Dua hari, Kamis dan Jumat, 22 dan 23 April 2021, sebuah kesempatan menarik saya dapatkan melalui undangan memberi sharing pada Mata Kuliah Resolusi Konflik, untuk mahasiswa semester 6 FISIP Universitas Lampung. Berikut ini adalah beberapa poin pemantik diskusi yang kami bicarakan dalam dua kelas kecil tersebut.
Menemui Perbedaan
Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari beranekaragam suku bangsa yang memiliki adat istiadat, sosial, budaya, ekonomi, agama, ideologi politik, dan seterusnya yang berbeda-beda. Satu contoh, di Indonesia ini terdapat 656 suku bangsa dengan bahasa lokal 300 macam.
Perbedaan itu tak terelakkan. Kita tak pernah bisa meminta terlahir seperti apa dan di mana: lahir di Lampung, Papua, Amerika atau tempat manapun; menjadi laki-laki atau perempuan, rambut keriting, lurus, kulit hitam atau putih; terlahir dari keluarga Islam, Katolik, moderat, kolot, dan seterusnya.
Sebagian dari apa yang melekat pada diri kita itu tak mungkin diubah. Sebagian yang lain bisa berubah karena pengalaman, situasi, pengaruh lingkungan, dan sebagainya. Bahkan dari kelompok yang sama, tetap saja ada perbedaan. Sama-sama dari Jawa, tapi ada perbedaan suku, baik itu Madura, Sunda, dan ada suku-suku lain. Sama-sama Madura tapi ada yang suka bakso atau yang suka mie ayam. Sama-sama suka bakso ada yang suka sambelnya dicampur atau yang dipisah. Sama-sama suka sambelnya dicampur ada yang mengambilnya sedikit atau banyak. Sama-sama suka ambil sambel banyak yang satu sehat-sehat saja yang lain diare. Sama-sama diare yang satu cepet sembuh yang lain masih pingsan. Seperti itulah perbedaan itu melekat pada kita.
Perbedaan dapat menjadi salah satu sumber konflik. Jika perbedaan tidak diolah, konflik akan terjadi lebih sering dan lebih kuat. Puncaknya akan terjadi kekerasan, baik itu kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi .
Dampak kekerasan bisa muncul dalam beberapa bentuk, pertama, ada korban. Korban biasanya merasakan sakit, terluka, bahkan sampai korban jiwa. Kedua, kerusakan, baik itu kerusakan fisik (gedung,barang) atau bisa juga kerusakan relasi dan kerusakan psikis. Jika kekerasa tidak distop, kekerasan satu akan mengakibatkan kekerasan yang lain, dan ini akan berkelanjutan.
Aktif Tanpa Kekerasan
Aktif Tanpa Kekerasan (ATK) adalah alternatif sikap hidup sekaligus gerakan yang didasari semangat penghormatan martabat manusia untuk melawan ketidakadilan dan kekerasan, dengan tanpa kekerasan. Sikap hidup dan gerakan ini muncul karena ada kesadaran bahwa ketidakadilan dan kekerasan tidak mungkin dihapus tanpa memutus rantai ketidakadilan dan kekerasan. Caranya adalah menghentikan tindakan tidak adil dan kekerasan mulai dari diri sendiri.
Melawan kekerasan tanpa kekerasan, tidak berarti diam. Sikap itu perlu dilanjutkan dengan upaya mengungkapkan fakta dan kebenaran, dengan penilaian dan analisis yang kritis terhadap situasi yang perlu ditentang, dilawan, dan ditolak. Setelah itu, bersama dengan masyarakat melakukan aksi-aksi konkret tanpa kekerasan.
Penulis bersama para mahasiswa-mahasiswi dalam zoom meeting.
Sikap aktif tanpa kekerasan merupakan kesadaran personal dan komunal untuk perubahan sosial, berdasarkan kasih dan kebenaran yang mewujud dalam keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan dengan cara mengalahkan kejahatan. Dengan kata lain kita “merombak tanpa merusak”.
Ada dua prinsip yang harus dipegang terkait prinsip dasar “aktif tanpa kekerasan: Pertama, manusia itu setara, bermartabat sama, apa pun kondisi yang melekat padanya. Oleh karena mempunyai hak asasi yang sama yang harus dihormati tak terelakkan. Kedua, perdamaian merupakan cita-cita bersama. Tak ada satu pun manusia yang ingin tidak damai.
Ada lima strategi dasar gerakan “aktif tanpa kekerasan” saat terjadi konflik, yaitu: Pertama, adalah dialog. Dialog merupakan salah satu upaya menjangkau kesadaran semua pihak. Meski sudah terjadi konflik kekerasan kita harus tetap percaya bahwa masih ada potensi-potensi kebaikan yang bisa dikembangkan dalam diri pihak-pihak yang berkonflik, baik dalam diri pelaku maupun korban kekerasan. Maka, perlu ditempuh dialog di antara pihak-pihak tersebut, demi membuka kemungkinan bertemunya kepentingan masing-masing pihak.
