Artikel

Menteri Dalam Negeri Hadir Bagi Keuskupan Pangkalpinang

Kamis 27 Februari 2020, tiba-tiba saya mendapat pesan WhatsApp dari Romo Yudi Kristianto, Pr berupa pesan gambar, foto Menko Pulhukam Mahfud MD dan Mgr Adrianus Sunarko OFM. Selain pesan gambar itu, Romo yang juga merupakan bagian dari Kuria Keuskupan Pangkalpinang ini, menambah teks untuk keterangan foto. Teksnya juga unik, “salam dari Pak Mahfud MD.” Situasi Disharmoni Berubah Wajah Pak Menteri yang satu ini, luar biasa. Begitulah komentarku. Sebab sebagai warga negara biasa seperti kita, sesungguhnya Pak Mahfud MD berasal dari golongan mayoritas. Untuk memuaskan subyektifitas politik kaum mayoritas, semestinya Pak Menteri sudah memiliki zona nyaman. Dalam konteks mendapatkan citra dan persepsi publik yang positif terhadap dirinya, semestinya Pak Menteri tidak perlu capek-capek menyambangi Keuskupan Pangkalpinang. Sebab ia mempunyai variabel primordial yang sama dengan agama mayoritas. Ternyata tidak. Tampaknya Menteri Pertahanan RI jaman Presiden Gus Dur ini, sedang merasa galau tingkat dewa. Ia merasa tidak berada dalam situasi zona nyaman. Membasa komunikasi verbalnya, Sang Menteri sedang merasakan ada fenomena tirani mayoritas terhadap kaum minoritas. Ia tidak mengharapkan fenomena itu jadi pemicu disharmoni berkepanjangan dan abadi di negeri Pancasila ini. Sang Menteri sedang merasakan kecemasan yang terjadi dalam diri Mgr Adrianus Sunarko OFM bersama umat kegembalaannya di Keuskupan Pangkalpinang, khususnya di Paroki St Yoseph Tanjungbalai Karimun. Sosok nasionalis ini terlihat tidak reaktif tetapi secara spontan menunjukkan “compassion” nya terhadap rasa ketidakpastian hokum umat di Gereja St Yoseph Tanjung Balai. Kepada awak media yang mewawancarainya di Kompleks Wisma Kuria Keuskupan Pangkalpinang (27/2/20), Mahfud MD mengatakan semua agama mempunyai martabat yang sama di depan hukum. “Memperlakukan agama tidak berdasarkan jumlah pemeluknya. Semua pemeluk agama kedudukannya di depan hukum dan konstitusi itu sama,” ujar Mahfud MD Menko Pulhukam ini pun berkeyakinan bahwa siapapun yang menjalankan agamanya secara baik, maka masyarakatnya pun akan menjadi baik dan harmoni. Oleh karena itu, wajar adanya tatkala sosok yang pernah digadang-gadang sebagai Calon Wapres Jokowi ini memastikan bahwa tidak ada orang yang ditahan dalam kasus Gereja St Yoseph Tanjungbalai Karimun. Atas spontanitasnya untuk bersilaturahmi ke Keuskupan Pangkalpinang itu, energi disharmoni yang dirasakan Gereja Katolik di Keuskupan Pangkalpinang beberapa bulan belakangan itu berubah wajah menjadi harmoni. Sang Menteri mengubah wajah Gereja Keuskupan Pangkalpinang yang penuh cemas kepada sebuah optimism akan situasi damai dan harmoni. Sang Menteri juga sudah memastikan bahwa kaum minoritas pun mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum dan konstitusi. Sebuah pesan kepada kaum mayoritas agar jangan terlalu lebay dan arogan dalam kehidupan sosial. Silaturahmi ini menjadi pesan simbolik, Pemerintah Pusat menilai Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun belum menjamin kaum minoritas di Tanjungbalai untuk bisa menerapkan secara baik, hak keagamaan yang diakui konstitusional. Mukjizat Harmoni bagi Komunio Hembusan harmoni begitu terasa di Kompleks Wisma Keuskupan Pangkalpinang, siang itu. Shito Kadari, salah seorang staf di Kantor Keuskupan pun langsung menulis statusnya di facebook disertai beberapa foto bersama Sang Menteri. Shito menganggap persitiwa silahturahmi