Artikel

BKSN 2020, Menjadi Pewarta Kabar Baik ditengah Krisis Iman dan Identitas

Gereja Katolik Indonesia menetapkan Bulan September sebagai Bulan Kitab Suci Nasional. Pada Bulan Kitab Suci Nasional ini, umat Katolik diharapkan menjadi lebih dekat dengan Kitab Suci. Seperti yang kita ketahui, pada BKSN biasanya banyak diadakan kegiatan-kegiatan untuk mengisi bulan ini. Mulai dari lingkup lingkungan, paroki, komunitas, biara, hingga Keuskupan. Bahkan di sekolah-sekolah Katolik pun banyak diadakan kegiatan-kegiatan untuk mengisi Bulan Kitab Suci ini. Untuk tahun 2020 ini tema BKSN yang diambil adalah ‘Mewartakan Kabar Baik Ditengah Krisis Iman dan Identitas’. Tema ini merupakan tema lanjutan dari ‘Mewartakan Injil di Tengah Arus Zaman’. Dimana tema tersebut ditetapkan saat Pertemuan Nasional LBI pada 2016 lalu. Tema besar ini dijabarkan jadi empat tema lain di empat tahun berikutnya. Dalam buku pegangan BKSN 2020 terbitan Lembaga biblika Indonesia , krisis banyak dialami oleh umat Kristiani. Krisis bisa menyangkut iman dan identitas. Umat diajak untuk merenung dan belajar dari mereka yang telah mengalami krisis sebelumnya. Dalam kitab suci perjanjian lama, umat Katolik diajak untuk belajar dari pengalaman orang Yahudi yang diangkut ke pembuangan di Babel. Kehidupan dalam pembuangan bukan-lah perkara mudah. Namun, dari sini, lahir nabi-nabi yang jadi pewarta kabar baik seperti Yehezkiel dan Yesaya. Melompat ke Perjanjian Baru, kematian ‘Rabbi’ atau guru seperti sebuah akhir. Namun, Yesus benar-benar hadir memberikan energi baru untuk mereka yang pergi mewartakan kabar baik. Berikut terlampir buku pegangan BKSN 2020 terbitan LBI dan buku renungan harian BKSN disini  

BKSN 2020, Menjadi Pewarta Kabar Baik ditengah Krisis Iman dan Identitas Read More »

REFLEKSI-REFLEKSI YANG TIDAK TEPAT WAKTUNYA TENTANG KELAHIRAN KEMBALI KEHIDUPAN

Covid-19 telah membawa kepedihan bagi dunia. Kita telah menjalaninya untuk begitu lama, sekarang, dan itu belum berakhir juga. Mungkin belum berakhir untuk waktu yang lama. Apa yang membuatnya demikian? Tentu saja, kita dipanggil untuk berani melawan. Pencarian vaksin dan penjelasan ilmiah menyeluruh tentang apa yang memicu bencana membuktikan hal itu. Apakah kita dipanggil kepada kesadaran lebih dalam juga? Jikalau demikian, bagaimana waktu jeda kita akan mencegah kita jatuh ke dalam inersia kepuasan (sikap tidak aktif karena puas diri), atau lebih buruk lagi, ke pada tindakan diam-diam untuk menyerah? Apakah ada “langkah mundur” bijaksana, yang bukan berarti tidak berbuat apa-apa, sebuah pemikiran yang mungkin berubah menjadi rasa terima kasih atas kehidupan yang diberikan, sehingga menjadi jalan menuju kelahiran kembali kehidupan? Covid-19 adalah nama krisis global (pan-demi) dengan berbagai aspek dan perwujudan, namun tentunya menjadi kenyataan umum. Kita telah menyadari, tidak seperti sebelumnya, bahwa keadaan berbahaya yang aneh ini, yang telah lama diprediksi, namun tidak pernah diatasi secara serius, telah menyatukan kita semua. Seperti begitu banyak proses di dunia zaman kita sekarang ini, Covid-19 adalah wujud terbaru globalisasi. Dari perspektif empiris murni, globalisasi telah memberikan banyak manfaat bagi umat manusia: globalisasi telah menyebarluaskan pengetahuan ilmiah, banyak teknologi kedokteran, dan praktik kesehatan, semua ini berpotensi disediakan bagi kebaikan semua orang. Pada saat yang sama, dengan Covid-19, kita menemukan diri kita terhubung secara berbeda, berbagi dalam pengalaman kejadian (cum-tangere) yang sama: dengan tidak mengecualikan siapa pun, pandemi ini telah membuat kita semua sama-sama rentan, semua sama-sama terpapar (bdk. Akademi Kepausan untuk Hidup, Pandemi Global dan Persaudaraan Universal, 30 Maret 2020). Kesadaran seperti itu telah datang dengan biaya tinggi. Pelajaran apa yang telah kita peroleh? Terlebih lagi, perubahan pemikiran dan tindakan apa yang siap kita lakukan dalam tanggung jawab bersama kita terhadap keluarga manusia (Fransiskus, Humana Communitas, 6 Januari 2019)? Selengkapnya dapat dilihat disini

