Artikel

Surat Gembala Tahun Ardas V : KOMUNITAS BASIS GEREJAWI, CARA BARU HIDUP MENGGEREJA

KOMUNITAS BASIS GEREJAWI: CARA BARU HIDUP MENGGEREJA “Kamu lah Terang Dunia … kamu lah Garam Dunia … hendaklah terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (bdk. Mat 5: 13 – 16)   Pendahuluan Sabda Kristus di atas menjadi Visi Gereja Keuskupan Tanjungkarang menurut amanat Perpasgelar III th. 2017: Gereja Katolik Keuskupan Tanjungkarang, dengan menjadi Terang dan Garam Dunia bersama Kristus Sang Jalan, Kebenaran dan Kehidupan, adalah Sakramen Keselamatan bagi semua orang. Dalam Visi tersebut tercantum predikat kita: Terang dan Garam Dunia. Terang dan Garam Dunia sesungguhnya adalah predikat Kristus sendiri. Namun predikat itu, oleh Kristus sendiri disematkan juga kepada kita. Terang menjadikan orang tahu arah dan tujuan hidup, tidak akan tersesat tetapi sampai pada tujuan. Garam adalah bumbu yang menyehatkan dan membuat makanan tidak hambar melainkan berasa. Ketika orang Kristen absen dari masyarakat, yakinlah kehidupan akan menjadi gelap, hambar, menakutkan, penuh tindak kejahatan dan dosa. Ketika orang Kristen hadir di masyarakat, kehidupan menjadi menyenangkan, penuh harapan akan masa depan yang lebih baik dan penuh sukacita. Dengan demikian orang Kristen tidak boleh absen dari masyarakatnya, karena dia, sendiri maupun bersama adalah sakramen keselamatan bagi dunia (bdk. LG 1, 9, 59). Ideal Predikat Kemuridan Kita Semua orang beriman berkat rahmat pembaptisan dianugerahi martabat yang luhur sebagai putera atau puteri Allah. Martabat luhur tersebut mengandung tugas panggilan untuk ambil bagian dalam tugas Yesus sebagai imam, nabi dan raja. Dengan kata lain semua orang beriman, segera setelah dia dipermandikan, dirinya adalah seorang rasul Tuhan. Konsekwensinya, semua orang beriman, melalui cara hidup dan keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan Gereja dan kegiatan-kegiatan bermasyarakat sehari-hari: seharusnya memancarkan kasih Allah guna ‘memanggil’ semua orang untuk menjalani hidup dan karyanya dengan baik sesuai  dengan kehendak Allah (bdk. 1 Kor 12 , KHK 204, LG 12). Panggilan keterlibatan itu melekat dan bersifat mutlak, bukan kalau senang atau kalau ada waktu,  sebab Kristus tidak menebus kita dengan setengah hati atau setengah-setengah (bdk. LG 3). Setiap orang Kristen harus mewartakan Kristus dengan penuh semangat kepada semua orang (AG 1). “Hakekat Gereja peziarah bersifat missioner, sebab berasal dari perutusan Putera dan perutusan Roh Kudus menurut rencana Allah Bapa” (LG 1).“Seluruh Gereja bersifat missioner, dan karya mewartakan Injil merupakan tugas Umat Allah yang mendasar” (LG 35). Sifat missioner dengan tugas yang mendasar ini ternyata mengalir dari rencana Allah Bapa, yang kemudian diwujudkan melalui jalan inkarnasi Yesus Kristus, Putera Allah, yang menjelma menjadi manusia agar dapat berbicara dengan kita dan menyucikan kita dari dosa (bdk. Ibr 1: 1-4). Rencana Bapa yang terwujud dalam inkarnasi itu kemudian ditanggapi oleh manusia dengan menerima Yesus dan percaya kepada-Nya. Oleh kepercayaan itu, manusia mendapatkan kesempatan untuk diangkat menjadi anak-anak Allah (bdk. Yoh 1: 12-13). Pengangkatan itu kemudian diteguhkan secara sakramental melalui pembaptisan (bdk. AG 7). Idealnya setiap orang kristiani adalah seorang militan dalam beriman: Yesus dan Kitab Suci seharusnya menjadi dasar dan orientasi hidupnya, baik ketika dia berada di lingkungan Gereja maupun ketika berada di