Menko Pulhukam dengan Mgr Adrianus Sunarko, OFM seperti mimpi di siang bolong. Pasalnya, selama berkarya hampir dua puluh tahun, wanita yang juga katekis itu, baru mengalami ada Menteri yang berkunjung ke Keuskupannya. Memang saya tidak berada di kompleks Wisma Kuria Keuskupan karena ada tugas lain. Tetapi melihat video produksi Tim Media Menko Pulhukam yang diedarkan di group WA Forum Wartawan NTT, saya membaca ada rasa sukacita mendalam dan keterkejutan akan hembusan mukjizat harmoni dalam wajah Bapa Uskup kami, Mgr Adrianus Sunarko, OFM. Jujur, akhir-akhir ini aura komunio di Keuskupan Pangkalpinang, khususnya di Paroki St Yoseph Tanjungbalai terasa lain dari sebelumnya. Ada umat yang dibaptis secara Katolik sejak kecil, akhirnya dianggap oknum outgroup Gereja St Yosep Tanjungbalai. Lantaran, mereka bertemu dengan beberapa anggota group yang terlibat dalam kasus demonstrasi berbau aksi intoleran di Gereja yang sudah berdiri tahun 1930an itu. Komunikasi di dalam komunio umat itu pun tidak wajar adanya. Saling mencurigai, Si A group siapa? Si B group mana? Ada group dalam komunio umat Paroki Tanjungbalai Karimun hanya karena gejolak aksi penolakan renovasi Gereja St Yoseph Tanjungbalai yang sudah mengantongi IMB itu. Padahal tahun 2020 ini, umat di paroki itu yang menjadi bagian dari Keuskupan Pangkalpianng sedang menjiwai semangat komunio. Umat bertekad untuk hidup bersaudara, tanpa membeda-bedakan suku dan agama. Kehadiran Mhafud MG tidak hanya menghembuskan sukacita harmoni tetapi juga menguatkan kembali komunio umat. Bahwa, tidak perlu lagi ada group dalam komunio umat. Sebab berapapun jumlah anggota group itu, komunio umat tetaplah bagian dari kategori minoritas di negeri ini. Pesan harmoni Mahfud MD dan semangat Komunio yang digelorakan oleh Mgr Adrianus Sunarko OFM menjadi warning bagi group dan kerumunan baru dalam komunio umat. Bangunlah strategi komunikasi yang tidak menyakiti siapapun. Menteri dan Bapa Uskup sudah menunjukkan gaya berkomunikasi yang brilian dan unik. Waluapun kedua tokoh hebat ini sedang berkomunikasi dan berdialog, tetapi yang terlihat adalah spiral kebisuan. Lantas, di dalam komunikasi yang dlakoni dengan gaya spiral kebisuan itulah ada cinta dan harmoni, sukacita dan kepastian hukum. Akhirnya siapapun harus memahami, rahmat harmoni tidak bisa kita dapatkan jika interaksi di media social terkonstruksi terjadi secara reaktif tetapi tidak metodologis. Mukjizat harmoni jika dilaksanakan secara bisu tetapi mentraksaksikan cinta, damai, keadilan, kepekaan, solidaritas dan harmoni kemanusiaan universal. Satu hal yang penting harus kita petik dari silahturahmi Mahfud MD dan Mgr Adrianus OFM, janganlah terprovokasi dan secara latah ikutan membentuk groupthink. Groupthink adalah kelonmpok yang menyadari bahwa kebenaran dan kepentingan kelompok adalah absolut. Pasca silahturahmi ini, siapapun harus menyadari, groupthink adalah virus yang mematikan harmoni dan pluralisme. Sedangkan di pihak lain groupthink menyuburkan fanatisme agama. Siapapun anda, mari kita kalahkan fanatisme agama dalam diri masing-masing untuk menjiwai semangat komunio yang murah hati dan Rahim, seperti diajarkan Sang Gembala Utama dan diterjemahkan secara khusus oleh Mgr Adrianus Sunarko, OFM. *** (Stefan Kelen, Pr. Ketua Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Pangkalpinang.)   Note: Tulisan ini dimuat di http://jurnalbabel.com/2020/02/mahfud-md-bawa-mukjizat-harmoni-bagi-keuskupan-pangkalpinang/, 28 Februari 2020

