Berbagai norma dalam Gereja perlu dibaca dan dipahami menurut terang roh iman dengan berlandaskan pada kasih. Dalam kaitannya dengan norma liturgy, instruksi Redemptionis Sacramentum (RS) menyatakan “ketaatan lahiriah melulu terhadap norma-norma tertentu saja bertentangan dengan semangat Liturgi Suci, yang di dalamnya Kristus sendiri ingin mengumpulkan Gereja-Nya sedemikian rupa sehingga bersama dengan-Nya Gereja itu merupakan satu tubuh dan satu roh. Karena itu pun tata cara lahiriah harus diterangi oleh iman dan kasih, melaluinya kita dipersatukan dengan Kristus dan satu sama lain; melaluinya juga kita memupuk cinta akan orang yang miskin dan tersingkir” (RS 5).
Menaati norma atau peraturan lutirgi tentu saja sesuatu yang wajar karena sikap ketaan itu sudah menjadi konsekuensi janji baptis dan untuk para imam janji imamat yang mau setia pada Tuhan dan Gereja-Nya. Bahkan sikap yang ‘taat asas’ merupakan sikap yang umum dan wajar serta berlaku dalam kehidupan masyarakat kita. Kalau orang membuka rekening di sebuah bank, ia harus mengikuti persyaratan yang diberikan oleh bank tersebut. Apabila orang ingin menjadi anggota perkumpulan sebuah komunitas, ia juga perlu mengikuti syarat yang ditentukan. Pemain bola jika hendak bermain bola juga harus mengikuti cara bermain bola. Tidak bisalah dia bermain semaunya sendiri, atau sesuai seleranya masing-masing. Sikap ‘taat asas’ sudah merupakan kemestian dalam suatu kehidupan bersama dimanapun.
Pembaruan liturgy yang dicanangkan oleh Konsili Vatikan (KV) II telah memberikan sumbangan yang besar dalam kehidupan liturgy umat (EE 10; RS 4). Tetapi, Bapa Suci ataupun Takhta Suci menyesalkan berbagai penyimpangan atau penyelewengan dalam bidang litrugi Gereja, khususnya Perayaan Ekaristi. Berbagai penyelewengan itu “turut mengaburkan iman serta ajaran Katolik mengenai Sakramen yang mengagumkan ini” (EE 10, RS 6). Instruksi RS melihat bahwa penyimpangan atau penyelewengan di bidang liturgy itu tidak akan membawa ke suatu pembaruan yang sejati, tetapi malah melanggar hak umat beriman akan sebuah perayaan litrugis yang adalah pengungkapan hidup Gereja sesuai dengan tradisi dan tata tertibnya (RS 11).
Penyelewengan-penyelewengan di bidang lutirgi sering bersumber pada salah pengertian mengenai makna kebebasan (RS 7), atau inisiatif-inisiatif yang ternyata justru berlawanan dengan tertib iman (RS 8), ataupun ketidakpahaman atas makna dan sejarah berbagai unsur liturgy (RS 9). Dari pengalaman kita sendiri, banyak praktek litrgi Gereja sering bukan karena adanya kehendak yang sengaja untuk melawan ajaran Gereja, tetapi biasanya lebih karena kurangnya pemahaman atau pengertian akan asas-asas litrugi yang baik dan benar. (YDW)