Pengantar
Tak dapat dipungkiri bahwa melalui Ajaran Sosial Gereja (ASG), Gereja berbicara tentang ekonomi, terutama tema-tema keadilan, kesejahteraan umum serta upaya-upaya pengembangan ekonomi yang memuliakan hak dan martabat pribadi manusia. Namun tetap tersisa pertanyaan, sejauh mana Kitab Suci juga membicarakan atau memberi inspirasi dalam pengembangan atau upaya pembangunan ekonomi?
Bumi adalah ruang hidup dan berada bagi semua ciptaan. Orang Yunani menyebutnya rumah (oikos). Bumi adalah rumah bersama dan rumah utama serta satu-satunya bagi makhluk, baik yang hidup maupun yang tak hidup. Bumi dalam pelbagai budaya disebut “ibu”: Ibu Pertiwi. Dengan menyebutnya IBU maka diakui bahwa bumilah yang melahirkan dan menumbuhkan kehidupan. Menyebut bumi sebagai rumah, mengacu kepada perlindungan dan pemeliharaan. Paus Fransiskus dalam Laudato Si menyebut dua-duanya yakni Bumi Ibu Pertiwi dan Rumah kita[1].
“Laudato Si’, mi’ Signore”, – “Terpujilah Engkau, Tuhanku”. Dalam madah yang indah ini, Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama adalah seperti seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti seorang ibu rupawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka. ”Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang memelihara dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan”.[2]
Saudari ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalahgunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, di dalam air, di udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling kita abaikan dan lecehkan. Ia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin” (Roma 8:22). Kita telah melupakan bahwa kita sendiri berasal dari debu tanah (Kejadian 2:7); tubuh kita sendiri tersusun dari unsur-unsur yang sama dari bumi, dan udaranya memberi kita nafas serta airnya menghidupkan dan menyegarkan kita.[3]
Yohanes Paulus II menegaskan bahwa manusia tampaknya sering “tidak melihat makna lain dalam lingkungan alam daripada apa yang berguna untuk segera dipakai dan dikonsumsi. Selanjutnya, ia menyerukan pertobatan ekologis global. Pada saat yang sama, ia mencatat bahwa hampir tak ada usaha untuk “mengamankan kondisi-kondisi moril lingkungan manusiawi”. Penghancuran lingkungan manusia merupakan perkara sangat berat, tidak hanya karena Allah telah mempercayakan dunia kepada manusia, tetapi karena hidup manusia itu sendiri merupakan anugerah yang harus dilindungi dari berbagai bentuk kemerosotan. Setiap upaya untuk melindungi dan memperbaiki dunia kita memerlukan perubahan besar dalam “gaya hidup, dalam pola-pola produksi dan konsumsi, begitu juga dalam sistem maupun struktur-struktur pemerintahan yang sudah membaku, yang sekarang ini menguasai masyarakat (…). Dengan demikian, kemampuan manusia untuk mengubah realitas harus dilakukan berdasarkan pengaruniaan segalanya oleh Allah menurut maksudNya semula.[4]
Ekonomi Bermartabat
Kemajuan ekonomi yang tercapai sekarang ini merupakan hasil dari pengembangan dan kemajuan yang dicapai manusia berkaitan dengan kedaulatannya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta meningkatnya korelasi ekonomi antar bangsa, sehingga pemenuhan kebutuhan manusia semakin tersedia. Gereja mengingatkan bahwa dalam semua upaya kemajuan dan peningkatan ekonomi sentralitas manusia tidak dapat ditawar. “Manusialah yang menjadi pencipta, pusat dan tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi” (Gaudium et Spes – GS, 63).
Apa yang dimaksudkan oleh GS adalah manusia baik pribadi maupun masyarakat. Dalam arti itu Ajaran Sosial Gereja (ASG) setia pada ajaran warisan tradisi sosialnya bahwa kegiatan dan pengembangan ekonomi harus tertuju kepada pelayanan kepentingan manusia. Dalam arti itu upaya-upaya peningkatan produksi, usaha-usaha wiraswasta serta teknik-teknik produksi serta kreativitas dalam pengembangan ekonomi dipuji dan didukung[5].
