Disleksia Archives - Keuskupan Tanjungkarang

Disleksia

Gereja & Disleksia (part 2)

BAGAIMANA MENGENALI DISLEKSIA Berikut ini adalah tanda tanda disleksia yang mungkin dapat dikenali oleh orang tua atau guru: Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur misalnya essay Huruf tertukar tukar, misal ’b’ tertukar ’d’, ’p’ tertukar ’q’, ’m’ tertukar ’w’, ’s’ tertukar ’z’ Membaca lambat lambat dan terputus putus dan tidak tepat misalnya Menghilangkan atau salah baca kata penghubung (“di”, “ke”, “pada”). Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (”menulis” dibaca sebagai ”tulis”) Tdak dapat membaca ataupun membunyikan perkataan yang tidak pernah dijumpai Tertukar tukar kata (misalnya: dia-ada, sama-masa, lagu-gula, batu-buta, tanam-taman, dapat-padat, mana-nama) Daya ingat jangka pendek yang buruk Kesulitan memahami kalimat yang dibaca ataupun yang didengar Tulisan tangan yang buruk Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek Kesulitan dalam mengingat kata-kata Kesulitan dalam diskriminasi visual Kesulitan dalam persepsi spatial Kesulitan mengingat nama-nama Kesulitan / lambat mengerjakan PR Kesulitan memahami konsep waktu Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari hari Kesulitan membedakan kanan kiri SIAPA SAJA YANG DAPAT MENGALAMI DISLEKSIA ? Siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin, suku bangsa atau latar belakang sosio-ekonomi-pendidikan, bisa mengalami disleksia, namun riwayat keluarga dengan disleksia merupakan faktor risiko terpenting karena 23-65% orang tua disleksia mempunyai anak disleksia juga. Pada awalnya anak lelaki dianggap lebih banyak menyandang disleksia, tapi penelitian-penelitian terkini menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara jumlah laki dan perempuan yang mengalami disleksia. Namun karena sifat perangai laki-laki lebih kentara jika terdapat tingkah laku yang bermasalah, maka sepertinya kasus disleksia pada laki-laki lebih sering dikenali dibandingkan pada perempuan. (dirangkum dari Sumber: https://indigrow.wordpress.com/2010/10/29/disleksia-si-pintar-yang-sulit-membaca/) DIAGNOSIS Tidak ada satu jenis tes pun yang khusus atau spesifik untuk menegakkan diagnosis disleksia. Diagnosis disleksia ditegakkan secara klinis berdasarkan cerita dari orang tua, observasi dan tes tes psikometrik yang dilakukan oleh dokter anak atau psikolog. Selain dokter anak dan psikolog, professional lain seyogyanya juga terlibat dalam observasi dan penilaian anak disleksia yaitu dokter saraf anak (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan neurologis), audiologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan pendengaran), opthalmologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan penglihatan), dan tentunya guru sekolah. Anak disleksia di usia pra sekolah menunjukkan adanya keterlambatan berbahasa atau  mengalami gangguan dalam mempelajari kata-kata yang bunyinya mirip atau salah dalam pelafalan kata-kata, dan mengalami kesulitan untuk mengenali huruf-huruf dalam alphabet, disertai dengan riwayat disleksia dalam keluarga. Keluhan utama pada anak disleksia di usia sekolah biasanya berhubungan dengan prestasi sekolah, dan biasanya orang tua  ”tidak terima” jika guru melaporkan bahwa penyebab kemunduran prestasinya adalah kesulitan membaca. BISA SEMBUH ‘GAK…? Penelitian retrospektif menunjukkan disleksia merupakan suatu keadaan yang menetap dan kronis. ”Ketidak mampuannya” di masa anak yang nampak seperti ”menghilang” atau ”berkurang” di masa dewasa bukanlah karena disleksia nya telah sembuh namun karena individu tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang diakibatkan oleh disleksia nya tersebut. Mengingat demikian ”kompleks”nya keadaan disleksia ini, maka sangat disarankan bagi orang tua yang merasa anaknya menunjukkan tanda-tanda seperti tersebut di atas, agar segera membawa anaknya berkonsultasi kepada tenaga medis profesional yang kapabel di bidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini dikenali, semakin ”mudah” pula intervensi yang dapat dilakukan, sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah. (Kristiantini Dewi dr., SpA (Indigrow Child Development Center: https://indigrow.wordpress.com/2010/10/29/disleksia-si-pintar-yang-sulit-membaca/) Bagaimana peran Gereja dalam mendukung penyandang disleksia? Gereja diharapkan turun berperan aktif untuk mendukung dan menyadarkan umat bahwa anak-anak penyandang disleksia termasuk dalam anak berkebutuhan khusus (ABK), tumbuh kembang dan pendampingan imannya merupakan tanggung jawab seluruh umat beriman. KHK 795               Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh rasa tanggungjawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berperan-serta secara aktif dalam kehidupan sosial. KHK 1136            Orangtua mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan ‘religius. Beberapa hal yang sekiranya dapat dilakukan Gereja, sebagai berikut: Seksi keluarga dapat lebih terbuka untuk mencari informasi tentang disleksia dan bekerjasama dengan profesional medis untuk mendampingi, menguatkan dan mengedukasi orang tua agar lebih sadar, memperhatikan, menerima, mendukung tumbuh kembang anak disleksia dalam hidup sehari-hari. Seksi pewartaan turut aktif terlibat aktif menyediakan alat-alat pendukung bagi anak-anak disleksia di sekolah minggu misal permainan multisensori. Mengajak sekolah-sekolah katolik (para guru, biarawan biarawati, semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dan pendampingan iman anak) untuk lebih terbuka menerima dengan tulus, menambah ilmu pengetahuan dan berusaha mengakomodasi tumbuh kembang anak-anak disleksia di sekolah (bukan hanya memenuhi syarat administrasi sebagai sekolah inklusif), Mendukung umat dalam mengarahkan kaum muda Katolik untuk memilih profesi sebagai terapis-terapis ABK, sehingga dapat mendampingi anak-anak penyandang disleksia di sekolah-sekolah Katolik. Disleksia bukan merupakan penyakit ataupun kutukan, jika sejak anak-anak usia pra sekolah dapat segera terdeteksi kondisinya oleh profesional medis yang tepat. Mereka sangat perlu diterima, didampingi, dicintai sepenuh hati oleh keluarga/lingkungan, diakomodasi kebutuhan khususnya dan segera diintervensi dengan berbagai terapi yang konsisten di rumah dan atau di sekolah (jika sudah masuk PAUD-TK). Dengan demikian anak-anak penyandang disleksia dapat bertumbuh kembang dengan baik secara mental dan spiritual. Mengingat bahwa anak-anak penyandang disleksia memiliki level intelegensi yang normal bahkan sebagian diantaranya di atas normal sehingga berpotensi bisa sekolah seperti anak-anak pada umumnya, maka tidak perlu terlalu takut dan kuatir, apalagi menjauhi mereka. Justru mereka adalah pribadi-pribadi yang bisa menunjukkan sebaik apa kualitas kita dalam mencintai sesama. (Margreet, pengalaman pendampingan anak disleksia)    

