Artikel

Menjadi Satu Daging

RD Antonius Suhermanto Sembari bermenung dan berpikir tentang khotbah pada perayaan peneguhan perkawinan yang akan ia layani beberapa hari lagi, Rm. Itheng iseng-iseng membuka-buka file khotbah perkawinan di laptopnya. Ia menemukan file khotbah yang ia bawakan tiga tahun yang lalu. Khotbah perkawinan itu didasarkan pada perikop Mrk 10:2-9: “Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada–Nya: ‘Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?’ Tetapi jawab-Nya kepada mereka: ‘Apa perintah Musa kepada kamu?’ Jawab mereka: ‘Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.’ Lalu kata Yesus kepada mereka: ‘Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.  (Mrk 10:2-9) Dalam perikop yang paralelnya juga ada pada Injil Matius, Yesus memberi jawab atas pertanyaan orang-orang Farisi yang mau mencobai Dia. Orang Farisi mempertanyakan pandangan Yesus tentang perceraian. Pada masyarakat Yahudi ada beragam tafsir tetang perceraian. Seturut salah satu artikel yang pernah dibaca Rm. Itheng pada sebuah buku bunga rampai tentang soal-soal perkawinan dalam Alkitab, pandangan yang beredar dalam masyarakat Yahudi pada masa Yesus dapat dirangkum dalam tiga kategori: 1) pandangan yang paling dominan bahwa adanya hak yang hampir takterbatas dari seorang suami untuk menceraikan istrinya; 2) ada pandangan kelompok Esseni di Qumran yang jelas mengkritik praktik poligini (beristri banyak) sehingga tampak secara tidak langsung mengkritik tindakan perceraian dan kawin lagi; 3) larangan mutlak terhadap perceraian. Teks tentang perceraian dalam Perjanjian Lama dapat kita temukan dalam Kitab Ulangan. “Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.” Kemungkinan pernyataan orang Farisi yang mencobai Yesus, “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai” didasarkan pada perikop Ulangan di atas. Dari teks Ulangan itu tampaknya memang memperbolehkan adanya perceraian dan memberi hak pada suami untuk menceraikan istrinya. Akan tetapi teks ini sebenarnya mau mengatur dan membatasi kesewenangan dan egoisme suami dan para pria. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menjamin dan melindungi hak dan martabat perempuan. Dengan demikian kemungkinan besar teks dari bagian Taurat Musa ini mau menegaskan hakikat perkawinan yang monogami (hanya di antara satu pria dan satu wanita) dan tidak terceraikan. Perkawinan yang monogami dan tak terceraikan inilah yang mau dibela Yesus. Dasar tidak adanya perceraian adalah kehendak Allah sejak penciptaan. Sejak awal penciptaan dunia Allah telah mempersatukan seorang pria dan seorang wanita. Karenanya Yesus mendasarkan jawabannya pada kisah penciptaan dengan mengutip Kej 1:27 dan Kej 2:24. Hukum Musa dalam Kitab Ulangan yang dikutip orang Fraisi mesti dilihat dalam konteks penciptaan. Kehendak Allah dalam penciptaan bahwa perkawinan adalam monogam dan tak terceraikan disebut dengan pernyataan: “keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Allah menghendaki kesatuan utuh perkawinan. Suami dan Istri dalam perkawinan hidup dalam kasih yang utuh dan tak terbagi. Keduanya saling melengkapi dan saling berkorban. Untuk lebih menekankan kehendak Allah ini Yesus menegaskan, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mrk 10:9). Rasul Paulus merenungkan hakikat perkawinan dalam kaitannya dengan kasih Allah dalam diri Kristus bagi umat-Nya. Kristus menunjukkan kasih setia demikian kasih inilah yang harus diwujudkan dalam relasi perkawinan antara suami dan istri (lih. Ef 5:22-31). Ia juga membandingkan relasi suami-istri dengan tubuh. Melalui perbandingan ini Paulus memberi penjelasan menjadi satu daging, isteri adalah bagian dari diri suaminya. Karenanya ia menjelaskan, “… suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya” (Ef 5:28-30). Pernah Dimuat di Majalah Nuntius Edisi Februari 2018  

Menjadi Satu Daging Read More »