Gereja juga mengingatkan bahwa pengembangan ekonomi tidak dapat direduksi hanya pada peningkatan produksi, profit, penguasaan (monopoli). Manusia sebagai pusat dan tujuan kemajuan ekonomi tidak bisa dan tidak boleh diganti oleh profit, penguasaan, peningkatan modal, apalagi dikorbankan demi profit, akumulasi atau penguasaan sumber ekonomi. Manusia, siapa pun dia harus diprioritaskan. Sesungguhnya ekonomi bukan segala-galanya dalam pembangunan, melainkan manusia dalam keutuhannya[6]. Ini berarti setiap upaya atau usaha ekonomi harus bermuara pada kesejahteraan semua manusia. Hal ini sesuai dengan pemahaman Gereja tentang kesejahteraan umum[7].
Pencapaian kesejahteraan umum, sebagai tujuan pokok usaha ekonomi menjadikan usaha membangun ekonomi itu bermartabat, dalam dua arti. Pertama, usaha tersebut tertuju kepada kepentingan hidup manusia. Upaya ekonomi menjadi bermartabat (selaras etika-moral) ketika diabdikan demi kepentingan manusiawi. Usaha ekonomi ada demi manusia agar manusia dapat hidup secara manusiawi. Kedua, usaha itu bermartabat jika manusia itu sendiri menjadi pelakunya. Hal itu merupakan manifestasi kebebasan dan otonomi manusia. Manusia seyogyanya secara mandiri dan bebas mengupayakan kesejahteraan hidupnya sendiri atau hidup bersama. Dalam rangka itu pemangku kekuasaan dalam masyarakat (baca pemerintah) berperan sebagai fasilitator atau administrator demi memastikan bahwa hak atas akses usaha ekonomi terjamin secara adil bagi setiap orang dan semua orang.
Peran pemerintah sejatinya berciri subsidier. Sebagai fasilitator atau administrator kesejahteraan umum, maka pemerintah mesti menjalankan peran sebagai pendukung dan pemberdaya, tanpa mengambil alih apalagi memonopoli usaha ekonomi masyarakat. Aneksasi peran pribadi dan masyarakat oleh pemerintah, menjadikan pribadi atau masyarakat pasif dan kehilangan otonomi dan haknya. Peran pemerintah mesti diberi batas etis, yakni memberi peluang pada kebebasan dan otonomi pribadi atau bersama masyarakat mengupayakan kesejahteraannya. Dalam prinsip subsidiaritas yang diterapkan pada peranan pemerintah, pribadi dan masyarakat warga berhak atas subsidi yang diberikan pemerintah sebagai pemangku kuasa Negara, karena untuk itulah Negara ada. “Orang-orang, keluarga-keluarga dan pelbagai kelompok, yang bersama-sama membentuk masyarakat sipil, menyadari kurangnya kemampuan mereka untuk mewujudkan kehidupan yang sungguh manusiawi. Mereka memahami perlunya rukun hidup bersama yang lebih luas, yang memberi ruang kepada semua anggotanya, untuk dari hari ke hari menyumbangkan tenaga mereka sendiri demi semakin terwujudnya kesejahteraan umum (155). Oleh sebab itu mereka membentuk negara menurut pelbagai pola. Maka negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya. Kesejahteraan umum mencakup keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan sosial, yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan perhimpunan-perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah[8].