Dalam dialog, setiap pihak didorong untuk menghentikan situasi kekerasan lalu “duduk bersama” saling mengungkapkan kepentingan, memahami akibat dan kerugian dari tindakan kekerasan, mencari kebenaran serta menemukan pemecahan masalah yang adil secara bersama-sama. Dialog berarti mempertemukan pemikiran semua yang sedang berkonflik untuk memahami kepentingan dan kondisi masing-masing. Kita harus bersikap sebagai pihak yang peduli pada kebaikan umum, bukan hanya kepentingan sendiri. Di sinilah pentingnya kita mempunyai kemampuan berpikir dari dua sisi. Unsur penting dalam dialog adalah data tentang fakta yang terjadi, meskipun data tidak selalu mengandung kebenaran mutlak.
Prinsip kedua adalah persuasi dan protes tanpa kekerasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan persuasi sebagai ajakan dengan cara memberikan alasan dan prospek yang baik yang meyakinkan. Dengan persuasi ini, para pelaku kekerasan dipengaruhi untuk mengakhiri praktek kekerasan dan ketidakadilan. Strategi ini dapat dilakukan dengan pengiriman delegasi untuk dialog disertai dengan pengajuan solusi alternatif, bisa pula dengan surat terbuka.
Jika dialog tidak berhasil maka pengungkapan fakta ketidakadilan dan kekerasan dilakukan dengan cara mempengaruhi pendapat publik. Misalnya dengan lagu, drama, puisi, selebaran, poster, rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya. Lagu-lagu Iwan Fals adalah contoh protes tanpa kekerasan sekaligus sebagai bentuk komunikasi kepada publik. “Aksi Kamisan”, berdiri di depan Istana Negara dengan mengenakan pakaian hitam dan membawa payung hitam oleh sekelompok ibu yang anak-anaknya menjadi korban peristiwa Reformasi 1998, adalah bentuk lain “protes tanpa kekerasan”. Aksi “Sembilan Srikandi” ibu-ibu dari Kendeng, Jawa Tengah, yang ngecor kaki mereka dengan semen merupakan aksi protes dan kampanye yang membuat nyeri di hati. Menanami lobang-lobang jalan raya dengan pohon-pohon pisang bisa digolongkan dalam aksi protes yang kreatif.
Ketiga, menolak prinsip ketidakadilan. Satu hal penting yang perlu kita ingat adalah sistem dalam masyarakat, termasuk sistem yang paling tidak adil dan paling diktator sekali pun, sangat tergantung pada ketaatan, kerjasama, serta kesediaan masyarakat untuk tunduk. Maka, sistem yang tidak adil dan mengandalkan kekerasan akan tumbang jika anggota-anggota masyarakat menarik sikap-sikap itu. Dengan strategi ini, kita menolak untuk tunduk, bekerja sama, dan terlibat dalam kekerasan serta ketidakadilan. Kita juga menolak untuk duduk dalam struktur yang melakukan kekerasan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Intinya, kita menarik segala bentuk dukungan terhadap sistem yang seperti itu.
Mahasiswa-mahasiswi sedang berdiskusi di zoom meeting.
Keempat, sistem tandingan alternatif. Kekerasan struktural berlangsung dalam sistem yang tidak adil. Melawan sistem kekerasan yang tidak adil tersebut bisa dilakukan dengan cara merancang dan memberlakukan sistem tandingan alternatif yang lebih adil. Misalnya, warung atau toko kejujuran adalah salah satu bentuk membangun sistem tandingan dari tindakan korupsi dan pencurian. Meletakkan sampah dengan tertib dan memilah-mengolah sampah juga menjadi bentuk sistem tandingan tindakan sembarangan tentang sampah. Berbagi nasi pada Jumat Berkah menjadi sistem tandingan ketidakpedulian masyarakat pada orang sekitar yang membutuhkan.
Kelima, jaringan solidaritas. Sikap hidup aktif tanpa kekerasan tidak akan pernah berkembang, apalagi berhasil, jika dilakukan sendirian. Membangun jaringan merupakan perwujudan keyakinan bahwa masih ada banyak orang yang memiliki kebaikan dan kepedulian. Masih banyak orang yang menolak kekerasan, ketidakadilan dan penindasan, tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Masih banyak yang tidak tahu bagaimana harus bersikap di tengah ketidakadilan. Membangun jaringan bersama mereka akan memperluas cakupan pengaruh dan membuka ruang bagi keterlibatan lebih banyak orang yang berkehendak baik.
Tapal Batas Aktif Tanpa Kekerasan
Aktif tanpa kekerasan bukanlah diam di hadapan tindak kekerasan, juga bukan sikap pasif ketika disakiti. Tindakan berdiam diri dapat membuat para pelaku kekerasan semakin jauh dari kesadaran akan daya rusak kekerasan. Tindak kekerasan juga tidak akan berhenti karena sikap diam kita.
*Penulis:
Yuli Nugrahani, STP (Ketua Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau/KKPPMP Keuskupan Tanjungkarang)