JEJARING HUMANIS

Sebuah kisah Ada seorang imam yang ingin mengirim surat ke kantor pos. Tapi, imam itu tak tahu di mana kantor pos berada. Imam itu memberanikan diri untuk melanjutkan keinginannya. Ia berpikir, seandainya bingung atau nyasar, ia bisa bertanya kepada orang di jalan. Apa yang dikhawatirkan sebelumnya terjadi. Imam itu tak tahu lagi harus pergi ke arah mana ketika sampai di perempatan jalan. Beruntung di pojok perempatan jalan, ia bertemu dengan seorang anak muda. Begitu imam itu mendekat, anak muda itu langsung menyapanya sebagai Romo. Imam itu kaget karena anak muda yang di hadapannya mengenal dirinya. Rupanya anak muda itu umat parokinya. “Kebetulan saya pernah ke gereja Romo,” kata anak muda itu, menjelaskan. “Kebetulan?” tanya sang imam dengan bingung. “Iya, Romo,” lanjut anak muda itu, “saya tak selalu pergi ke gereja.” Tak ingin memperpanjang diskusi, imam itu langsung bertanya kepadanya jalan menuju kantor pos. Anak muda tersebut langsung mengarahkan sang imam jalan ke kantor pos. Imam itu akhirnya berhasil menemukan kantor pos. Usai mengirim surat, sang imam kembali ke pastoran. Ternyata anak muda itu masih ada di situ. Maka, Romo itu mendekatinya berpesan kepada anak muda itu agar Minggu nanti ke gereja. “Saya siapkan khotbah yang bagus dan menarik buatmu,bagar kamu bisa menemukan jalan Tuhan,” ujar sang imam, penuh keyakinan. Anak muda itu rupanya tak tergiur bujukan pastor parokinya. Ia tak mau ke gereja. Meski pastor parokinya kembali mendesak, anak muda itu bergeming. Ia tetap tak mau. “Bagaimana mungkin Romo menunjukkan jalan Tuhan kepada saya, sementara jalan menuju kantor pos saja Romo tak tahu?” jawab anak muda itu. “Sementara Romo tidak tahu jalan ke kantor pos, biarkan saya menemukan sendiri jalan menuju Tuhan. Tinggal cari tahu di internet, sudah ada GPS (Global Positioning System) yang canggih sebagai penunjuk jalan.” (hidupkatolik.com 13 Agustus 2017). Sebuah Sikap Bagaimana sikap Gereja Katolik atas penggunaan media sosial? Sikap Gereja Katolik sangat jelas, yakni selain menempatkan internet sebagai karunia Allah yang berkarya melalui manusia, Gereja juga turun tangan mengambil bagian membimbing umat bagaimana memanfaatkan media sosial secara bijak. Gereja tidak boleh tinggal diam membiarkan umat mencari sendiri apa yang mereka perlukan. Gereja tetap penting berperan memimpin. Untuk itu, tepat sekali, Gereja sebaiknya mencontohkan bagaimana media sosial dimanfaatkan sebaik mungkin sebagai sarana pewartaan kekinian. Paus Fransiskus  dalam pesan pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke 53  menegaskan “Sejak adanya internet, Gereja selalu mendorong pemanfaatannya untuk melayani perjumpaan dan membangun solidaritas antar pribadi”. Bagi Gereja, hari Komunikasi Sosial ini menjadi begitu penting. Mulai tahun 1966 Gereja merayakan hari Komsos pada Minggu setelah Minggu Paskah ke 5. Peran Gereja adalah pewarta Kabar Baik dan nilai luhur Katolik. Artinya, media sosial merupakan pembaruan bentuk saja, mengikuti perkembangan zaman; tidak untuk ditolak, melainkan untuk dikelola secara bijak. Oleh karena itu, dalam bermedia sosial, penting sekali memegang prinsip untuk mengutamakan kebenaran, kebaikan, dan kemanfaatan dalam berkomunikasi. Kaidah moralitas, etika berkomunikasi dan tatanan hukum wajib dijunjung dalam berkomunikasi di era digital dewasa ini. Hari Komsos ke 53: Jejaring Humanis Tema yang diangkat untuk tahun ini adalah “Kita adalah sesama anggota (Ef 4:25). Berawal dari komunitas jejaring sosial menuju komunitas insani”.  Pemilihan tema tersebut merupakan  ajakan Paus kepada siapapun untuk membantu orang muda guna menemukan dan mengalami kemerdekaan di media sosial lewat kebenaran. Jejaring sosial dapat membantu setiap orang untuk saling terhubung. Tetapi jejaring sosial juga dapat pula dimanfaatkan secara keliru untuk memanipulasi data. Dua sisi jejaring social ini sering kali menjadi ambigu, meskipun sebenarnya sudah ada patokan yang jelas. Gereja mengingatkan bahwa jejaring social (social networking) dipakai untuk mengangkat derajat martabat manusia. Bukan sebaliknya, merendahkan dan menegasikan keluhuran manusia. Komunitas dan jejaring social di dunia maya mampu menunjukkan  kohesi dan soldaritas, tetapi juga sering kali jatuh dalam pembentukkan kelompok komunitas dan jejaring social yang tidak lebih dari sekedar kelompok individu dengan ikatan lemah. Maka bapa Paus mengajak kita untuk merenungkan tentang pentingnya membangun jejaring yang humanis. Komunitas dan persekutuan kita akan semakin kuat jika menghidupi semangat dengan corak kohesif (melekat satu dengan yang lain) dan suportif (saling memberi dukungan dan semangat). Bagi kita: dari LIKE ke AMIN Gambaran  dari ‘Kita adalah sesama anggota (Ef 4:25)’ membawa pengertian bahwa dasar dari jejaring kita adalah Allah yang adalah kasih. Allah bukan Kesendirian, tetapi Persekutuan; Ia adalah Kasih, dan Kasih itu selalu berkomunikasi. Kita sesama anggota atas dasar itu membangun jejaring social yang manusiawi. Internet bukan kita tolak, tetapi menjadi sarana untuk membangun kesatuan dalam keragaman yang humanis. Terhadap media social yang ada, kita perlu melangkah lebih jauh dari sekedar ‘LIKE’ menuju kepada ‘AMIN’. Media social kita jadikan sarana untuk semakin mempererat perjumpaan secara nyata, tanpa merendahkan dan menghina. Boleh bangga dengan sekian ribu ‘subsriber’, tetapi harus lebih bangga dengan warga satu RT yang bersama membangun lingkungan, saling mendukung dan menghargai perbedaan. (Wicaksono SCJ, Komsos Tanjungkarang)  