REFLEKSI-REFLEKSI YANG TIDAK TEPAT WAKTUNYA TENTANG KELAHIRAN KEMBALI KEHIDUPAN Read More »

Sejarah Gereja Katedral Tanjungkarang

Berbicara tentang sejarah Paroki Katedral Kristus Raja, Keuskupan Tanjungkarang mau tak mau kita harus membuka lembaran-lembaran yang lebih tua lagi. Tidak mudah untuk melacak dokumen yang sahih kapan di Pulau Sumatera ini berdiri Gereja Katolik dan dilayani oleh para misionaris. Beberapa sumber mengatakan bahwa pada masa pendudukan Portugis pastor-pastor almusenir (pastor tentara) juga menyebarkan Kabar Gembira kepada masyarakat. Tetapi dengan berakhirnya pendudukan Portugis dan masuknya VOC berakhir pula karya misi di Sumatera.   Untuk lebih lanjut mengenai sejarah Gereja Katedral Kristus Raja Tanjungkarang, Anda dapat mengunduh file PDF nya sejarah-keuskupan-tanjungkarang   Terimakasih atas perhatianya dan Berkah Dalem

Sejarah Gereja Katedral Tanjungkarang Read More »

BELAJAR KITAB SUCI DI ZAMAN YESUS

Pengantar Dalam keempat Injil, salah satu gelar yang paling banyak dikaitkan dengan Yesus adalah gelar guru atau dalam bahasa Yunani, didaskalos. Selain istilah ini, Injil Lukas, masih menggunakan istilah lain, yaitu epistetes, yang artinya sebenarnya mirip saja. Istilah ini kira-kira sepadan dengan istilah Ibrani, rabi, yang juga memiliki arti guru. Penggunaan gelar ini rasanya mau menunjukkan bahwa bagaimanapun juga, Yesus dipandang sebagai seorang pengajar. Di beberapa bagian dalam Injil kita memang menemukan Yesus yang tampil sebagai guru yang mengajar secara istimewa. Dalam Kotbah di Bukit, misalnya, ada bagian yang dalam Alkitab kita diberi judul “Yesus dan Hukum Taurat” (Mat 5,17-48). Di situ Yesus ditampilkan sebagai seorang yang sangat paham tentang Kitab Suci Yahudi dan memberikan paham tandingannya. Juga dalam kisah percobaan di padang gurun, Yesus digambarkan sebagai seorang yang menguasai Kitab Suci sehingga bisa berdebat dengan Iblis (Mat 4,1-11). Fakta semacam itu mungkin menimbulkan suatu pertanyaan yang didasari oleh keingintahuan. Bagaimana pada zaman itu, pendidikan iman dilangsungkan sehingga Yesus, seorang Galilea, juga bisa mempunyai pengenalan yang baik akan Kitab Suci-Nya? Sesuatu paparan singkat akan hal ini mungkin bisa memberikan inspirasi bagi kita sekarang ini dalam mewartakan Kitab Suci. Ini yang mau kita buat dalam tulisan ini. Tentu saja kita mesti mengakui bahwa topik pendidikan seperti ini sungguh sebenarnya merupakan satu topik raksasa. Tidak banyak yang bisa kita sampaikan di sini. Tetapi meskipun begitu, semoga yang sedikit ini masih bisa menunjukkan kegunaannya. Alkitab Dalam Hidup Orang Yahudi Untuk bisa memahami pendidikan dalam kehidupan orang Yahudi, kita mesti mengetahui tempat Hukum Taurat dalam kehidupan dan pemikiran orang Yahudi. Sementara untuk bisa memahami tempat Hukum Taurat dalam kehidupan orang Yahudi, kita