Menghormati dan Memberdayakan Martabat Perempuan
Workshop Rumpun Kemasyarakatan KWI Sorong – Rumpun Kemasyarakatan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) melakukan beberapa program kerjasama antar komisi di KWI dalam beberapa tahun terakhir ini. Salah satunya pernah diadakan bekerjasama dengan Keuskupan Tanjungkarang sebelum moment pemilihan umum April lalu. Kali ini tema Menghormati dan Memberdayakan Martabat Manusia diadakan bekerjasama Keuskupan Sorong diikuti kurang lebih 400 orang dari 13 paroki yang ada di Sorong. Tema ini diangkat karena dari sekian banyak kasus kekerasan yang terjadi, yang paling rentan menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Kekerasan terhadap perempuan itu kebanyakan terjadi di ranah personal yaitu di sekitar rumah tangga dengan orang-orang yang mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan. Stigma terhadap perempuan sebagai makhluk yang lemah dan “kelas dua” kian menempatkan perempuan sebagai korban dengan akses ekonomi, politik dan bidang kehidupan lain yang tidak adil dan setara. Martabat perempuan dipandang sebelah mata. Itulah sebagian dari latar belakang tema ini diangkat oleh Rumpun Kemasyarakatan KWI yang terdiri dari Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP), Komisi Hubungan antar Agama dan Kepercayaan (HAK), Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran Perantau (KPP-PMP), Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) dan Komisi Kerasulan Awam (Kerawam). Kegiatan dilakukan pada Jumat – Sabtu, 26 – 27 Juli 2019 bertempat di Aula Lux Ex Oriente Gereja Katedral Sorong. Mgr. Hilarion Datus Lega, Uskup Manokwari Sorong memberikan dukungannya mulai dari awal acara hingga penutupan. “Bicara gender bukan hanya bicara tentang perempuan. Semua pihak harus memberikan perhatian. Maka saya minta semua mengikuti kegiatan ini termasuk orang muda Katolik dari berbagai paroki,” ujar Mgr. Hilarion mengawali sesi-sesi yang dijalankan dalam workshop. Sesi pertama diisi pendasaran konsep gender oleh Sr. Natalia OP, Sekretaris SGPP KWI yang dilanjutkan dengan menggali masalah-masalah ketidakadilan gender oleh Ch. Dwi Yuli Nugrahani, anggota badan pengurus SGPP KWI. SGPP KWI mendasarkan paparannya dari Surat Gembala KWI 2004 tentang Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki sebagai Citra Allah. “Setelah Konsili Vatikan II, ajaran-ajaran Gereja senantiasa menekankan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan setara menurut citra Allah (Bdk. Kej 1:26-27). Allah memberikan kepada mereka tanggungjawab untuk memelihara keutuhan ciptaan-Nya. Sesuai dengan kehendakNya, laki-laki dan perempuan diciptakan setara martabatnya walau berbeda secara biologis. Perbedaan tersebut dikehendaki oleh Tuhan, karena mempunyai makna yang dalam dan tujuan yang khas untuk mengembangkan kehidupan. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi dan memperkaya serta dipanggil untuk membangun relasi yang penuh kasih.” Demikian sebagian dari cuplikan surat gembala tersebut. Gereja meyakini laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itulah dalam sesi kedua, peserta diajak untuk melihat pemberdayaan yang berkeadilan mulai dari keluarga, komunitas, masyarakat dan negara disampaikan oleh Eko Aldilanto O.Carm dari KKPPMP KWI dan Ewaldus PR dari Komisi PSE KWI. Pada sesi ketiga, peserta diajak meluaskan pandangan dengan melihat hubungan antar agama dan politik oleh Heri Wibowo PR dari Komisi HAK KWI dan PC Siswantoko PR dari Komisi Kerawam KWI. Ch. Dwi Yuli Nugrahani, yang juga PJ KKPPMP Keuskupan Tanjungkarang memberikan satu alternatif pemberdayaan melalui pengembangan komunitas. “Komunitas bisa menjadi salah satu kekuatan bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya, keluarganya serta membentenginya dari perilaku yang bisa membuatnya menjadi korban. Persaudaraan saling percaya dan solider dalam komunitas membuat perempuan tidak perlu merasa sendirian.” Salah satu komunitas yang dipakai sebagai contoh adalah komunitas perempuan di daerah Ulubelu Tanggamus yang mengelola Koperasi Simpan Usaha dengan produk kopi. Mengembangkan ekonomi secara kreatif bisa dimulai dari sana. Pertama, mendapatkan akses permodalan alternative dengan nilai-nilai koperasi; kedua, mendapatkan peluang mendapatkan wawasan dan pelatihan; ketiga, melakukan kerja produktif dengan seimbang; dan keempat, mengembangkan pemasaran yang manusiawi melalui berbagai cara termasuk pemanfaatan teknologi digital. Dari sana, para perempuan akan terus berkembang mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi di tengah masyarakat. “Saya selalu yakin bahwa perempuan yang mandiri adalah perempuan yang tahu kebutuhannya sendiri secara fisik, psikis dan rohani. Lalu setelah tahu dia berani melakukan pilihannya, dan tidak boleh dilupa harus secara hamonis menjaga keberadaannya sebagai ‘manusia’ yang hidup bersama dengan manusia lain dan ciptaan lain,” demikian diungkap dalam sesi maupun makalahnya. Pada akhir workshop, peserta berkumpul tiap paroki menggali situasi konkret yang mereka alami dalam konteks masyarakat Sorong. Masalah ketidakadilan dan peran Gereja mencuat dalam diskusi mereka. Setiap kelompok merumuskan rencana tindak lanjut dalam sebuah komitmen yang akan mereka lanjutkan dalam kehidupan mereka di tengah masyarakat dan Gereja di mana mereka hidup. Pada penutupan acara, Ketua Panitia Penyelenggara, Matilda menyatakan apresiasinya dan bertekad mengambil kebaikan dari acara tersebut untuk Keuskupan Manokwari Sorong. “Kami harus melanjutkan semangat dari kegiatan ini untuk mengembangkan paroki kami masing-masing. Ada banyak hal baru yang sudah kami dapatkan, dan itu berguna bagi kami semua.” Tandas Matilda. *** (dyn)
Menghormati dan Memberdayakan Martabat Perempuan Read More »