JEJARING HUMANIS Read More »

Secuplik Tentang Sakramen Tobat

SAKRAMEN Tobat merupakan satu dari tujuh sakramen Katolik. Melalui sakramen Tobat, segala dosa dan kesalahan kita diampuni Allah dan menjadikan manusia terlahir seperti manusia baru kembali. Sebagai orang Katolik, taukah kamu apa saja fakta mengenai sakramen tobat? Sakramen tobat ditetapkan oleh Yesus sendiri. Hal itu dibuktikan ketika Ia datang kepada para rasul pada hari Paskah dan berkata: Terimalah Roh Kudus Ini. Jika kamu mengampuni dosa orang, maka dosanya akan diampuni. Jika kamu mengatakan dosa orang tetap ada, maka dosanya tetap ada (Yoh 20:22a-23). Setelah mengaku dosa, Imam memberikan penitensi. Penitensi adalah tindakan pemulihan untuk kesalahan yang dilakukan. Penitensi tidak hanya mendaraskan doa, namun dapat berupa berpuasa, membantu orang miskin, dan lain sebagainya. Banyak yang berpikir bahwa sakramen tobat tidak terlalu penting dilakukan karena dosa yang dilakukan tidak termasuk dosa berat. Sakramen tobat harus dilakukan, baik berupa dosa berat maupun dosa ringan. Adakah dosa yang tidak dapat diampuni? Dosa yang secara penuh menolak Tuhan akan diberi hukuman yaitu ekskomunikasi. Ekskomunikasi ditujukan agar seseorang dapat memperbaiki diri ke jalan yang benar. Hanya Imam yang dapat memberikan sakramen tobat, karena Imam diberi kewenangan oleh Allah untuk melakukannya. Itu tadi fakta dibalik sakramen tobat. Sebagai seorang Katolik diwajibkan untuk melakukan pengakuan dosa. Minimal setahun sekali pengakuan dosa dilakukan. Selain untuk menghapus diri dari dosa, sakramen tobat juga berguna sebagai wujud diri kita menyerahkan diri pada Allah atas apa yang sudah dilakukan. Yuk mengaku dosa! foto:REUTERS/Alessandro Bianchi via charismanews.com penulis: Anastasia Ria Utami penyunting: Kevin Sanly Putera

Secuplik Tentang Sakramen Tobat Read More »