Menteri Dalam Negeri Hadir Bagi Keuskupan Pangkalpinang Read More »

Dyslexia: blessing in disguise

Aku memiliki seorang sahabat terbaik, tetapi aku tak pernah menyangka jika ia seorang penyandang disleksia dan perjuangan hidupnya telah mengubah hidupku. Aku dan sahabatku berasal dari desa kecil di salah satu kabupaten di Pulau Sumatera. Kami menempuh pendidikan yang sama sejak TK hingga SMA. Sewaktu bersekolah di SMP, aku sempat bermusuhan dengannya karena dia sering mencontek pada waktu ulangan dan suatu hari dia mengucapkan kata-kata yang membuatku kesal. Namun, dia tidak merasa bersalah sehingga dia tidak meminta maaf padaku. Persahabatan kami berawal ketika kelas 2 SMA, kami mendaftar di kegiatan ekstrakurikuler yang sama, yaitu Karya Ilmiah Remaja (KIR). Aku terkejut melihatnya diruang pertemuan, tetapi yang makin membuatku terperangah ternyata dia menguasai pelajaran Fisika. Sejak aktif di KIR, kami sering bertemu untuk sekedar berbincang-bincang dan belajar bersama. Sahabatku sangat menyukai pelajaran Fisika, terutama hal-hal yang berkaitan dengan listrik. Dia praktekkan teori Fisika itu dalam hidup sehari-hari sehingga dia bisa memperbaiki peralatan elektronik dan membuat alat-alat elektronik untuk dijual. Selama bersahabat dengannya nilai pelajaranku makin meningkat, sedangkan nilai pelajaran sahabatku selalu saja pas-pasan bahkan terkadang dia tampak putus asa jika menerima raport. Akhirnya aku tahu bahwa sebenarnya dia berusaha belajar dengan keras, tetapi dia kesulitan dalam menghafal pelajaran sehingga sering mencontek. Setelah lulus dari SMA, kami melanjutkan studi di kota yang berbeda dan kami tetap berhubungan lewat surat. Dari surat-surat yang kuterima, kulihat tulisannya banyak yang kurang huruf, kala itu aku hanya berpikir dia kurang teliti dalam menulis. Sahabatku berkuliah di program studi diploma jurusan Teknik Elektro, dia menikmati masa kuliahnya karena memang jurusan yang dipilih adalah jurusan favoritnya. Meskipun dia kuliah sambil bekerja paruh waktu, tetapi dia lulus lebih cepat dari waktu yang ditentukan dengan nilai terbaik. Setelah lulus kuliah dia pulang ke desa kami dan memutuskan untuk berwirausaha kecil-kecilan dengan membuka toko yang menjual alat-alat yang berkaitan dengan listrik dan komputer. Sempat mengalami jatuh bangun dalam membangun usahanya, saat ini dia dipercaya beberapa institusi untuk memelihara peralatan komputer di desa kami. Selain itu, dia juga aktif terlibat dalam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan serta terus belajar dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang terkait dengan listrik dan komputer untuk menunjang pekerjaannya. Tahun 2011, sahabatku menikah dan Tuhan menganugerahinya putri kecil yang cantik dan menggemaskan. Tahun 2015, ketika usia putrinya 2 tahun 7 bulan, terjadi peristiwa yang mengejutkan keluarga kecil sahabatku, bahkan menguak rahasia kehidupan pribadi yang selama ini dipendamnya rapat. Putri kecilnya mengalami keterlambatan bicara dan dirujuk untuk terapi wicara dan terapi okupasi oleh dokter rehab medik dari salah satu rumah sakit kota besar (baca: RS X) di Pulau Jawa. Beberapa pemeriksaan harus dilakukan untuk mengetahui dengan pasti kondisi tumbuh kembang putrinya, lalu muncul diagnosa putrinya beresiko “disleksia” yang diturunkan secara genetis. Istilah “disleksia” yang tak pernah didengarnya membuat sahabatku syok, sedih, bingung, semua hal berkecamuk dalam dirinya. Beban sahabatku semakin bertambah ketika keluarga besarnya tidak terima setelah diberitahu tentang kondisi putrinya yang termasuk kategori anak berkebutuhan khusus (ABK). Pertimbangan biaya dan fasilitas terapi yang kurang memadai di desa makin membuat sahabatku terpuruk, keluarga kecilnya harus menempuh perjalanan ke kota dengan jarak 80 km untuk mencari terapis. Dia sempat merasa putus asa dan hampir tidak mau melanjutkan terapi untuk putrinya karena merasa lelah dengan situasi yang dihadapi. Dalam kondisi putus harapan itu dia bercerita padaku, “Aku tak pernah suka bersekolah sejak TK sampai SMA, hari-hari di sekolah hanyalah beban dalam hidupku, apalagi aku mendapat label anak bodoh dan penderitaan makin terasa setiap kali menerima raport. Jadi, wajar saja jika anakku bodoh”. Hatiku sedih sekali ketika mendengar perkataannya. Bertahun-tahun kami bersahabat, tetapi aku tidak pernah mengetahui bebannya selama ini, satu hal yang muncul dibenakku, “Mengapa sahabatku tak menunjukkan ekspresi kesedihan/kemarahan diwajahnya, walau aku tahu hatinya merasa hancur?”. Namun, aku sungguh kagum pada sahabatku, tak perlu menunggu lama dia segera bangkit, dia berusaha keras agar putrinya bisa diterapi. Dia tak peduli perkataan orang lain dan segala pertentangan yang muncul di keluarga besarnya, sahabatku tetap mencari solusi sambil terus berdoa. Tuhan memberikan jalan yang terbaik bagi keluarga kecilnya, putri sahabatku bisa diterapi dengan fasilitas yang memadai. Sahabatku merelakan istri dan putrinya tinggal di kota besar, agar dapat menjalani terapi intensif dan dalam kurun waktu tertentu, dia harus menempuh perjalanan darat dengan jarak kurang lebih 460 km untuk melepas rindu. Tahun 2019, keluarga kecil sahabatku mendapat kesempatan berkonsultasi dengan dokter spesialis anak yang ahli menangani disleksia di RS X. Setelah mendapat diagnosa dan informasi yang akurat, sahabatku akhirnya mengetahui bahwa dia seorang penyandang disleksia, begitu juga dengan putri kecilnya. Kesulitan-kesulitan yang menyiksa dalam hidup yang dialaminya dikarenakan dia seorang penyandang disleksia. Selain itu, informasi tentang “disleksia” di masyarakat luas sangat sedikit sehingga banyak penyandang disleksia yang kurang mendapat perhatian dan dukungan dari lingkungan keluarga dan sekolah bahkan dipandang sebelah mata dengan label-label negatif sehingga mereka makin terpuruk. Sahabat terbaikku adalah suamiku tercinta, kini dia bisa bernafas lega karena putrinya bisa diterapi sejak usia dini dan dia berharap kelak putrinya bisa menikmati masa-masa indah di sekolah. Perjuangan suamiku sejak kecil hingga dewasa sebagai penyandang disleksia menginspirasi diriku, dia tak mudah mengeluh dan menyerah serta selalu berpikir kreatif dalam menyelesaikan permasalahan, walaupun dalam kondisi terburuk dihidupnya. Perjalanan hidup masih panjang dan tantangan tetap menanti di depan mata, tetapi suamiku ingin menebus 30 tahun kehidupannya sebagai penyandang disleksia yang terabaikan dengan memberikan pendampingan yang terbaik bagi putri semata wayang kami. Bagi banyak orang, disleksia merupakan suatu kutukan, tetapi bagiku disleksia justru menjadi berkat yang berharga. Aku dapat mengetahui banyak hal tentang disleksia, bisa menjadi pendamping dan bukan memusuhi, semakin jatuh cinta pada suamiku dan putri tunggal kami. Namun, hal yang terpenting adalah aku semakin mencintai dan menghargai kehidupan.     Penulis          : Margreet Asal kota       : Lampung (Tulisan di atas masuk 7 besar dalam lomba penulisan “Berbagi kisah disleksia paling inspiratif” dengan kategori lomba: C – Kisah inspiratif penyandang disleksia dewasa, yang diselenggarakan oleh ADI – Asosiasi Disleksia Indonesia dalam rangka memperingati HUT ke-10 ADI, tgl 01-12-2019)            