lingkungan masyarakatnya, pun kalau mayoritas masyarakatnya bukanlah orang Kristen. Orang Kristen harus berani dan bangga mengakui diri sebagai orang Kristen serta bangga berperilaku sebagai orang Kristen (bdk. 2 Ptr 2: 9-10). Idealnya, setiap kegiatan katekese dapat menghasilkan buah secara nyata. Keuskupan setiap tahun memberikan katekese khusus kepada umat (minimal pada masa pra-Paskah, BKSN, dan Advent). Namun, berbagai katekese tersebut sering hanya membuat Umat sibuk dengan kelompoknya sendiri atau supaya ada kegiatan untuk mengisi bulan-bulan khusus tersebut. Katekese itupun sering tidak diikuti oleh semua umat. Dan sebanyak apapun umat yang ikut, biasanya tidak lebih dari setengah dari jumlah yang ada. Bahkan di sejumlah tempat sering tampak keikutsertaan kaum perempuan dan anak-anak jauh lebih besar dalam kegiatan-kegiatan umat. Tanpa menghilangkan besarnya peran mereka yang bekerja ‘di belakang layar’, Komunitas Basis tidak cukup diwakili oleh wajah perempuan dan anak-anak. Kita semua memiliki tanggung jawab yang sama baik ke dalam Gereja maupun ke luar dunia. Pentingnya Membentuk Komunitas Basis Komunitas Basis Gerejawi (KBG) atau Komunitas Umat Basis (KUB) adalah paguyuban kaum beriman dalam skala kecil. Th 1918 Rm. F. Strater, SJ., sudah memperkenalkan istilah “kring” di Yogyakarta. Di Keuskupan kita, Rm. Joe Gordon, MEP., pernah memperkenalkan istilah “mawar” yang merupakan singkatan dari “lima warga” (maksudnya lima rumah tangga warga Gereja) di Paroki Kalirejo dan kemudian juga di Paroki Kota Gajah dan Metro. Paguyuban dengan skala kecil itu akan sangat bermanfaat bagi Umat. Pada tataran sosial dan ekonomi, KBG membuat Umat satu sama lain saling mengenal, hidup rukun, kompak, tidak ada orang yang menjadi asing bagi yang lain, tidak ada yang bersembunyi, dan lupa akan tanggung jawabnya; bisa merasa sehati seperasaan, peduli, senasib sepenanggungan dan saling tolong-menolong. Sedangkan pada tataran rohani – moral – spiritual, KBG dapat mendorong Umat mengadakan doa bersama secara rutin, melakukan sharing Injil dan sharing iman, saling menjaga dan meneguhkan, dan bersama saling mengingatkan untuk hidup benar, adil dan jujur sebagai saksi-saksi Kristus. Dua dimensi tersebut tidak bisa dipisahkan atau hanya salah satu saja yang mendapatkan penekanan. Kedua dimensi tersebut harus seiring sejalan sedemikian sehingga Umat Allah sungguh-sungguh bisa menjadi Garam dan Terang Dunia. Komunitas Basis Gerejawi sering disebut cara baru menggereja (new way of being Church). Cara baru ini dimaksudkan sebagai lawan dari Gereja pasif, Gereja pastor sentris, Gereja yang belum mandiri. Cara baru menggereja adalah cara mengungkapkan iman yang dinamis dimana Umat Allah, sebagai komunitas umat beriman terlibat dalam suka-duka perjalanan hidup Gereja dan sesamanya. Dengan cara baru menggereja demikian, Gereja akan tetap hidup walau gembalanya berganti atau tokoh panutannya meninggal dunia. Selalu ada regenerasi karena setiap anggotanya berkualitas sama sebagai rasul-rasul Tuhan. Dasar biblis KBG adalah Kisah Para Rasul 4: 32-37, “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama … sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka …”. Situasi sangat ideal itu bagi banyak orang malah sering menakutkan. Bagaimana mungkin segala sesuatu menjadi kepunyaan bersama? Apakah KBG itu akan membentuk biara besar yang mencakup semua orang beriman? Dalam kenyataan sebenarnya tidaklah seharafiah seperti itu. Kita tahu bahwa para rasul

