KELUARGAKU BANGKIT MENYELAMATKAN BUMI DAN ISINYA Pendahuluan Saudara-saudari terkasih. Selama empat puluh hari, memalui pantang, puasa dan doa, kita telah merenungkan karya penebusan Allah bagi manusia yang dilaksanakan oleh Putera-Nya. Sesuai dengan tema permenungan kita selama masa pra-Paskah, saya ingin mengajak Umat Allah sekalian untuk bersama keluarga Anda masing-masing bangkit menyelamatkan bumi, “ibu pertiwi dan rumah kita bersama”[1]. Kita ingat bahwa kita memulai masa pra-Paskah kita dengan tanda abu atau debu. Kitab Kejadian menegaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah (Kej 3: 19). Itulah tanda kerapuhan manusia. Syukurlah ada Kristus yang mati tapi bangkit kembali. Dia menebus kita dan mengangkat kerapuhan kita menjadi bermartabat anak-anak Allah. Kita bangkit bersama Kristus yang hidup dengan menyelamatkan bumi. Menyelamatkan bumi bukan hanya berarti menyelamatkan diri kita sendiri melainkan menyelamatkan kehidupan umat manusia. Di Tahun Cinta Kitab Suci ini, sambil mengingat bumi, jangan lupa mengingat pohon-pohon yang dilahirkan olehnya. Sepanjang Kitab Suci kita, dari Kitab Kejadian (Kej 2: 9) sampai Kitab Wahyu (Why 22: 2), tersebar cerita tentang pohon, baik yang kecil seperti tumbuhan sesawi (Mat 13: 32) maupun yang besar seperti kayu aras Libanon (Maz 92: 12) atau pohon sanobar, berangan, cemara dan murad (Yes 55: 13; 60:13). Pohon dan tumbuhan itu bukan hanya menghasilkan buah dan makanan (Kej 1: 29; Hak 6: 11; Rut 2: 23; 2 Sam 4: 6) tetapi juga sebagai obat yang sangat berguna bagi bangsa manusia (Yez 47: 12; Why 22: 2). Pribahasa kita mengatakan, “Padi yang semakin tua dan berisi semakin merunduk”. Pribahasa itu mengajarkan sikap hidup bijaksana, rendah hati dan tidak sombong. Mencintai pohon dan tumbuhan akan menjadikan kita faham tentang arti kebaikan maupun keburukan (bdk. Kej. 2: 9,16,17). Yesus sering mengajar menggunakan perumpamaan tetumbuhan agar mudah dimengerti maksudnya (Mat 13: 31-32 par., Mat 13: 24-30; Yoh 15: 1-15; dll). Kasih Allah pada manusia yang rapuh diumpamakan dengan “buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan” (Yes 42: 3; Mat 12: 20). Bahkan Yesus sendiri mengumpamakan pemberian diri-Nya bagi manusia seperti biji gandum yang harus jatuh ke tanah untuk mati supaya menghasilkan buah (Yoh 12: 24). Bumi Ibu Semua Mahluk Pohon, dalam banyak tradisi masyarakat manusia, dianggap sakral sekaligus berkah dan karunia langsung untuk umat manusia: udara bersih, kayu, obat-obatan, dan makanan. Ketika banyak pohon bersama membentuk hutan, mereka menyimpan air di tanah dan mengatur sirkulasi air melalui atmosfir, menstabilkan tanah, menyimpan karbon yang mencegah pemanasan global, mencegah banjir dan tanah longsor, hingga menyediakan habitat bagi banyak spesies hewan dan tumbuhan lainnya. Namun ancaman keberadaan hutan tropis semakin tinggi. Penggundulan hutan (deforestasi) melalui perkebunan, penebangan, pertambangan, pembuatan jalan, dan keperluan lainnya terus menyusutkan tutupan hutan tropis dan memicu hilangnya spesies dan perubahan iklim. Saat ini, hutan tropis membutuhkan perlindungan kita, lebih dari sebelumnya, sama halnya kita pun juga membutuhkan keberadaannya.[2] Indonesia memiliki hutan tropis ke tiga terbesar di dunia setelah Brasil dan Republik Demokratik Konggo. Pada akhir tahun 1960-an, 82 % wilayah Indonesia masih merupakan kawasan hutan, namun sekarang hanya tersisa kurang dari setengahnya … Hutan yang tersisa inipun terus ditebangi dan kawasan hutan terus menurun. Perkebunan kelapa sawit dan kayu … merupakan dua kontributor terbesar hilangnya hutan di Indonesia.