ketika saya sudah ada di seminari? Mengapa tidak dari dahulu?
Ketika lulus SMA seminari saya pernah mencobai Tuhan. Sekedar iseng, saya ikut Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Singkat cerita, saya diterima dan bahkan beberapa orang sempat menyarakan untuk kuliah dahulu baru kemudian menimbang kembali tentang panggilan menjadi seorang imam.
Mengapa Tuhan memberikan berkat yang begitu melimpah ketika saya sudah “terlanjur” memilih seminari?
Awalnya, saya memilih menjalani panggilan Tuhan karena inkapasitas saya. Setelah menjalani pendidikan di seminari ada dua pilihan dan saya harus meneguhkan hati pada salah satunya. Orang-orang di seminari menengah sudah menduga bahkan cenderung yakin kalau saya akan mundur. Tetapi, rancangan Tuhan tidak seorang pun yang tahu bahkan diri saya sendiri.
Dalam refleksi, saya sampai pada keyakinan bahwa Tuhan membentuk saya menjadi sebuah bejana yang indah bukan tanpa tujuan. Jikalau saya sudah baik sejak sebelum masuk seminari, mungkin saya tidak pernah berada di seminari. Tetapi, Tuhan membuat saya baik dalam bimbingan-Nya di seminari. Saya menemukan diri saya yang baik di dalam perjalanan ingin menjadi seorang imam. Kemudian, saya meyakini bahwa Tuhan mempersiapkan saya untuk sesuatu yang saya sendiri belum tahu. Saat itu pula saya menyadari, saya diberkati untuk menyalurkan berkat itu. Akhirnya, dengan kesungguhan hati, saya memilih untuk menjadi seorang imam.
Kenyataan saat ini
Hidup ini hanya berlangsung sekali dan masing-masing orang harus memilih bagaimana ia menjalani hidupnya dan mengaktualisasikan dirinya. Dengan salah satu dari sekian banyak cara hidup yang mungkin dijalani itulah seseorang menentukan optio fundamentalnya yang kemudian direalisasikan dalam optio partikularnya. Dengan kata lain, setiap kita memilih dengan cara apa mendedikasikan hidup.
Setiap pilihan mengandung tanggung jawabnya masing-masing. Saya teringat akan perikop “Orang muda yang kaya”. Dalam Mat 19:16-20, si pemuda kaya “memilih” untuk memperoleh hidup yang kekal. Kemudian, Yesus menjelaskan dengan sangat terang dan menyempurnakannya dengan berkata: “pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin …, kemudian datanglah ke mari dan ikutilah Aku.” Si pemuda kaya itu pergi meninggalkan pilihannya dengan sedih. Demikian halnya panggilan untuk menjadi imam mengandung tanggung jawabnya yang harus dipikul.
Saya bukanlah pemuda kaya, baik material maupun intelektual (justru lebih banyak kekurangannya). Akan tetapi demi panggilan yang saya pilih, saya “menjual” segala yangg ada diri saya sendiri. Ada ungkapan demikian, seorang imam bukan miliknya sendiri. Inilah tanggung jawab pilihan menjadi imam: bukan menyerahkan yang di luar dirinya melainkan dirinya sendiri yang menjadi “harta” bagi Tuhan dan sesama.
Saya merefleksikan motivasi panggilan saya sangat realistis. Intinya ialah saya memilih ini. Meskipun demikian, saya pun tidak menutup mata akan sisi misteri/adikodrati sebuah panggilan, yang tidak bisa hanya “kamu berusaha maka kamu mendapatkannya.”
Oleh karena itu pilihan saya untuk menjadi seorang imam ditempuh dengan kepasrahan yang total dengan kekuatan Sabda Allah yang selalu bergema di hati saya: “pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin …, kemudian datanglah ke mari dan ikutilah Aku” (Mat 19:16-20). ***
Nama : Pius Wahyo Adityo Raharjo
Lahir : Bandarlampung, 21 Agustus 1994
Anak ke : 3 dari 3 bersaudara
Paroki asal : Santo Yohanes Rasul Kedaton
Ayah : Yohanes Suharyono S.B.R.
Ibu : Yustina Sri Retno Winarni
Masa Pendidikan dan Imamat
TK : TK Fransiskus Pasir Gintung (1998-2000)
SD : SD Fransiskus Pasir Gintung (2000-2006)
SMP : SMP Fransiskus Pasir Gintung (2006-2009)
SMA : SMA Xaverius 1 Palembang (2009-2012)
Seminari menengah : Santo Paulus Palembang (2009-2013)
TOR : TOR Santo Markus Pematangsiantar, Sumatera Utara (2013-2014)
Seminari tinggi : Seminari Tinggi Santo Petrus Pematangsiantar Sumatera Utara (2014-2021)
Filsafat : Fakultas Filsafat Unika Santo Thomas, Medan (2014-2018)
TOP I : Paroki Santo Yohanes Paulus II, Murni Jaya, Tulang Bawang Barat (2018-2019)
TOP II : Stasi Santo Petrus Bawang, Paroki Kristus Raja Katedral Tanjung Karang, Bandarlampung (2019-2020)
Pendidikan Teologi : STFT Santo Yohanes Pematangsiantar (2020-2022)
Pelantikan Lektor/
Akolit : Seminari Tinggi Santo Petrus Pematang Siantar (22 Februari 2017)
Persiapan Pastoral : Paroki Santo Petrus Kalirejo, Lampung Tengah (20 Juli 2022 – 22 November 2022)
Tahbisan Diakonat : Stasi Santo Petrus Panjang, Paroki Teluk Betung (22 November 2022)
Masa Diakonat : 1. Paroki Santo Petrus Kalirejo, Lampung Tengah (22 November 2022 s.d. 30 Juni 2023)
Dirdios Karya Kepausan Indonesia (KKI) Keuskupan Tanjung-karang (01 Juli 2023 – sekarang)