Hari ini, 8 Desember 2021 merupakan hari yang penuh berkat. Pesta Bunda Maria Tak Bernoda. Pagi itu, di Biara Kongregasi Suster Soeurs de Notre Dame (SND) Maria Asumpta, Bandarjaya, Lampung Tengah merayakan dua peristiwa iman. Peristiwa syukur atas berkat dan kasih Tuhan.
Pertama, pemberkatan Biara SND Maria Asumpa. Kedua, Perayaan Syukur atas 40 Tahun Hidup Membiara Sr. Maria Etha SND. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Delegatus ad Omnia, Rm. Yohanes Samiran SCJ. Didampingi 10 imam.
Pesta Bunda Maria Tak bernoda yang jatuh pada tanggal 8 Desember ini banyak digunakan oleh kongregasi-kongregasi untuk perayaan kaul. Imamat. Peristiwa-peristiwa iman lainnya. Banyak yang ingin belajar dari iman yang dihidupi Bunda Maria, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah menurut kehendak-Mu.” Belajar bagaimana Bunda Maria menanggapi tawaran kasih Allah, dengan penuh penyerahan diri.
Kesaksian Hidup
Empat tahun yang lalu kongregasi SND hadir di Keuskupan Tanjungkarang. Kongregasi termuda di keuskupan ini.
Oleh Uskup Yohanes Harun Yuwono, yang kini menjadi Uskup Agung Palembang sekaligus sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Sufragan Tanjungkarang, mereka diundang untuk melengkapi karya pelayanan di Keuskupan Tanjungkarang. Selain itu, memberi warna karisma dan spiritualitas kongregasi di keuskupan ini.
Kehadiran Kongregasi SND ini, yang utama bukanlah terletak pada karyanya. Tetapi pada kesaksian hidup. Menampilkan wajah Gereja yang penuh kerahiman dan belaskasih. Selain itu, menumbuhkan benih-benih panggilan.
Beberapa tahun yang lalu, SND pernah juga hadir dan berkarya di Yayasan Pelita Kasih, Bandarlampung. Melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Tetapi ‘kurang pas’ karena karya mereka memang tidak menangani di bidang itu. Maka, sekarang mereka berkarya khusus di bidang pendidikan.
Apa pun yang telah terjadi, tetaplah rasa syukur dan terimakasih atas kehadiran SND. Semoga berkat Tuhan selalu menyertai komunitas dan rumah biara ini
Lemah, namun dipakai Allah
Dalam homilinya, Rm. Yohanes Samiran SCJ menyatakan, syukur atas perjuangan Sr. Etha selama 40 tahun. Ketika jatuh, berani untuk bangkit kembali. Bertobat. Tidak Menyerah. “Itu yang penting,” ujar Rm. Samiran.
Kurun waktu 40 tahun meniti panggilan Allah, tidaklah mulus. Sering jatuh dalam dosa. Godaan. Mengikuti kenikmatan duniawi. Ini bisa menghambat dan mematikan rahmat.
Ini tidak hanya bagi kaum religius atau para imam. Sama dengan orang yang berkeluarga. Awalnya, memiliki komitmen. Setia dalam untung dan malang. Hidup sederhana. Namun, setelah lima atau sepuluh tahun berkeluarga, janji-janji itu bisa pudar.
Allah menerima kelemahan dan kerapuhan yang ada pada diri Sr. Etha SND, untuk dijadikan alat-Nya. Biarlah Dia yang memulai niat-niat baik, Dia pula yang akan menyelesaikannya lewat rahmat dan berkat-Nya. ***
M. Fransiska FSGM