Dyslexia: blessing in disguise Read More »

GAGASAN DASAR APP 2020 “BUMI RUMAH KEHIDUPAN”

Pengantar Tak dapat dipungkiri bahwa melalui Ajaran Sosial Gereja (ASG), Gereja berbicara tentang ekonomi, terutama tema-tema keadilan, kesejahteraan umum serta upaya-upaya pengembangan ekonomi yang memuliakan hak dan martabat pribadi manusia. Namun tetap tersisa pertanyaan, sejauh mana Kitab Suci juga membicarakan atau memberi inspirasi dalam pengembangan atau upaya pembangunan ekonomi? Bumi adalah ruang hidup dan berada bagi semua ciptaan. Orang Yunani menyebutnya rumah (oikos). Bumi adalah rumah bersama dan rumah utama serta satu-satunya bagi makhluk, baik yang hidup maupun yang tak hidup. Bumi dalam pelbagai budaya disebut “ibu”: Ibu Pertiwi. Dengan menyebutnya IBU maka diakui bahwa bumilah yang melahirkan dan menumbuhkan kehidupan. Menyebut bumi sebagai rumah, mengacu kepada perlindungan dan pemeliharaan. Paus Fransiskus dalam Laudato Si menyebut dua-duanya yakni Bumi Ibu Pertiwi dan Rumah kita[1]. “Laudato Si’, mi’ Signore”, – “Terpujilah Engkau, Tuhanku”. Dalam madah yang indah ini, Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama adalah seperti seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti seorang ibu rupawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka. ”Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang memelihara dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan”.[2] Saudari ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalahgunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, di dalam air, di udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling kita abaikan dan lecehkan. Ia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin” (Roma 8:22). Kita telah melupakan bahwa kita sendiri berasal dari debu tanah (Kejadian 2:7); tubuh kita sendiri tersusun dari unsur-unsur yang sama dari bumi, dan udaranya memberi kita nafas serta airnya menghidupkan dan menyegarkan kita.[3] Yohanes Paulus II menegaskan bahwa manusia tampaknya sering “tidak melihat makna lain dalam lingkungan alam daripada apa yang berguna untuk segera dipakai dan dikonsumsi. Selanjutnya, ia menyerukan pertobatan ekologis global. Pada saat yang sama, ia mencatat bahwa hampir tak ada usaha untuk “mengamankan kondisi-kondisi moril lingkungan manusiawi”. Penghancuran lingkungan manusia merupakan perkara sangat berat, tidak hanya karena Allah telah mempercayakan dunia kepada manusia, tetapi karena hidup manusia itu sendiri merupakan anugerah yang harus dilindungi dari berbagai bentuk kemerosotan. Setiap upaya untuk melindungi dan memperbaiki dunia kita memerlukan perubahan besar dalam “gaya hidup, dalam pola-pola produksi dan konsumsi, begitu juga dalam sistem maupun struktur-struktur pemerintahan yang sudah membaku, yang sekarang ini menguasai masyarakat (…). Dengan demikian, kemampuan manusia untuk mengubah realitas harus dilakukan berdasarkan pengaruniaan segalanya oleh Allah menurut maksudNya semula.[4] Ekonomi Bermartabat Kemajuan ekonomi yang tercapai sekarang ini merupakan hasil dari pengembangan dan kemajuan yang dicapai manusia berkaitan dengan kedaulatannya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta meningkatnya korelasi ekonomi antar bangsa, sehingga pemenuhan kebutuhan manusia semakin tersedia. Gereja mengingatkan bahwa dalam semua upaya kemajuan dan peningkatan ekonomi sentralitas manusia tidak dapat ditawar. “Manusialah yang menjadi pencipta, pusat dan tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi” (Gaudium et Spes – GS, 63). Apa yang dimaksudkan oleh GS adalah manusia baik pribadi maupun masyarakat. Dalam arti itu Ajaran Sosial Gereja (ASG) setia