Surat Gembala Tahun Ardas V : KOMUNITAS BASIS GEREJAWI, CARA BARU HIDUP MENGGEREJA Read More »

Memilih Aktif Tanpa Kekerasan*

Dua hari, Kamis dan Jumat, 22 dan 23 April 2021, sebuah kesempatan menarik saya dapatkan melalui undangan memberi sharing pada Mata Kuliah Resolusi Konflik, untuk mahasiswa semester 6 FISIP Universitas Lampung. Berikut ini adalah beberapa poin pemantik diskusi yang kami bicarakan dalam dua kelas kecil tersebut. Menemui Perbedaan Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari beranekaragam suku bangsa yang memiliki adat istiadat, sosial, budaya, ekonomi, agama, ideologi politik, dan seterusnya yang berbeda-beda. Satu contoh, di Indonesia ini terdapat 656 suku bangsa dengan bahasa lokal 300 macam. Perbedaan itu tak terelakkan. Kita tak pernah bisa meminta terlahir seperti apa dan di mana: lahir di Lampung, Papua, Amerika atau tempat manapun; menjadi laki-laki atau perempuan, rambut keriting, lurus, kulit hitam atau putih; terlahir dari keluarga Islam, Katolik, moderat, kolot, dan seterusnya. Sebagian dari apa yang melekat pada diri kita itu tak mungkin diubah. Sebagian yang lain bisa berubah karena pengalaman, situasi, pengaruh lingkungan, dan sebagainya. Bahkan dari kelompok yang sama, tetap saja ada perbedaan. Sama-sama dari Jawa, tapi ada perbedaan suku, baik itu Madura, Sunda, dan ada suku-suku lain. Sama-sama Madura tapi ada yang suka bakso atau yang suka mie ayam. Sama-sama suka bakso ada yang suka sambelnya dicampur atau yang dipisah. Sama-sama suka sambelnya dicampur ada yang mengambilnya sedikit atau banyak. Sama-sama suka ambil sambel banyak yang satu sehat-sehat saja yang lain diare. Sama-sama diare yang satu cepet sembuh yang lain masih pingsan. Seperti itulah perbedaan itu melekat pada kita. Perbedaan dapat menjadi salah satu sumber konflik. Jika perbedaan tidak diolah, konflik akan terjadi lebih sering dan lebih kuat. Puncaknya akan terjadi kekerasan, baik itu kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi . Dampak kekerasan bisa muncul dalam beberapa bentuk, pertama, ada korban. Korban biasanya merasakan sakit, terluka, bahkan sampai korban jiwa. Kedua, kerusakan, baik itu kerusakan fisik (gedung,barang) atau bisa juga kerusakan relasi dan kerusakan psikis. Jika kekerasa tidak distop, kekerasan satu akan mengakibatkan kekerasan yang lain, dan ini akan berkelanjutan. Aktif Tanpa Kekerasan  Aktif  Tanpa Kekerasan (ATK) adalah alternatif sikap hidup sekaligus gerakan yang didasari semangat penghormatan martabat manusia untuk melawan ketidakadilan dan kekerasan, dengan tanpa kekerasan. Sikap hidup dan gerakan ini muncul karena ada kesadaran bahwa ketidakadilan dan kekerasan tidak mungkin dihapus tanpa memutus rantai ketidakadilan dan kekerasan. Caranya adalah menghentikan tindakan tidak adil dan kekerasan mulai dari diri sendiri. Melawan kekerasan tanpa kekerasan, tidak berarti diam. Sikap itu perlu dilanjutkan dengan upaya mengungkapkan fakta dan kebenaran, dengan penilaian dan  analisis yang kritis terhadap situasi yang perlu ditentang, dilawan, dan ditolak. Setelah itu, bersama dengan masyarakat melakukan aksi-aksi konkret tanpa kekerasan. Penulis bersama para mahasiswa-mahasiswi dalam zoom meeting. Sikap aktif tanpa kekerasan merupakan kesadaran personal dan komunal untuk perubahan sosial, berdasarkan kasih dan kebenaran yang mewujud dalam keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan dengan cara mengalahkan kejahatan. Dengan kata lain kita “merombak tanpa merusak”. Ada dua prinsip yang harus dipegang terkait prinsip dasar “aktif tanpa kekerasan: Pertama, manusia itu setara, bermartabat sama, apa pun kondisi yang melekat padanya. Oleh karena mempunyai hak asasi yang sama yang harus dihormati tak