Selasa (2/5), para religius dari berbagai tarekat yang berkarya di Regio Sumatera memadati halaman Rumah Retret La Verna, Pringsewu, Keuskupan Tanjungkarang. Acara ini diawali dengan tarian khas Lampung, Gham Junjung yang dipersembahkan oleh sepuluh siswa-siswi Sekolah Yos Sudarso Yayasan Pendidikan Katolik Leo Dehon, Lampung. Tarian ini mengungkapkan keramahtamahan masyarakat Lampung. Keramahtamahan itu disimbolkan juga dengan seorang putri yang mempersembahkan sekapur sirih kepada para tamu yang hadir. Kemudian, para tamu diantar memasuki aula untuk perkenalan antar utusan tarekat dipandu oleh RD Andreas Sunaryo dan Sr Mariana HK.
Kegiatan ini dihadiri oleh banyak kongregasi Suster, diantaranya : CB, HK, OSR, SFD, SCMM, FSGM, FMM, H.Carm, OSF, SDD, KKS, OSC.Cap, FCH, ALMA, FCJM, RGS, SND, KYM, AK, P.Carm, KSSY, SDC. Selain itu juga hadir utusan dari kongregasi Imam/Biarawan: SCJ, OFM, OFM.Cap, OFM.Conv, SJ, CP, MSC, MSF, CDD, CSE, SX, OCD, OSC, SVD, SSCC, CMF, CSSR, Br. FIC, Br. BM, Fr. BHK, CMM.
Ekaristi pembuka temu pastoral para uskup dan pimpinan tarekat religius Regio Sumatera 2023 ini dipersembahkan oleh Mgr Yohanes Harun Yuwono (Uskup Agung Palembang) bersama dengan para Uskup Regio Sumatera: Mgr Kornelius Sipayung (Uskup Agung Medan), Mgr Fransiskus Tuaman Sasfo Sinaga (Uskup Sibolga), Mgr Vitus Rubianto Solichin (Uskup Padang), dan Mgr Vinsensius Setiawan Triatmojo (Uskup Tanjungkarang). Dalam homilinya, Mgr Harun mengajak peserta yang hadir untuk merefleksikan, “Adakah di sini dalam pelayanan yang merasa berhasil ? Adakah di sini yang merasa dalam pelayanan gagal? Atau adakah yang masih bersemangat dalam karya, berhasil atau gagal? Atau apakah ada juga yang mengatakan kepada pengutusnya tidak bisa? Tentu tidak banyak, namun ada”, ungkapnya.
Di sisi lain, Mgr Harun juga menegaskan dasar-dasar kesatuan sebagai pelayan pastoral di ladang Regio Sumatera. Kesatuan menjadi tujuan bersama, ‘Untuk apa harus terjadi perpecahan-perpecahan dikalangan petugas pastoral, apa penyebabnya? Mungkin karena ego pribadi, kuasa atau kepentingan lainnya. Kesatuan dalam jemaat yang dimulai sejak Gereja awal menjadi inspirasi, saat dimana Paulus yang ‘awalnya’ merasa gagal, namun dipakai Allah untuk mengembangkan Gereja-Nya. Inspirasi yang sama juga didasarkan pada kesatuan Tritunggal, yang sekehendak seperasaan dan selalu dalam kesatuan. “Di samping itu, semangat sinodalitas yang digemakan oleh Paus Fransiskus, berjalan bersama hendaknya menjadi semangat kita bersama. Kita berjalan bersama dengan bermacam-macam orang, ada yang tidak baik, ada juga yang sangat baik. Ada yang berkebutuhan khusus, ada juga sebaliknya. Namun ada juga yang berjalan sendiri, tatkala yang lain tertatih-tatih, ia sudah sampai dahulu, dan setelah mereka yang tertatih hampir sampai, ia melanjutkan perjalanannya lagi. Marilah kita olah bersama ladang karya pastoral di Regio Sumatera ini”, pungkasnya.
Dalam temu pastoral ini dihadirkan beberapa pakar atau narasumber, Joanes Joko, Rm. Prof. Franz Magnis Suseno SJ, Prof. Adrianus Meliala, Ari Nurcahyo, Mohamad Sobary. Dalam sesi pertama, Joanes Joko memberi inspirasi seputar media sosial: meneguhkan iman atau melunturkan iman? Gagasan awal yang ia tawarkan kepada peserta yang hadir adalah kenyataan bahwa dunia kita yang terus berubah dan dunia kita merupakan proses dari sebuah perubahan. Pendekatan yang dipakai dalam sesi ini adalah teknologi yang selalu berkembang dari masa ke masa, bahkan cara pandang dunia berubah dengan adanya perkembangan teknologi, termasuk juga covid merubah manusia, juga ke mana peradaban dunia ini akan terarah.
Dengan data yang disajikan, Joko mengungkapkan adanya bonus demografi Indonesia yang hanya akan terjadi sekali dalam sejarah bangsa (2030). Jika bonus ini tidak dikelola dengan baik, akan mirip dengan sitiuasi di Afrika Tengah. “Seiring dengan itu, marilah kita juga menjadikan media sosial sebagai sarana yang mendukung dalam menyikapi bonus demografi ini. Sebab, jika media sosial tidak dikelola dengan baik, juga akan hancur.
Lebih lanjut, Joko mengungkapkan nilai-nilai penting media sosial, misalnya untuk menjaga hubungan atau relasi dengan keluarga, teman-teman, dan mengakses informasi apa saja yang dibutuhkan. Selain itu media sosial juga menjadi sarana untuk menyampaikan opini, emosi dan juga eksistensi.
Disamping nilai-nilai penting media sosial, Joko juga mengunkapkan bahwa media sosial kadang disalahgunakan untuk menyebarkan berita bohong yang tak jarang bukan berasal dari kalangan yang tak mengenyam pendidikan, justru dari kalangan berpendidikan. Joseph Goebbels, Menteri Penerangan Publik dan Propaganda Nazi pernah menuturkan, “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan membuat publik menjadi percaya bahwa kebohongan tersebut adalah sebuah kebenaran”.
“Memang lebih mudah melempar sesuatu yang kotor di media sosial dan residu itu akan bertahan dan tertinggal di dalamnya. Bahkan tak jarang juga terjadi pembocoran data pribadi, termasuk juga money laundry”, ungkap Joko. Menyikapi hal-hal di atas, apakah media sosial menurunkan atau menaikkan kualitas atensi dan empati para penggunanya? Atau apakah masih ada tower otoritas dan dominasi klasik? (RD. Nic.)