mesti mundur beberapa abad sebelum kelahiran Kristus, ke masa Pembuangan Babilonia. Pada tahun 587 Kerajaan Yehuda dihancurkan oleh Raja Nebukadnezar dari Babilonia, dan sebagian besar penduduk Yudea dibuang ke Babel. Mereka kehilangan segalanya. Tanah air yang merupakan Tanah Terjanji dan Bait Allah, yang merupakan tempat kehadiran Allah, semuanya terlepas dari tangan mereka. Peristiwa ini tentu menimbulkan krisis mendalam bagi bangsa Israel. Mereka merasa YHWH, Allah Israel sudah meninggalkan mereka. Hubungan perjanjian selesailah sudah. Tetapi karena pewartaan beberapa nabi, seperti misalnya Yeremia dan Deutero-Yesaya, bangsa Israel bisa diyakinkan bahwa hubungan dengan Allah mereka tidak berakhir. Di satu pihak, pengalaman di pembuangan, tanpa Tanah Terjanji, tanpa Raja, tanpa Bait Allah, akhirnya justru membawa pencerahan bagi bangsa Israel. Hubungan dengan YHWH  tidak lagi terikat pada hal-hal yang bersifat material, entah Tanah Terjanji, atau Bait Allah, atau mekanisme kurban. Hubungan dengan Allah menjadi lebih personal dan lebih spiritual. Karena Bait Allah tidak ada, maka perhatian beralih ke Firman, Hukum Musa menjadi Hukum Tuhan sendiri. Di sini kita melihat sesuatu yang amat penting yaitu pergeseran dari Bait Allah ke Firman Allah. Bagi umat yang dalam Pembuangan, hubungan dengan Allah dibina melalui Firman Allah, atau Taurat itu sendiri. Ibadat sinagoga yang diwarnai dengan pembacaan Firman Allah kiranya dimulai pada periode ini. Di lain pihak, bangsa Israel mengakui bahwa pembuangan tidak lain dan tidak bukan adalah penghukuman atau kutuk perjanjian karena mereka telah berulang kali meninggalkan Allah. Oleh karena itu, setelah mereka pulang dari pembuangan, Taurat menjadi pusat hidup mereka. Mereka tidak mau pengalaman pahit terulang kembali. Mereka menjadi bangsa yang mau setia 200% kepada Hukum Taurat. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa bagi bangsa Israel, Hukum Taurat menempati tempat yang istimewa. Dari perspektif inilah penghayatan orang Israel terhadap Taurat mesti ditempatkan. Usaha Pendidikan Alkitab “Tetapi orang banyak ini yang tidak mengenal Hukum Taurat, terkutuklah mereka” (Yoh 7: 49). Inilah yang kiranya menjadi keyakinan sebagian besar orang Israel setelah pembuangan. Dari keyakinan itu, kita bisa menduga ke arah mana implikasinya. Bagi bangsa Israel, pemahaman akan Hukum Taurat dipandang sebagai harta tak ternilai yang mesti dikejar di atas yang lain. Tidak mengherankan bahwa memahami Hukum Taurat merupakan hal pokok yang mesti diusahakan oleh setiap orang Israel dengan segala macam cara dan usaha. Menurut Mishnah, traktat Abot 5,21 dilukiskan tahap-tahap dalam kehidupan seorang manusia. Daftarnya adalah sebagai berikut: Pada umur lima tahun (seorang siap untuk belajar) Kitab Suci; pada umur sepuluh, Mishnah; pada umur tiga