terelakkan. Kedua, perdamaian merupakan cita-cita bersama. Tak ada satu pun manusia yang ingin tidak damai. Ada lima strategi dasar gerakan “aktif tanpa kekerasan” saat terjadi konflik, yaitu: Pertama, adalah dialog. Dialog merupakan salah satu upaya menjangkau kesadaran semua pihak. Meski sudah terjadi konflik kekerasan kita harus tetap percaya bahwa masih ada potensi-potensi kebaikan yang bisa dikembangkan dalam diri pihak-pihak yang berkonflik, baik dalam diri pelaku maupun korban kekerasan. Maka, perlu ditempuh dialog di antara pihak-pihak tersebut, demi membuka kemungkinan bertemunya kepentingan masing-masing pihak. Dalam dialog, setiap pihak didorong untuk menghentikan situasi kekerasan lalu “duduk bersama” saling mengungkapkan kepentingan, memahami akibat dan kerugian dari tindakan kekerasan, mencari kebenaran serta menemukan pemecahan masalah yang adil secara bersama-sama. Dialog berarti mempertemukan pemikiran semua yang sedang berkonflik untuk memahami kepentingan dan kondisi masing-masing. Kita harus bersikap sebagai pihak yang peduli pada kebaikan umum, bukan hanya kepentingan sendiri. Di sinilah pentingnya kita mempunyai kemampuan berpikir dari dua sisi. Unsur penting dalam dialog adalah data tentang fakta yang terjadi, meskipun data tidak selalu mengandung kebenaran mutlak. Prinsip kedua adalah persuasi dan protes tanpa kekerasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan persuasi sebagai ajakan dengan cara memberikan alasan dan prospek yang baik yang meyakinkan. Dengan persuasi ini, para pelaku kekerasan dipengaruhi untuk mengakhiri praktek kekerasan dan ketidakadilan. Strategi ini dapat dilakukan dengan pengiriman delegasi untuk dialog disertai dengan pengajuan solusi alternatif, bisa pula dengan surat terbuka. Jika dialog tidak berhasil maka pengungkapan fakta ketidakadilan dan kekerasan dilakukan dengan cara mempengaruhi pendapat publik. Misalnya dengan lagu, drama, puisi, selebaran, poster, rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya. Lagu-lagu Iwan Fals adalah contoh protes tanpa kekerasan sekaligus sebagai bentuk komunikasi kepada publik. “Aksi Kamisan”, berdiri di depan Istana Negara dengan mengenakan pakaian hitam dan membawa payung hitam oleh sekelompok ibu yang anak-anaknya menjadi korban peristiwa Reformasi 1998, adalah bentuk lain “protes tanpa kekerasan”. Aksi “Sembilan Srikandi” ibu-ibu dari Kendeng, Jawa Tengah, yang ngecor kaki mereka dengan semen merupakan aksi protes dan kampanye yang membuat nyeri di hati. Menanami lobang-lobang jalan raya dengan pohon-pohon pisang bisa digolongkan dalam aksi protes yang kreatif. Ketiga, menolak prinsip ketidakadilan. Satu hal penting yang perlu kita ingat adalah sistem dalam masyarakat, termasuk sistem yang paling tidak adil dan paling diktator sekali pun, sangat tergantung pada ketaatan, kerjasama, serta kesediaan masyarakat untuk tunduk. Maka, sistem yang tidak adil dan mengandalkan kekerasan akan tumbang jika anggota-anggota masyarakat menarik sikap-sikap itu. Dengan strategi ini, kita menolak untuk tunduk, bekerja sama, dan terlibat dalam kekerasan serta ketidakadilan. Kita juga menolak untuk duduk dalam struktur yang melakukan kekerasan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Intinya, kita menarik segala bentuk dukungan terhadap sistem yang seperti itu.                                         Mahasiswa-mahasiswi sedang berdiskusi di zoom meeting. Keempat, sistem tandingan alternatif. Kekerasan struktural berlangsung dalam sistem yang tidak adil. Melawan sistem kekerasan yang tidak adil tersebut bisa dilakukan dengan cara merancang dan memberlakukan sistem tandingan alternatif yang lebih adil. Misalnya, warung atau toko kejujuran adalah salah satu bentuk membangun sistem

