Dyslexia: blessing in disguise

Aku memiliki seorang sahabat terbaik, tetapi aku tak pernah menyangka jika ia seorang penyandang disleksia dan perjuangan hidupnya telah mengubah hidupku. Aku dan sahabatku berasal dari desa kecil di salah satu kabupaten di Pulau Sumatera. Kami menempuh pendidikan yang sama sejak TK hingga SMA. Sewaktu bersekolah di SMP, aku sempat bermusuhan dengannya karena dia sering mencontek pada waktu ulangan dan suatu hari dia mengucapkan kata-kata yang membuatku kesal. Namun, dia tidak merasa bersalah sehingga dia tidak meminta maaf padaku. Persahabatan kami berawal ketika kelas 2 SMA, kami mendaftar di kegiatan ekstrakurikuler yang sama, yaitu Karya Ilmiah Remaja (KIR). Aku terkejut melihatnya diruang pertemuan, tetapi yang makin membuatku terperangah ternyata dia menguasai pelajaran Fisika. Sejak aktif di KIR, kami sering bertemu untuk sekedar berbincang-bincang dan belajar bersama. Sahabatku sangat menyukai pelajaran Fisika, terutama hal-hal yang berkaitan dengan listrik. Dia praktekkan teori Fisika itu dalam hidup sehari-hari sehingga dia bisa memperbaiki peralatan elektronik dan membuat alat-alat elektronik untuk dijual. Selama bersahabat dengannya nilai pelajaranku makin meningkat, sedangkan nilai pelajaran sahabatku selalu saja pas-pasan bahkan terkadang dia tampak putus asa jika menerima raport. Akhirnya aku tahu bahwa sebenarnya dia berusaha belajar dengan keras, tetapi dia kesulitan dalam menghafal pelajaran sehingga sering mencontek. Setelah lulus dari SMA, kami melanjutkan studi di kota yang berbeda dan kami tetap berhubungan lewat surat. Dari surat-surat yang kuterima, kulihat tulisannya banyak yang kurang huruf, kala itu aku hanya berpikir dia kurang teliti dalam menulis. Sahabatku berkuliah di program studi diploma jurusan Teknik Elektro, dia menikmati masa kuliahnya karena memang jurusan yang dipilih adalah jurusan favoritnya. Meskipun dia kuliah sambil bekerja paruh waktu, tetapi dia lulus lebih cepat dari waktu yang ditentukan dengan nilai terbaik. Setelah lulus kuliah dia pulang ke desa kami dan memutuskan untuk berwirausaha kecil-kecilan dengan membuka toko yang menjual alat-alat yang berkaitan dengan listrik dan komputer. Sempat mengalami jatuh bangun dalam membangun usahanya, saat ini dia dipercaya beberapa institusi untuk memelihara peralatan komputer di desa kami. Selain itu, dia juga aktif terlibat dalam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan serta terus belajar dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang terkait dengan listrik dan komputer untuk menunjang pekerjaannya. Tahun 2011, sahabatku menikah dan Tuhan menganugerahinya putri kecil yang cantik dan menggemaskan. Tahun 2015, ketika usia putrinya 2 tahun 7 bulan, terjadi peristiwa yang mengejutkan keluarga kecil sahabatku, bahkan menguak rahasia kehidupan pribadi yang selama ini dipendamnya rapat. Putri kecilnya mengalami keterlambatan bicara dan dirujuk untuk terapi wicara dan terapi okupasi oleh dokter rehab medik dari salah satu rumah sakit kota besar (baca: RS X) di Pulau Jawa. Beberapa pemeriksaan harus dilakukan untuk mengetahui dengan pasti kondisi tumbuh kembang putrinya, lalu muncul diagnosa putrinya beresiko “disleksia” yang diturunkan secara genetis. Istilah “disleksia” yang tak pernah didengarnya membuat sahabatku syok, sedih, bingung, semua hal berkecamuk dalam dirinya. Beban sahabatku semakin bertambah ketika keluarga besarnya tidak terima setelah diberitahu tentang kondisi putrinya yang termasuk kategori anak berkebutuhan khusus (ABK). Pertimbangan biaya dan fasilitas terapi yang kurang