Fenomena lain yang mengancam otonomi bahkan hak-hak ekonomi masyarakat adalah intervensi korporasi dalam upaya-upaya ekonomi suatu masyarakat. Sebagai badan usaha, orientasi usaha korporasi adalah profit. Korporasi bukan lembaga sosial atau bukan perpanjangan tangan kekuasaan yang wajib menjamin kesejahteraan masyarakat. Intervensi korporasi dalam usaha ekonomi tentu juga tidak bisa diingkari. Korporasi dalam banyak hal justru dapat menjadi partner pengembangan ekonomi. Namun kenyataan tak seindah regulasi atau patokan normative. Dalam banyak kasus di Negara kita, masyarakat justru kehilangan haknya atas sumber-sumber ekonomi karena intervensi atau monopoli sumber-sumber ekonomi oleh korporasi. Tak heran jika dalam kenyataannya, sumber ekonomi berupa tanah dan lingkungan alam terkuasai oleh korporasi sehingga masyarakat kehilangan hak-haknya atas sumber ekonomi. Mereka bahkan tersingkirkan dan tak dapat membela diri, apalagi pemangku kekuasaan tidak menjalankan peran mediator yang adil[9].
Dalam arti itu maka mengupayakan ekonomi bermartabat, mustahil terwujud tanpa penegakan hukum untuk menjamin hak-hak ekonomi masyarakat dan pencegahan pencaplokan, penguasaan atau monopoli sumber-sumber ekonomi oleh para pemodal. Negara seharusnya hadir secara efektif menjamin keadilan dan menegakkan hukum yang berpihak pada keadilan dan kebenaran. Hak-hak masyarakat tidak dirampas, sebaliknya diperkuat dan difasilitasi agar masyarakat lebih mudah dan adil mengupayakan kesejahterannya sendiri.
Entah beriman atau tidak, kita sekarang sepakat bahwa bumi pada dasarnya adalah warisan bersama; buahnya harus menjadi berkat untuk semua. Bagi orang-orang beriman ini merupakan soal kesetiaan kepada Sang Pencipta, karena Allah menciptakan dunia untuk semua. Oleh karena itu, setiap pendekatan ekologis harus meliputi suatu perspektif sosial yang memperhitungkan hak-hak dasar masyarakat miskin. Prinsip milik pribadi yang tunduk pada tujuan universal segala harta benda, dan karena itu juga hak universal untuk menggunakannya, adalah “kaidah emas” dari perilaku sosial, dan “prinsip pertama dari seluruh tata-tertib sosial-etis”[10]. Tradisi Kristen tidak pernah mengakui hak milik pribadi sebagai hak yang absolut atau tak dapat diganggu gugat, dan menekankan fungsi sosial setiap bentuk milik pribadi. Santo Yohanes Paulus II mengingatkan kita dengan tegas akan ajaran ini dengan menyatakan bahwa “Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia supaya menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa mengecualikan atau mengutamakan siapa pun juga”[11]. Inilah perkataan yang padat dan kuat. Dia menekankan bahwa “bentuk pembangunan yang tidak menghormati dan tidak memajukan hak-hak asasi manusia, pribadi dan sosial, ekonomi dan politik, termasuk hak-hak bangsa dan masyarakat, tidak akan sungguh layak untuk manusia”[12]. Dengan sangat jelas ia menerangkan bahwa “Gereja memang membela hak milik pribadi, tetapi dia mengajarkan dengan kejelasan yang sama bahwa pada semua milik pribadi selalu ada hipotek sosial, agar harta milik digunakan untuk tujuan umum yang telah diberikan Allah kepadanya”[13]. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa “tidak sesuai dengan rencana Allah kalau pemberian ini dikelola sedemikian rupa sehingga hasilnya hanya menguntungkan beberapa orang”[14]. Ini menimbulkan masalah serius terhadap sikap tidak adil dari sebagian umat manusia.[15]
Orang kaya dan orang miskin memiliki martabat yang sama karena “Tuhan telah membuat mereka semua” (Amsal 22:2), “Dialah yang menjadikan orang kecil dan orang besar” (Kebijaksanaan 6:7) dan “Dia menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik” (Matius 5:45). Hal ini memiliki konsekuensi praktis, seperti yang telah ditunjukkan oleh para Uskup Paraguay: “Setiap petani memiliki hak sewajarnya untuk memiliki bagian tanah yang semestinya di mana ia dapat membangun rumahnya, bekerja untuk menghidupi keluarganya dan dapat hidup dengan aman. Hak ini harus dijamin, agar tidak tinggal ilusi tetapi dapat dijalankan secara nyata. Ini berarti bahwa selain harta milik, petani harus punya akses ke pendidikan teknik, kredit, asuransi, dan pasar”[16].