Memilih Aktif Tanpa Kekerasan* Read More »

Surat Gembala Paskah 2021 Keuskupan Tanjungkarang

Saudara-saudari terkasih, seperti tahun-tahun sebelumnya, Bapa Uskup Msgr. Yohanes Harun Yuwono kembali mengeluarkan Surat Gembala Paskah Tahun 2021. Paskah tahun ini Bapa Uskup mengajak kita merenungkan tiga hal, yaitu Tahun St. Yosep, Peringatan 5 Tahun Ensiklik Amoris Laetitia, dan Tahun Ekaristi. Apa detail isi pesan Bapa Uskup? Silakan unduh Surat Gembala Paskah 2021 di sini.

Surat Gembala Paskah 2021 Keuskupan Tanjungkarang Read More »

11 Februari 2021 Hari Orang Sakit Sedunia XXIX

Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Orang Sakit Sedunia XXIX Tahun 2021 “Hanya satu Gurumu dan kamu semua adalah saudara” (Matius 23:8) Relasi yang didasarkan pada rasa percaya memandu perawatan orang sakit Saudari dan saudara terkasih, Perayaan Hari Orang Sakit Sedunia ke-29 pada 11 Februari 2021, saat peringatan Santa Perawan Maria Lourdes, merupakan kesempatan untuk mencurahkan perhatian khusus kepada orang sakit dan mereka yang memberi pertolongan serta perawatan baik di lembaga kesehatan maupun keluarga dan komunitas. Kita secara khusus memikirkan mereka yang menderita berkepanjangan karena pandemi virus corona di seluruh dunia. Kepada semua saudara, terutama yang miskin dan tersingkir, saya menyatakan kedekatan batin saya dan meyakinkan mereka akan perhatian Gereja yang penuh kasih. 1. Tema Hari Orang Sakit ke-29 ini diambil dari perikop Injil di mana Yesus mengkritik kemunafikan orang-orang yang gagal mempraktikkan apa yang mereka khotbahkan (lih. Mat.23: 1-12). Ketika iman kita dikerdilkanmenjadi kata-kata kosong, tidak peduli dengan kehidupan dan kebutuhan orang lain, keyakinan iman yang kita akui terbukti tidak sejalan dengan kehidupan yang kita jalani. Bahayanya nyata. Itulah mengapa Yesus menggunakan ungkapan yang keras tentang bahayanya jatuh ke dalam penyembahan berhala diri. Dia mengatakan kepada kita, “karena hanya satu Gurumu dan kamu semua adalah saudara” (ayat 8). Kritik Yesus terhadap mereka yang “berkhotbah tetapi tidak mempraktikkan” (ayat 3) bermanfaat kapan pun dan di mana pun, karena tidak seorang pun dari kita kebal terhadap kejahatan kemunafikan yang mematikan, yang menghambat kita berkembang sebagai anak-anak Bapa, yang dipanggil untuk menghidupi persaudaraan universal. Di hadapan kebutuhan sesama, Yesus meminta kita menanggapinya dengan cara yang sepenuhnya bertolakbelakang dengan kemunafikan seperti itu. Ia meminta kita untuk diam dan mendengarkan, untuk membangun relasi langsung dan personal dengan orang lain, untuk merasakan empati dan kasih sayang, dan untuk membiarkan penderitaan mereka menjadi milik kita saat kita berusaha melayani mereka (lih. Luk. 10: 30-35). 