belas, Perintah-perintah; pada umur lima belas, Talmud; pada umur delapan belas, perkawinan; pada umur dua puluh, siap mengejar panggilan hidup; pada umur tiga puluh, berada pada kekuatan penuh; pada umur empat puluh, pengertian; pada umur lima puluh, nasehat; (bdk. Bil 8,25) pada umur enam puluh, usia tua; (bdk. 1Taw 29,28) pada umur tujuh puluh, rambut putih; pada umur delapan puluh, kekuatan ekstra; (bdk. Mzm 90,10) pada umur sembilan puluh, jompo; pada umur seratus, seolah-olah sudah meninggal. Tahap-tahap ini bisa dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok: a. sampai dengan umur 18 tahun adalah masa persiapan; b. mulai umur 20 adalah masa hidup yang beraktivitas penuh; dan c. mulai umur 60 tahun adalah hidup yang mulai menurun. Kita melihat masa persiapan seorang remaja Yahudi sungguh diwarnai oleh studi tentang keagamaan, khususnya studi teks-teks suci. Ada dua institusi yang kiranya menyediakan pembelajaran ini. Yang pertama adalah keluarga yang merupakan tempat pendidikan pertama bagi setiap anak Yahudi. Kemungkinan besar, pendidikan awal di dalam keluarga masih merupakan pendidikan baca-tulis yang bersifat elementer dan bersifat praktis berkaitan dengan pekerjaan orang tuanya. Yang kedua adalah sistem sekolah. Beberapa ahli mengatakan bahwa sudah sejak abad pertama mayoritas remaja Yahudi mengenyam pendidikan dasar di sekolah yang didedikasikan pada membaca Kitab Suci Ibrani, yang biasa disebut bet ha-sefer (sekolah kitab, school of the book). Menurut catatan Mishnah di atas, seorang anak laki-laki Yahudi mulai belajar di bet ha-sefer pada usia sekitar 5 tahun. Mempelajari Kitab Suci pada usia semuda itu berarti belajar dari tahap yang paling awal, yaitu belajar membaca dan menulis. Mungkin proses ini diawali dengan mempelajari 22 alfabet Ibrani dengan pertama-tama membaca dan menuliskannya di batu tulis, kemudian dilanjutkan dengan latihan melengkapi kalimat, menuliskan nama, dsb. Setelah seorang anak mempunyai keakraban dengan soal baca-tulis, mulailah dia melatih diri dengan membaca potongan-potongan teks-teks suci (mungkin masih dalam bentuk gulungan atau scroll), dan akhirnya membaca gulungan Taurat yang utuh. Tidak bisa dikesampingkan juga metode pengajaran yang terdiri dari membaca keras-keras dan kemudian mengulangi bacaan tersebut. Pada usia 12 atau 13 tahun, seorang remaja Yahudi selesai menjalani

BELAJAR KITAB SUCI DI ZAMAN YESUS Read More »

Keuskupan Tanjungkarang

keuskupantanjungkarang.org adalah website resmi Keuskupan Tanjungkarang yang dikelola langsung oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Tanjungkarang

Kritik, usul, dan saran dapat menghubungi kami melalui komsosktjk18@gmail.com

Lokasi Kantor Keuskupan Tanjungkarang

© 2018-2024 Komsos Tanjungkarang | Designed by Norbertus Marcell

You cannot copy content of this page

Scroll to Top