Lingkungan alam adalah harta kita bersama, warisan seluruh umat manusia, tanggung jawab semua orang. Jika orang memiliki sesuatu, hal itu hanya dikelolanya demi kesejahteraan semua. Jika tidak, kita memberatkan hati nurani kita dengan beban menyangkal keberadaan orang lain. Itulah sebabnya para Uskup Selandia Baru bertanya apa artinya perintah “Jangan membunuh” ketika “dua puluh persen penduduk dunia mengonsumsi sumber-sumber daya sedemikian rupa sehingga mereka mencuri dari negara-negara miskin dan dari generasi mendatang, apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup”[17].
Yesus mengangkat kembali iman alkitabiah akan Allah Sang Pencipta, sambil menekankan suatu kebenaran mendasar: Allah adalah Bapa (Lihat Matius 11:25). Dalam percakapan dengan murid-muridNya, Yesus mengundang mereka untuk mengenali hubungan kebapaan yang dimiliki Allah dengan semua makhluk. Ia mengingatkan mereka, dengan kelembutan yang menyentuh hati, bagaimana setiap makhluk adalah penting di mata Allah: “Bukankah burung pipit dijual lima ekor dua duit? Sungguhpun demikian tidak seekor pun dari padanya yang dilupakan Allah” (Lukas 12:6). “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di surga” (Matius 6:28).[18]
Kita mengatakan bahwa “manusia menjadi pencipta, pusat dan tujuan dari seluruh kehidupan sosial ekonomi” (GS, 63). Namun demikian, ketika kemampuan manusia untuk merenung dan menghormati merosot, terciptalah situasi untuk menyalahartikan makna kerja. Kita harus selalu ingat bahwa manusia memiliki “kemampuan memperbaiki nasib mereka, menunjang pertumbuhan moril dan mengembangkan bakat-kemampuan rohani mereka”[19]. Pekerjaan harus menjadi tempat pengembangan pribadinya dalam beberapa dimensi kehidupan yang penting: kreativitas, perencanaan masa depan, pengembangan bakat, penghayatan nilai-nilai, komunikasi dengan orang lain dan sikap menyembah Allah. Oleh karena itu, dalam realitas sosial global saat ini perlu bahwa “kita terus memberi prioritas kepada target akses ke pekerjaan tetap bagi setiap orang,”[20] melebihi kepentingan bisnis yang sempit dan penalaran ekonomi yang meragukan.[21]
Sejak diciptakan kita dipanggil untuk bekerja. Tujuannya bukanlah agar kemajuan teknologi semakin menggantikan tenaga kerja manusia, karena dengan demikian manusia akan merugikan dirinya. Kerja adalah suatu keharusan, bagian dari makna hidup di bumi, jalan menuju pendewasaan, pengembangan manusia, dan perwujudan diri. Dalam arti ini, membantu orang miskin dengan uang harus selalu menjadi solusi sementara untuk mengatasi keadaan darurat. Tujuan utama seharusnya selalu memungkinkan mereka untuk hidup bermartabat melalui pekerjaan. Tetapi arah ekonomi mendorong kemajuan teknologi untuk menekan biaya produksi dengan mengurangi para pekerja, yang digantikan dengan mesin. Ini satu contoh lagi bagaimana tindakan manusia dapat berbalik melawan dirinya sendiri. Pengurangan lapangan kerja “juga berdampak negatif terhadap ekonomi, karena langkah demi langkah mengikis “modal sosial”, yaitu jaringan hubungan yang didasarkan pada kepercayaan, kredibilitas, dan ketaatan pada peraturan, yang semuanya sangat diperlukan bagi setiap bentuk hidup bersama”[22]. Singkatnya, “Biaya manusiawi selalu mencakup biaya ekonomi, dan disfungsi ekonomi selalu menyangkut biaya manusiawi”[23]. Berhenti berinvestasi dalam manusia, untuk mendapatkan keuntungan finansial jangka pendek yang lebih besar, merupakan usaha yang sangat buruk bagi masyarakat.[24]