2. Pengalaman sakit membuat kita menyadari kerentanan diridan kebutuhan akan orang lain. Hal inimembuat kita semakin jelas merasakan bahwa kita adalah makhluk yang bergantung pada Tuhan. Ketika sakit, ketakutan dan kebingungan dapat mencengkeram pikiran dan hati kita; kita mengalami ketidakberdayaan, karena kesehatan kita tidak bergantung pada kemampuan atau kekhawatiran hidup yang tiada henti (lih. Mat 6:27). Penyakit membangkitkan pertanyaan tentang makna hidup, yang kita bawa ke hadapan Tuhan dalam iman. Dalam mencari arah hidup yang baru dan lebih mendalam, kita mungkin tidak menemukan jawaban langsung. Kerabat dan teman kita pun tidak selalu dapat membantu kita dalam pencarian tersebut. Tokoh alkitab Ayub merupakan simbol dalam hal ini. Istri dan teman-teman Ayub tidak menemaninya dalam kemalangan; sebaliknya, mereka menyalahkan dia dan hanya memperburuk kesendirian dan kesusahannya. Ayub merasa sedih dan disalahpahami. Namun untuk semua penderitaannya yang demikian berat, dia tidak munafik. Ia jujur pada Tuhan dan orang lain. Ia berseru kepada Tuhan sedemikian kuat sehingga akhirnya Tuhan menjawab dan mengizinkannya melihat cakrawala baru. Ia menegaskan bahwa penderitaan Ayub bukanlah hukuman atau keadaan terpisah dari Tuhan, apalagi sebagai tanda ketidakpedulian Tuhan. Hati Ayub, yang terluka dan sembuh, kemudian membuat pengakuan yang hidup dan menyentuh ini kepada Tuhan: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (42:5). 3. Penyakit selalu memiliki lebih dari satu rupa: ia memiliki rupa semua orang sakit, tetapi juga mereka yang merasa diabaikan, dikucilkan dan menjadi korbanketidakadilan sosial yang menyangkal hak-hak asasi mereka (lih. Fratelli Tutti, 22). Pandemi saat ini telah memperburuk ketidaksetaraan dalam sistem perawatan kesehatan dan memperlihatkan ketidakefisienan dalam perawatan orang sakit. Lansia, orang lemah dan rentan tidak selalu diberikan akses perawatan, atau diperlakukan dengan cara-cara yang adil. Ini adalah akibat dari keputusan-keputusan politis, pengelolaan sumber daya, dan komitmen yang lebih besar atau lebih kecil dari pihak yang berwenang. Menginvestasikan sumber-sumber daya dalam perawatan dan pertolongan orang sakit adalah prioritas yang terkait dengan prinsip fundamental bahwa kesehatan adalah kebaikan bersama yang utama. Namun, pandemi juga menyoroti pengabdian dan kemurahan hati petugas kesehatan, sukarelawan, staf pendukung, imam, kaum pria dan wanita religius, yang semuanya telah membantu, merawat, menghibur dan melayani begitu banyak orang sakit dan keluarga mereka dengan profesional, pengorbanan diri, tanggung jawab, dan cinta pada sesama. Banyak pria dan wanita yang dengan tetap, memilih untuk tidak melihat ke arah lain, tetapi untuk berbagi penderitaan pasien, yang mereka lihat sebagai tetangga dan anggota satu keluarga manusia. Kedekatan seperti itu bagai minyak oles berharga yang memberikan dukungan dan penghiburan bagi orang sakit dalam penderitaan mereka. Sebagai orang Kristiani, kita mengalami kedekatan itu sebagai tanda kasih Yesus Kristus, Orang Samaria yang Baik Hati, yang dengan belas kasih mendekati setiap pria dan wanita yang terluka oleh dosa. Kita dipersatukan dengan Kristus oleh karya Roh Kudus. Dengan persatuan ilahi itu, kita dipanggil