pada ajaran warisan tradisi sosialnya bahwa kegiatan dan pengembangan ekonomi harus tertuju kepada pelayanan kepentingan manusia. Dalam arti itu upaya-upaya peningkatan produksi, usaha-usaha wiraswasta serta teknik-teknik produksi serta kreativitas dalam pengembangan ekonomi dipuji dan didukung[5]. Gereja juga mengingatkan bahwa pengembangan ekonomi tidak dapat direduksi hanya pada peningkatan produksi, profit, penguasaan (monopoli). Manusia sebagai pusat dan tujuan kemajuan ekonomi tidak bisa dan tidak boleh diganti oleh profit, penguasaan, peningkatan modal, apalagi dikorbankan demi profit, akumulasi atau penguasaan sumber ekonomi. Manusia, siapa pun dia harus diprioritaskan. Sesungguhnya ekonomi bukan segala-galanya dalam pembangunan, melainkan manusia dalam keutuhannya[6]. Ini berarti setiap upaya atau usaha ekonomi harus bermuara pada kesejahteraan semua manusia. Hal ini sesuai dengan pemahaman Gereja tentang kesejahteraan umum[7]. Pencapaian kesejahteraan umum, sebagai tujuan pokok usaha ekonomi menjadikan usaha membangun ekonomi itu bermartabat, dalam dua arti. Pertama, usaha tersebut tertuju kepada kepentingan hidup manusia. Upaya ekonomi menjadi bermartabat (selaras etika-moral) ketika diabdikan demi kepentingan manusiawi. Usaha ekonomi ada demi manusia agar manusia dapat hidup secara manusiawi. Kedua, usaha itu bermartabat jika manusia itu sendiri menjadi pelakunya. Hal itu merupakan manifestasi kebebasan dan otonomi manusia. Manusia seyogyanya secara mandiri dan bebas mengupayakan kesejahteraan hidupnya sendiri atau hidup bersama. Dalam rangka itu pemangku kekuasaan dalam masyarakat (baca pemerintah) berperan sebagai fasilitator atau administrator demi memastikan bahwa hak atas akses usaha ekonomi terjamin secara adil bagi setiap orang dan semua orang. Peran pemerintah sejatinya berciri subsidier. Sebagai fasilitator atau administrator kesejahteraan umum, maka pemerintah mesti menjalankan peran sebagai pendukung dan pemberdaya, tanpa mengambil alih apalagi memonopoli usaha ekonomi masyarakat. Aneksasi peran pribadi dan masyarakat oleh pemerintah, menjadikan pribadi atau masyarakat pasif dan kehilangan otonomi dan haknya. Peran pemerintah mesti diberi batas etis, yakni memberi peluang pada kebebasan dan otonomi pribadi atau bersama masyarakat mengupayakan kesejahteraannya. Dalam prinsip subsidiaritas yang diterapkan pada peranan pemerintah, pribadi dan masyarakat warga berhak atas subsidi yang diberikan pemerintah sebagai pemangku kuasa Negara, karena untuk itulah Negara ada. “Orang-orang, keluarga-keluarga dan pelbagai kelompok, yang bersama-sama membentuk masyarakat sipil, menyadari kurangnya kemampuan mereka untuk mewujudkan kehidupan yang sungguh manusiawi. Mereka memahami perlunya rukun hidup bersama yang lebih luas, yang memberi ruang kepada semua anggotanya, untuk dari hari ke hari menyumbangkan tenaga mereka sendiri demi semakin terwujudnya kesejahteraan umum (155). Oleh sebab itu mereka membentuk negara menurut pelbagai pola. Maka negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya. Kesejahteraan umum mencakup keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan sosial, yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan perhimpunan-perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah[8]. Fenomena lain yang mengancam otonomi bahkan hak-hak ekonomi masyarakat adalah intervensi korporasi dalam upaya-upaya ekonomi suatu masyarakat. Sebagai badan usaha, orientasi usaha korporasi adalah profit. Korporasi bukan lembaga sosial atau bukan perpanjangan tangan kekuasaan yang wajib menjamin kesejahteraan masyarakat. Intervensi korporasi dalam usaha ekonomi tentu