memadai di desa makin membuat sahabatku terpuruk, keluarga kecilnya harus menempuh perjalanan ke kota dengan jarak 80 km untuk mencari terapis. Dia sempat merasa putus asa dan hampir tidak mau melanjutkan terapi untuk putrinya karena merasa lelah dengan situasi yang dihadapi. Dalam kondisi putus harapan itu dia bercerita padaku, “Aku tak pernah suka bersekolah sejak TK sampai SMA, hari-hari di sekolah hanyalah beban dalam hidupku, apalagi aku mendapat label anak bodoh dan penderitaan makin terasa setiap kali menerima raport. Jadi, wajar saja jika anakku bodoh”. Hatiku sedih sekali ketika mendengar perkataannya. Bertahun-tahun kami bersahabat, tetapi aku tidak pernah mengetahui bebannya selama ini, satu hal yang muncul dibenakku, “Mengapa sahabatku tak menunjukkan ekspresi kesedihan/kemarahan diwajahnya, walau aku tahu hatinya merasa hancur?”. Namun, aku sungguh kagum pada sahabatku, tak perlu menunggu lama dia segera bangkit, dia berusaha keras agar putrinya bisa diterapi. Dia tak peduli perkataan orang lain dan segala pertentangan yang muncul di keluarga besarnya, sahabatku tetap mencari solusi sambil terus berdoa. Tuhan memberikan jalan yang terbaik bagi keluarga kecilnya, putri sahabatku bisa diterapi dengan fasilitas yang memadai. Sahabatku merelakan istri dan putrinya tinggal di kota besar, agar dapat menjalani terapi intensif dan dalam kurun waktu tertentu, dia harus menempuh perjalanan darat dengan jarak kurang lebih 460 km untuk melepas rindu. Tahun 2019, keluarga kecil sahabatku mendapat kesempatan berkonsultasi dengan dokter spesialis anak yang ahli menangani disleksia di RS X. Setelah mendapat diagnosa dan informasi yang akurat, sahabatku akhirnya mengetahui bahwa dia seorang penyandang disleksia, begitu juga dengan putri kecilnya. Kesulitan-kesulitan yang menyiksa dalam hidup yang dialaminya dikarenakan dia seorang penyandang disleksia. Selain itu, informasi tentang “disleksia” di masyarakat luas sangat sedikit sehingga banyak penyandang disleksia yang kurang mendapat perhatian dan dukungan dari lingkungan keluarga dan sekolah bahkan dipandang sebelah mata dengan label-label negatif sehingga mereka makin terpuruk. Sahabat terbaikku adalah suamiku tercinta, kini dia bisa bernafas lega karena putrinya bisa diterapi sejak usia dini dan dia berharap kelak putrinya bisa menikmati masa-masa indah di sekolah. Perjuangan suamiku sejak kecil hingga dewasa sebagai penyandang disleksia menginspirasi diriku, dia tak mudah mengeluh dan menyerah serta selalu berpikir kreatif dalam menyelesaikan permasalahan, walaupun dalam kondisi terburuk dihidupnya. Perjalanan hidup masih panjang dan tantangan tetap menanti di depan mata, tetapi suamiku ingin menebus 30 tahun kehidupannya sebagai penyandang disleksia yang terabaikan dengan memberikan pendampingan yang terbaik bagi putri semata wayang kami. Bagi banyak orang, disleksia merupakan suatu kutukan, tetapi bagiku disleksia justru menjadi berkat yang berharga. Aku dapat mengetahui banyak hal tentang disleksia, bisa menjadi pendamping dan bukan memusuhi, semakin jatuh cinta pada suamiku dan putri tunggal kami. Namun, hal yang terpenting adalah aku semakin mencintai dan menghargai kehidupan.     Penulis          : Margreet Asal kota       : Lampung (Tulisan di atas masuk 7 besar dalam lomba penulisan “Berbagi kisah disleksia paling inspiratif” dengan kategori lomba: C – Kisah inspiratif penyandang disleksia dewasa, yang diselenggarakan oleh ADI – Asosiasi Disleksia Indonesia dalam rangka memperingati HUT ke-10 ADI, tgl 01-12-2019)            

Dyslexia: blessing in disguise Read More »