untuk berbelas kasih seperti Bapa dan secara khusus mencintai saudara-saudari kita yang lemah, sakit dan menderita (lih. Yoh 13: 34-35). Kita mengalami kedekatan ini tidak hanya sebagai pribadi, tetapi juga sebagai komunitas. Sungguh, cinta persaudaraan di dalam Kristus menghasilkan komunitas penyembuhan, komunitas yang tidak meninggalkan siapa pun, komunitas yang inklusif dan ramah, terutama bagi mereka yang paling membutuhkan. Di sini saya ingin menyebutkan pentingnya kesetiakawanan, yang secara konkret diwujudkan dalam pelayanan dan berbagai bentuk yang semua diarahkan untuk mendukung sesama. “Melayani berarti peduli […] untuk keluarga yang rentan, masyarakat dan rakyat kita” (Homili di Havana, 20 September 2015). Dalam jangkauan ini, semua “dipanggil untuk mengesampingkan keinginan dan hasrat sendiri, pengejaran kekuasaan, di hadapan kenyataan mereka yang paling rentan […] Pelayanan selalu terarah ke wajah mereka, menyentuh daging mereka, merasakan kedekatan mereka dan bahkan dalam beberapa kasus, ‘menderita’ oleh kedekatan itu dan mencoba membantu mereka. Pelayanan tidak pernah ideologis, karena kita tidak melayani ide, kita melayani orang” (ibid.). 4. Jika terapi ingin efektif, ia harus mempunyai aspek relasional, karena aspek ini memampukanpendekatan holistik kepada pasien. Aspek relasional dapat membantu dokter, perawat, tenaga profesional dan relawan untuk merasa bertanggung jawab mendampingi pasien di jalan penyembuhan yang didasarkan pada hubungan antarpribadi yang saling percaya ( Piagam Baru untuk Petugas Perawatan Kesehatan [2016], 4). Aspek relasional ini menciptakan perjanjian antara mereka yang membutuhkan perawatan dan mereka yang menyediakan perawatan itu, perjanjian yang didasarkan pada rasa saling percaya dan hormat, keterbukaan dan kesiapsediaan diri. Hal ini akan membantu mengatasi sikap defensif, menghormati martabat orang sakit, menjaga profesionalisme petugas kesehatan dan membina hubungan yang baik dengan keluarga pasien. Relasi seperti itu dengan orang sakit menemukan sumber motivasi dan kekuatannya dalam kasih Kristus, seperti yang ditunjukkan oleh kesaksian para pria dan wanita yang selama ribuan tahun telah bertumbuh dalam kekudusan melalui pelayanan kepada yang lemah. Misteri kematian dan kebangkitan Kristus adalah sumber kasih yang mampu memberikan makna penuh pada pengalaman pasien dan perawat. Injil sering memperjelas hal ini dengan menunjukkan bahwa Yesus menyembuhkan bukan dengan sihir, tetapi dengan perjumpaan, hubungan antarpribadi, di

11 Februari 2021 Hari Orang Sakit Sedunia XXIX Read More »

Keuskupan Tanjungkarang

keuskupantanjungkarang.org adalah website resmi Keuskupan Tanjungkarang yang dikelola langsung oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Tanjungkarang

Kritik, usul, dan saran dapat menghubungi kami melalui komsosktjk18@gmail.com

Lokasi Kantor Keuskupan Tanjungkarang

© 2018-2024 Komsos Tanjungkarang | Designed by Norbertus Marcell

You cannot copy content of this page

Scroll to Top