GAGASAN DASAR APP 2020 “BUMI RUMAH KEHIDUPAN” Read More »

Mengenal Kardinal dalam Gereja Katolik

Tanjungkarang – Hari ini (waktu Vatikan), Paus Fransiskus mengumumkan sepuluh Kardinal baru untuk Gereja Katolik Roma. Salah satu cardinal yang diumumkan itu adalah Mgr. Ignasius Suharyo (Uskup Agung KAJ) sebagai Kardinal Gereja Indonesia. COVID-19 and Bodybuilding Steroids – Steroids Side Effects for Men in 2021 – IPS Inter Press Service Business methyltrienolone home – cialis for bodybuilding, steroids usa org legit – socratic med Pada tanggal 5 Oktober yang akan datang, para Kardinal baru ini akan diundang ke Vatikan untuk diperkenalkan kepada kolegio pada Kardinal. Berkaitan dengan pengangkatan Kardinal ini, mungkin saja ada banyak dari kita yang belum mengetahui persis siapa dan bagaimana mereka. Maka pada tulisan ini akan disajikan ulasan singkat rm Doddy Sasi, Cmf tentang Kardinal. Saat ini rm Dody adalah Mahasiswa Program Lisensiat Hukum Gereja, Universitas Kepausan Lateran, Roma.   Sepintas Sejarah Kata kardinal: Cardinale—Latin: “cardo” yang berarti engsel pintu (cerniera la porta). Atau kata kardinal bisa diartikan pula sebagai sesuatu yang prinsipil. Abad-abad awal: Paus memilih 25 imam untuk membentuk satu unit kerja sebagai penasihatnya. Dan 25 imam penasihat ini disebut dengan nama cardinal. Masih sebatas pada gereja-gereja local sekitar Roma. Abad XII: mulai digunakan gelar cardinal untuk uskup-uskup lain yang jauh dari Roma.   Sekarang: masih bertahan sampai sekarang 3 tingkatan jabatan cardinal: cardinal diakonia, cardinal presbiteral, cardinal uskup. Ketiga 3 tingkatan ini selalu mempunyai ikatan kuat dengan gereja-gereja di Roma. Para kardinal tingkat episkopal , yakni para kardinal yang oleh paus diberi gelar Gereja Suburbikaris. Sedangkan para kardinal tingkat presbiretal dan diakonal masing-masing diberi gelar atau diakonia di Roma. Alasan dasarnya agar mereka selalu ada ikatan dengan gereja di Roma.   Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917: para kardinal disebut dengan nama “senat” dari Paus. Tugas para kardinal adalah mendampingi Paus sebagai penasihatnya (Kan. 230, KHK. 1917) 1983 (kan. 349-359): istilah yang dipakai bukan lagi “senat”tapi “kolegium khusus” (collegio peculiare) yang juga bertugas sebagai penasihat Paus.   Fungsi Utama: ada 2 fungsi utama (kan. 349): Memilih Paus Membantu Paus: dalam 2 cara: secara kolegial melalui konsistori (consistoro) dan secara singular melalui fungsi pemerintahan pada Kuria Romana (dikasteri-dikasteri atau lembaga-lembaga kuria Roma).   Konsistori: ada 4 tipe konsistori**: Ordinari: Paus mengundang dan memanggil paling tidak para kardinal yang berada di Roma. Ekstraordinari: Paus memanggil juga para kardinal lainnya yang berada diluar Roma. Publik: mereka yang tidak termasuk dalam kolegio para kardinal juga diundang untuk berpartisipasi dalam konsistori. Privat: Hanya Paus dengan para kardinal   **Keterangan: Konsisitori selalu atas dasar inisiatif dan undangan dari Sri Paus. Paus juga yang memimpinnya tapi ia tidak termasuk anggota dari kolegio para kardinal. Sebagai contoh, Paus Fransiskus biasanya mengundang adanya konsistori pada waktu sehari sebelum tanggal 29 Juni setiap tahun untuk memperkenalkan para kardinal baru dan pada tanggal 29 Juni biasanya ada penyerahan Palium untuk para uskup agung yang baru terpilih.   