Menuju Gaya Hidup yang Baru
Situasi dunia saat ini “membangkitkan perasaan ketidakpastian dan ketidakpastian dan ketidakamanan, yang pada gilirannya, mendorong aneka bentuk egoisme kolektif”[25]. Ketika orang menjadi terpusat pada dirinya dan menutup diri dalam pikirannya sendiri, keserakahan mereka meningkat. Semakin kosong hati orang, semakin besar kebutuhannya akan barang untuk dibeli, dimiliki, dan dikonsumsi. Dalam konteks ini, tampaknya mustahil bahwa seseorang menerima batas-batas yang ditetapkan kenyataan baginya. Dalam cakrawala ini, kepekaan sejati akan kesejahteraan umum juga tidak muncul. Jika sikap-sikap subjektif semacam ini cenderung mendominasi sebuah masyarakat, norma akan dihormati hanya sejauh tidak bertentangan dengan kebutuhan pribadi. Karena itu kita tidak hanya memikirkan kemungkinan gejala cuaca ekstrem atau bencana alam yang besar, tetapi juga aneka bencana yang dapat timbul dari krisis sosial, karena obsesi gaya hidup konsumtif hanya akan menimbulkan kekerasan dan tindakan saling menghancurkan, terutama ketika hanya sedikit orang dapat menikmati gaya hidup itu.[26]
Perubahan gaya hidup bisa membawa tekanan yang sehat pada mereka yang memegang kekuasaan politik, ekonomi dan sosial. Inilah yang terjadi ketika gerakan-gerakan konsumen berhasil membuat orang memboikot produk-produk tertentu. Dengan demikian, mereka menjadi efektif dalam mengubah perilaku perusahaan, dengan memaksanya untuk mempertimbangkan dampak ekologis dan pola produksinya. Ketika kebiasaan masyarakat mempengaruhi keuntungan perusahaan, mereka ini dipaksa untuk berproduksi dengan cara lain. Ini mengingatkan kita akan tanggung jawab sosial para konsumen: “membeli selalu merupakan tindakan moral, lebih dari sekedar tindakan ekonomis” (CV, 66). Oleh karena itu, sekarang ini “masalah kerusakan lingkungan hidup menantang gaya hidup kita masing-masing”[27].
Piagam Bumi[28] telah mengajak kita semua untuk meninggalkan masa penghancuran diri dan memulai suatu masa yang baru, tetapi kita belum mengembangkan kesadaran universal yang memungkinkannya. Itulah sebabnya saya berani untuk sekali lagi mengajukan tantangan yang berharga ini: “Seperti belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah, nasib kita bersama mengundang kita untuk mencari suatu awal yang baru (…) Mari kita membuat zaman kita diingat dalam sejarah karena bangkitnya penghormatan baru untuk kehidupan, karena tekad kuat untuk mencapai keberlanjutan, karena percepatan perjuangan untuk keadilan dan perdamaian, serta perayaan kehidupan yang penuh sukacita”.[29]
Pertobatan Ekologis
Harta kekayaan spiritualitas Kristiani, hasil dua puluh abad pengalaman pribadi dan komunal, memberi sumbangan berharga kepada upaya untuk memperbarui kemanusiaan. Saya ingin menawarkan kepada umat Kristiani suatu kerangka spiritualitas ekologis yang berakar dalam keyakinan iman kita, karena apa yang diajarkan Injil kepada kita memiliki konsekuensi terhadap cara kita berpikir, berperasaan, dan hidup. Yang penting bukanlah berbicara tentang ide-ide, tetapi terutama tentang motivasi yang lahir dari spiritualitas, untuk menumbuhkan