Tugas Berat Komsos: Frontliner Komunikasi dan Informasi

BANYAK kegiatan telah dilaksanakan selama Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) ke-6. Kota Makassar dan Tana Toraja di Keuskupan Agung Makassar menjadi tuan rumah kegiatan akbar tingkat nasional ini, Minggu, 26/5-Minggu, 2/6. Selain Badan Pengurus Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (Komsos KWI), hadir juga 23 utusan Komisi Komsos Keuskupan di Indonesia. Tema yang diusung adalah “Kita Adalah Sesama Anggota: Berawal dari Komunitas Jejaring Sosial menuju Komunitas Insani”. Selama proses kegiatan PKSN tersebut, tim publikasi mendapat kesempatan mendengarkan refleksi dari salah satu anggota Badan Pengurus Komisi Komsos KWI, yaitu Errol Jonathans. “Yang kita dapatkan dalam PKSN 2019, khusus terkait konteks media sosial, sangat diharapkan para pegiat Komsos,” ungkapnya. Pasalnya, kegiatan ini mengajak peserta untuk pertama-tama mengenali dulu dasar dari seluruh aktivitas media, yaitu ilmu komunikasi atau ilmu publisistik. Kemudian, lanjut Errol, jangan melupakan juga kekuatan dari media-media mainstream atau media arus utama. Alasannya, dalam arus perkembangan yang demikian pesat, di belahan bumi mana pun, bahkan di negara maju, yang namanya media mainstream ini masih sangat eksis. Media mainstream hari ini lebih terhormat lagi karena dianggap sebagai validator semua berita bohong (hoaks). “Artinya, sekarang ini semakin hebat media sosial itu malah membuat media mainstream menjadi semakin kokoh. Ia menjadi  tempat  rujukan, tempat mengecek berita ini-itu benar atau tidak,” jelas Errols. Menurut Direktur Utama Suara Surabaya Media ini, kita jangan terpukau dengan teknologi yang maju, lalu kita meninggalkan kemampuan dan kompetensi kita dalam menangani media mainstream. Akan tetapi, tentu saja harus mengikuti komunikasi, telekomunikasi, dan ke-media-an hari ini yang berbasis pada digital. “Sebaliknya, kita bisa memanfaatkan dunia digital itu untuk menutupi kelemahan dan melengkapi media mainstream, terutama dalam distribusi, deseminasi, dan penyebarannya,” tuturnya. Oleh karena itu, Errol berpesan agar sebagai pegiat Komsos, semua pihak yang terlibat di bidang media mesti melihat bahwa kondisi ini merupakan tugas yang sangat berat. Menurutnya, ada tiga alasan mendasar mengapa Komsos mengemban tugas yang berat. Pertama, Komsos adalah public relations (PR) Gereja Katolik, baik di level paroki, level keuskupan maupun level Konferensi Waligereja. “Setidaknya, Komsos juga menjadi tempat orang/umat mendapatkan informasi dan sebagai fungsi humas.” Kedua, Komsos merupakan pendokumentasi berbagai macam aktivitas Gereja, mulai dari paroki, keuskupan hingga tingkat Konferensi Waligereja. Dengan begitu, personel-personel Komsos harus mulai memikirkan aspek pendokumentasian dalam berbagai  bentuk, foto, teks sampai video, dan dokumentasi lainnya. Ketiga, fungsi Komsos yang terpenting adalah strategi  komunikasi, baik dari atas/pemimpin maupun komunikasi dari umat ke atas. Dengan demikian, fungsi-fungsi  utama Komsos tersebut memperlihatkan bagaimana menjadi pendominasi aktivitas komunikasi dan informasi. Sehingga yang terpenting dengan adanya Komsos, semua saling tahu, saling mengerti, dan semua bisa menjadi wadah untuk saling berkomunikasi. Itulah harapan kepada Komsos, terutama dalam perkembangan dunia komunikasi sosial  sekarang ini. “Kita tentu tidak sepakat bahwa Komsos hanya sebagai tukang foto atau Komsos adalah bagian dokumentasi saja. Seharusnya, Komsos diajak untuk memikirkan bagaimana strategi komunikasi  yang  terbaik,  misalnya untuk  generasi  yang akan datang,” jelas Errol. Dengan banjirnya informasi saat ini, maka menjadi sah, bahkan keharusan, bagi para pegiat Komsos untuk ikut membanjiri dan terlibat. Terlebih lagi, kalau para pegiat Komsos ini bisa menjadi sumber-sumber alternatif atau tempat validasinya. Atau mungkin, Komsos juga bisa menjadi penangkal informasi-informasi yang tidak  benar. Sering kali banyak desas-desus di kalangan  umat.  Misalnya, tentang paroki, tentang pastornya atau yang lain. “Di sinilah tugas Komsos untuk memberi validasi dan membentengi. Komsos dalam hal ini  adalah frontliner, garda terdepan komunikasi dan informasi,” demikian Errol. (RBE) disadur dari: mirifica.net

Tugas Berat Komsos: Frontliner Komunikasi dan Informasi Read More »

Keuskupan Tanjungkarang

keuskupantanjungkarang.org adalah website resmi Keuskupan Tanjungkarang yang dikelola langsung oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Tanjungkarang

Kritik, usul, dan saran dapat menghubungi kami melalui komsosktjk18@gmail.com

Lokasi Kantor Keuskupan Tanjungkarang

© 2018-2024 Komsos Tanjungkarang | Designed by Norbertus Marcell

You cannot copy content of this page

Scroll to Top