Syarat-syaratnya: Yang diangkat menjadi Kardinal adalah para pria yang dipilih dengan bebas oleh Paus, sekurang-kurangnya sudah ditahbiskan imam, unggul dalam ajaran, moral, kesalehan dan juga kearifan bertindak; mereka yang belum Uskup, harus menerima tahbisan Uskup (kan.351.1). Beberapa kali terjadi bahwa yang terplih menjadi kardinal tidaklah harus seorang uskup bahkan dengan usia yang juga sudah melewati 75 tahun. Alasannya jelas sebagai bentuk penghargaan terhadap jasanya dalam gereja universal.   Cara Pengangkatan: Para Kardinal diangkat oleh Paus dengan suatu dekret, yang diumumkan di hadapan Kolegium Kardinal; sejak pengumuman itu mereka terikat kewajiban-kewajiban dan mempunyai hak-hak yang ditetapkan hukum (kan.351.2)   Sede Vacante Yang menjadi figur protagonis pada saat sede vacante adalah kolegio para kardinal Saat sede vacante yang ikut mundur/kosong (decade) adalah: Sekretaris negara Vatikan, Dekan (ketua kolegium cardinal), para cardinal yang mengepalai dikasteri-dikasteri. Dan yang masih tertinggal (rimane): Kardinal Kamerlengo, sekretaris jendral dari dikasteri-dikasteri, Vikaris untuk kota Roma, Vikaris Jendral Kota Vatikan. Kardinal kamerlengo mempunyai tugas utama memimpin selama sede vacante.   Hal-hal terkait lainnya: Para kardinal yang mengepalai dikasteri / kantor-kantor atau lembaga-lembaga tetap kuria Roma dan kota Vatikan, diminta untuk mengajukan pengunduran diri jika telah genap berusai 75 tahun (kan.354) Kardinal dekan yang berwenang mentahbiskan Paus terpilih sebagai uskup, bila yang terpilih itu membutuhkan tahbisan (kan.355). Kardinal proto-diakon yang memaklumkan nama Paus yang baru kepada umat (355.2). Umumnya para kardinal memiliki tugas tambahan, misalnya memimpin suatu keuskupan atau keuskupan agung ataupun memimpin suatu kantor/ lembaga/departemen dalam Kuria Romawi. Akan tetapi fungsi terpenting mereka adalah memilih Paus baru, bilamana terjadi sede vacante karena kematian atau pengunduran diri Paus yang lama. Hak untuk menghadiri konklaf kini dibatasi bagi para kardinal yang berusia tidak lebih dari 80 tahun pada hari kematian Paus.   Ditulis oleh rm Doddy Sasi, Cmf, Mahasiswa Program Lisensiat Hukum Gereja, Universitas Kepausan Lateran, Roma (ed.mrjo)

Mengenal Kardinal dalam Gereja Katolik Read More »

Keuskupan Tanjungkarang

keuskupantanjungkarang.org adalah website resmi Keuskupan Tanjungkarang yang dikelola langsung oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Tanjungkarang

Kritik, usul, dan saran dapat menghubungi kami melalui komsosktjk18@gmail.com

Lokasi Kantor Keuskupan Tanjungkarang

© 2018-2024 Komsos Tanjungkarang | Designed by Norbertus Marcell

You cannot copy content of this page

Scroll to Top