semangat pelestarian dunia. Tidak akan mungkin melibatkan diri dalam hal-hal besar hanya dengan doktrin, tanpa mistik yang menggerakkan kita, atau tanpa ‘dorongan batiniah yang mendorong, memotivasi, menyemangati dan memberikan makna kepada kegiatan individu dan komunal kita”[30]. Kita harus mengakui bahwa kita, umat Kristiani, tidak selalu menyerap dan mengembangkan kekayaan yang diberikan Allah kepada Gereja, di mana kehidupan rohani tidak terpisah dari tubuh kita sendiri, atau dari alam, atau dari realitas dunia ini, tetapi justru dihayati bersamanya dan di dalamnya, dalam persekutuan dengan semua yang mengelilingi kita.[31]
“Padang gurun eksternal di dunia sedang meluas, karena gurun-gurun internal telah menjadi begitu luas”[32]. Karena itu, krisis ekologi merupakan panggilan untuk pertobatan batin yang mendalam. Tetapi kita juga harus mengakui bahwa beberapa orang Kristiani, yang berkomitmen dan berdoa, cenderung meremehkan ungkapan kepedulian terhadap lingkungan, dengan alasan realisme dan pragmatisme. Orang-orang lain tinggal pasif; mereka memilih untuk tidak mengubah kebiasaan mereka dan dengan demikian menjadi tidak konsisten. Jadi, apa yang mereka semua butuhkan adalah pertobatan ekologis, yaitu berarti membiarkan seluruh buah perjumpaan mereka dengan Yesus Kristus berkembang dalam hubungan mereka dengan dunia di sekitar mereka. Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh, dan bukan sesuatu yang opsional atau aspek sekunder dalam pengalaman kristiani.[33]
Ketika mengingat teladan Santo Fransiskus dari Assisi, kita menjadi sadar bahwa hubungan yang sehat dengan dunia ciptaan merupakan salah satu dimensi pertobatan manusia yang utuh. Ini berarti pula mengakui kesalahan kita, segala dosa, kejahatan atau kelalaian kita, dan bertobat dengan sepenuh hati, berubah dari dalam lubuk hati. Para Uskup Australia[34] berbicara tentang pentingnya pertobatan itu untuk mencapai rekonsiliasi dengan dunia ciptaan: “Untuk mencapai rekonsiliasi ini, kita harus memeriksa hidup kita dan mengakui bagaimana kita telah membawa kerugian kepada ciptaan Allah melalui tindakan-tindakan kita dan kegagalan kita untuk bertindak. Kita perlu mengalami suatu pertobatan, perubahan hati”.[35]
Namun, untuk memperbaiki situasi yang begitu kompleks yang dihadapi dunia saat ini, tidak cukup bahwa setiap individu memperbaiki diri. Individu sendirian dapat kehilangan kemampuan dan juga kebebasan mereka untuk mengatasi pola pikir utilitarian, dan akhirnya menyerah kepada konsumerisme tanpa etika dan tanpa kesadaran sosial atau ekologis. Masalah sosial harus diatasi oleh jaringan masyarakat dan tidak hanya oleh seluruh jumlah perbuatan baik individual: “Tuntutan-tuntutan tugas begitu besar sehingga tidak dapat diselesaikan oleh prakarsa individual atau bahkan kerja sama pribadi-pribadi yang dididik secara individualistis. Ini akan memerlukan gabungan kekuatan dan kesatuan usaha”[36]. Pertobatan ekologis yang diperlukan untuk menciptakan menciptakan suatu dinamisme perubahan yang berkelanjutan, juga merupakan pertobatan komunal.[37]
Belajar pada Ratu Seluruh Dunia Ciptaan