[3] “Hutan tropis adalah rumah bagi beragam varietas kehidupan melebihi keanekaan darat lainnya. Meskipun hutan tropis hanya menempati sebagian kecil dari permukaan bumi, di dalamnya terdapat setidaknya separuh dari spesies tumbuhan dan hewan yang hidup di bumi… Begitu menakjubkan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam hutan tropis sehingga 50 hektar hutan tropis dapat mengandung lebih banyak spesies pohon dibanding gabungan seluruh daratan Eropa dan Amerika Utara … Banyak spesies yang ditemukan di hutan tropis bersifat endemik, artinya mereka ada dalam lingkup geografis yang terbatas dan tidak ditemukan di tempat lain di bumi. Ini membuat mereka sangat rentan terhadap kepunahan ketika habitat terbatas mereka terancam oleh deforestasi. Setiap spesies yang punah merupakan kerugian yang tak ternilai dari sebuah ciptaan khas melalui perkembangan evolusi sejarah bumi yang sangat panjang”.[4] “Hutan tropis dunia hilang semakin cepat. Setiap tahun, hutan seluas negara Austria – sekitar 12 – 13 juta hektar – hancur. Dari hutan yang hilang ini, sekitar 3,6 juta hektar adalah hutan hujan primer, yaitu hutan tropis tua sebagai penyimpan karbon dan keanekaragaman hayati terbesar. Dalam dekade terakhir saja, dunia kehilangan kawasan tutupan pohon setara area seluruh Peracis, Jerman dan Inggris … Seperempat dari Amazon diperkirakan akan hilang pada tahun 2030, dan Kalimantan akan kehilangan setengah sisa hutannya pada tahun yang sama. Singkatnya, penggundulan hutan merupalan krisis lingkungan utama yang mengancam kemampuan bumi untuk mendukung kehidupan manusia …”.[5] Gereja Peduli Lingkungan Hidup [6] Gereja telah lama menaruh keprihatinan atas masalah perusakan lingkungan yang berakibat buruk pada manusia. Paus Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio (1967, No. 12) mengingatkan kita bahwa masyarakat setempat harus dilindungi dari kerakusan pendatang. Hal ini diperjelas oleh Paus Yohanes II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987, No. 34) yang menekankan bahwa alam ciptaan sebagai kosmos tidak boleh digunakan semaunya dan pengelolaannya harus tunduk pada tuntunan moral, karena dampak pengelolaan yang tidak bermoral tidak hanya dirasakan oleh manusia saat ini tetapi juga oleh generasi mendatang. Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate (2009, No. 48) menyadarkan kita bahwa alam adalah anugerah Allah untuk semua orang sehingga harus dikelola bersama secara bertanggung jawab bagi seluruh umat manusia. Gereja Katolik Indonesia pun telah menaruh perhatian besar pada masalah pelestarian lingkungan hidup. Hal ini ditegaskan dalam Pesan SAGKI 2005 berjudul “Bangkit dan Bergeraklah” yang mengajak Umat untuk segera mengatasi berbagai ketidakadaban publik yang paling mendesak, khususnya yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan. Gereja juga telah melakukan banyak usaha seperti edukasi, advokasi dan negosiasi dalam mengatasi pengrusakan lingkungan yang masih berlangsung terus bahkan kian meningkat kualitas dan kuantitasnya. Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ – Puji Bagi-Mu – lebih tegas lagi mengingatkan kita perlunya peduli pada bumi dan lingkugan hidup. Ensiklik ini memiliki sub judul Kepedulian untuk Rumah Kita Bersama. Paus mengritik konsumerisme dan pembangunan yang tak terkendali, menyesalkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pemanasan global, serta mengajak semua orang di seluruh dunia untuk mengambil “aksi global yang terpadu dan segera”. Ensiklik tertanggal 24 Mei 2015 itu dipublikasikan secara resmi pada tanggal 18 Juni 2015. Undangan bagi Semua