Maria, Bunda yang telah merawat Yesus, sekarang merawat dunia yang terluka ini dengan kasih sayang dan rasa sakit seorang ibu. Sama seperti hatinya yang tertusuk telah meratapi kematian Yesus, sekarang dia berduka cita atas penderitaan orang-orang miskin yang disalibkan dan makhluk-makhluk dari dunia ini yang dihancurkan oleh kekuasaan manusia. Sepenuhnya telah berubah rupa, dia hidup dengan Yesus, dan semua makhluk menyanyikan keelokannya. Dia adalah “perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya” (Wahyu 12:1). Terangkat ke surga, dia adalah Ibu dan Ratu seluruh ciptaan. Dalam tubuh kemuliaannya, bersama dengan Kristus yang bangkit, sebagian dari ciptaan telah mencapai kepenuhan keindahannya. Ia tidak hanya menyimpan dalam hatinya seluruh kehidupan Yesus yang ia asuh dengan setia (Bdk., Lukas 2:19,51), tetapi sekarang pun ia memahami makna segala sesuatu. Oleh karena itu, kita dapat meminta dia untuk membantu kita memandang dunia ini dengan mata yang lebih bijaksana.[38]
Di samping Maria, dalam Keluarga Kudus dari Nazaret, berdirilah sosok Santo Yusuf. Dengan pekerjaan dan kehadirannya yang murah hati, ia menghidupi dan melindungi Maria dan Yesus, menyelamatkan mereka dari tindakan kekerasan orang yang tidak benar dengan membawa mereka ke Mesir. Dalam Injil, ia tampil sebagai orang yang benar, pekerja keras, dan kuat. Tetapi sosoknya juga menunjukkan kelembutan yang bukanlah ciri orang lemah tetapi ciri khas orang yang sungguh kuat, yang memperhatikan realitas dan siap untuk mengasihi dan melayani dengan rendah hati. Itulah sebabnya ia dinyatakan pelindung Gereja universal. Ia dapat mengajar kita untuk melindungi. Ia dapat memotivasi kita untuk bekerja dengan murah hati dan lembut untuk melindungi dunia yang telah dipercayakan Allah kepada kita[39].
TEMA APP 2020
“BUMI RUMAH KEHIDUPAN”
Tema APP Tahun 2020 Keuskupan Tanjungkarang adalah bagian dari tema kerangka dasar APP Nasional Tiga Tahunan (2020-2022) yaitu “Gerakan Melindungi dan Mengelola Sumber Hak Ekonomi Masyarakat Yang Bermartabat, Berbelarasa, dan Berkelanjutan”. Kitab Suci mengingatkan kita akan kondisi awal yang dikehendaki Pencipta, yakni menghormati martabat manusia dalam semangat kekeluargaan, seraya terus menjaga keseimbangan hidup seluruh ciptaan (Kejadian 1:1-2:4). Kita sudah dianugerahi rahmat untuk hidup bersama di tanah air kita yang kaya dan indah, agar kita mengusahakan dan merawat taman (bumi) ini demi memenuhi kebutuhan hidup kita sekarang dan untuk generasi yang berikutnya (Kejadian 2:15). Berekonomi secara bermartabat, berbela rasa dan berkelanjutan merupakan wujud partisipasi kita dalam karya penciptaan Allah dan panggilan hidup manusia untuk hidup layak dalam kesatuan dengan yang lain sebagai ciptaan Allah (Centesimus Annus-CA 41).
Pada APP 2020 ini, Keuskupan Tanjungkarang mengundang keluarga-keluarga untuk merenungkan tema: “BUMI RUMAH KEHIDUPAN”. Tema ini akan dikonkretkan dalam 5 Sub Tema yang harapannya direnungkan selama 5 Pekan Masa Prapaskah:
- Bumi adalah Titipan Tuhan (Imamat 25:23 – 28. 35 – 38)
- Bumi Sumber Ekonomi (1 Raja-Raja 21:1 – 16)
- Ekonomi yang Bermartabat (Yehezkiel34:23 – 31)
- Bumi Rumah Kehidupan (Kejadian 2:1 – 17)
- Gerakan Pertobatan dan Aksi Solidaritas (Markus 12:13 – 17)
Bentuk pertemuan yang ditawarkan adalah sarasehan dengan kemasan ibadat sabda di lingkungan. Bahan pendalaman dan refleksi sebagai pengganti kotbah dari ibadat sabda yang biasanya disampaikan oleh pemimpin ibadat.
Bila ada lingkungan yang karena waktu untuk pertemuan terbatas, maka bahan pertemuan bisa dipadatkan (digabung) menjadi 3 bagian: Pertemuan 1, Pertemuan 2 & 3 dan Pertemuan 4. Sedangkan untuk Pertemuan 5 bisa digabungkan dalam setiap Pertemuan (untuk Aksi Solidaritas) dan Pertobatan (untuk Ibadat Tobat sebelum pengakuan dosa).
Selamat memasuki Masa Prapaskah sekaligus Membangun Kehidupan Ekonomi yang Bermartabat melalui Bumi yang dititipkan oleh Allah, Sang Pencipta.
[1] KWI, Kerangka Dasar APP Nasional 2020 – 2022, 2019, halaman 2 – 3.
[2]Fransiskus, Ensiklik Laudato Si: Perawatan Rumah Kita Bersama, 2015, nomer 1.
[3]Ibid., nomer 2
[4]Ibid., nomer 5
[5] Bdk. Gaudium et Spes no. 64
[6] Bdk. CA 29; SRS 27-28; PP 43-44
[7] Bdk. GS 64; GS 26
[8] GS 74
[9] Bdk. GS 70
[10] Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Exercens: Dengan Bekerja, 14 September 1981, 19.
[11] Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus: Tahun ke Seratus, 1 Mei 1991, 31.
[12] Yohanes Paulus II, Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis: Keprihatinan Sosial, 30 Desember 1987, 33.
[13]Pidato untuk Masyarakat Adat dan Petani, Cuilapán, Meksiko, 29 Januari 1979, 6.
[14] Bdk. Message for the 1990 World Day of Peace: Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia, 1990, 8.
[15]Fransiskus, Ensiklik Laudato Si: Perawatan Rumah Kita Bersama, 2015, nomer 93.
[16] Konferensi Waligereja Paraguay, Surat Pastoral El campesino Paraguayo y la tierra: Petani Paraguay dan Tanah; 12 Juni 1983,2,4,d; Ensiklik Laudato Si, nomer 94.
[17] Konferensi Waligereja Selandia Baru, Statement on Environmental Issues: Pernyataan tentang Isu-isu Lingkungan; 1 September 2006; Ensiklik Laudato Si, nomer 95.
[18] Fransiskus, Laudato Si, nomer 96.
[19] Paulus VI, Ensiklik Populorum Progressio, 26 Maret 1967, 34.
[20] Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate, 29 Juni 2009, 32.
[21] Fransiskus, Ensiklik Laudato Si, 24 Mei 2015, 127.
[22] Benediktus XVI, Ibid.
[23] Ibid.
[24] Fransiskus, Ibid., 128
[25] Yohanes Paulus II, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia 1990, no. 1
[26] Fransiskus, Ibid., 204
[27]Ibid., 206
[28]Earth Charter (Piagam Bumi), Den Haag (29 Juni 2000).
[29] Fransiskus, Ibid., 207
[30] Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (Sukacita Injil), 24 November 2013, no. 261
[31] Fransiskus, Laudato Si, no. 216
[32] Benediktus XVI, Homily for the Solemn Inauguration of the Petrine Ministry (Homili pada Inaugurasi Meriah ke Pelayanan Petrus); 24 April 2005
[33] Fransiskus, Ibid., no. 217
[34] Konferensi Waligereja Australia, A New Earth – The Environmental Challenge (Suatu Bumi Baru – Tantangan Lingkungan), 2002
[35] Fransiskus, Ibid., no. 218
[36] Romano Guardini, Das Ende der Neuzeit, 72 (The End of Modern World, 65-66)
[37] Fransiskus, Ibid., no. 219
[38] Fransiskus, Ibid., no. 241
[39] Ibid., no. 242