Gereja & Disleksia (part 2) Read More »

Gereja & Disleksia (part 1)

Anak-anak merupakan generasi penerus bangsa dan Gereja, sehingga semua pihak diajak untuk terlibat dan berperan aktif dalam pendampingan tumbuh kembang anak dan imannya. Bagaimana dengan ABK (anak berkebutuhan khusus)? Apakah Gereja Katolik turut berperan aktif dalam pendampingan ABK? Apa yang bisa kita lakukan sebagai anggota Gereja? Artikel ini akan mengulas tentang disleksia yang dialami oleh banyak anak. Seringkali orang tua tidak tau apa itu disleksia dan bagaimana menyikapinya. Sebenarnya jika tau gejalanya dan ada tanggapan yang tepat, orang tua tidak perlu kuatir akan perkembangan anaknya. Gereja juga perlu memberi peneguhan bagi orang tua yang anaknya mengalami kekhususan ini. Ada banyak hal yang bisa dibuat oleh Gereja untuk ambil bagian dalam pastoral anak berkebutuhan khusus ini. Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille (tulisan timbul) dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat (bahasa tubuh) (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus) Selama ini, masih banyak masyarakat umum yang memiliki pemahaman bahwa anak berbakat, anak dengan kesulitan belajar tidak termasuk dalam ABK, sehingga banyak keluarga (khususnya orang tua) dan lingkungan terutama guru di sekolah yang terlambat menyadari bahwa anak didiknya memerlukan perhatian khusus. Masalah akan menjadi rumit ketika anak mengalami kemunduran dalam prestasi belajar, stres, dll. Semua hal itu akan mempengaruhi tumbuh kembang anak secara fisik dan mental, bahkan pertumbuhan imannya. Salah satu ABK yang akan dibahas dalam artikel ini adalah penyandang disleksia. DISLEKSIA (Si Pintar yang Sulit Membaca) Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan moment istimewa yang senantiasa menjadi bagian perhatian orang tua. Setiap ada kemampuan baru yang dicapainya merupakan prestasi tak ternilai bagi sang ayah bunda, dan sebaliknya, setiap hambatan dalam tumbuh kembangnya merupakan hal yang sangat merisaukan orang tua. Kemunduran dalam prestasi belajar termasuk salah satu diantara hal yang cukup mengkhawatirkan orang tua, apalagi jika pihak sekolah sudah mulai memberi “peringatan” atau “label-label” tertentu pada sang buah hati. Sayangnya, orang tua dan guru seringkali terlambat mengenali penyebab permasalahan yang dihadapi anak kita, sehingga anak baru dibawa berkonsultasi setelah mengalami gangguan belajar yang sangat mengkhawatirkan bahkan tidak jarang anak sudah terlanjur mengalami stress atau depresi akibat masalah yang dihadapinya tersebut. APA YANG DIMAKSUD DENGAN DISLEKSIA Disleksia berasal dari bahasa Greek, yakni dari kata “dys” yang berarti kesulitan, dan kata”lexis” yang berarti bahasa. Jadi disleksia secara harafiah berarti “kesulitan dalam berbahasa”. Anak disleksia tidak hanya mengalami kesulitan dalam membaca, tapi juga dalam hal mengeja, menulis dan beberapa aspek bahasa yang lain. Kesulitan membaca pada anak disleksia ini tidak sebanding dengan tingkat intelegensi ataupun motivasi yang dimiliki untuk kemampuan membaca dengan lancar dan akurat, karena anak disleksia biasanya mempunyai level intelegensi yang normal bahkan sebagian diantaranya di atas normal. Disleksia merupakan kelainan dengan dasar kelainan neurobiologis, dan ditandai dengan kesulitan  dalam mengenali kata dengan tepat / akurat, dalam pengejaan dan dalam kemampuan mengkode symbol. Secara lebih khusus, anak disleksia biasanya mengalami masalah masalah berikut: Masalah fonologi Masalah mengingat perkataan Masalah penyusunan yang sistematis / sekuensial Masalah ingatan jangka pendek Masalah pemahaman sintaks (dirangkum dari Sumber: https://indigrow.wordpress.com/2010/10/29/disleksia-si-pintar-yang-sulit-membaca/  ­ – ed. Margreet)  

Gereja & Disleksia (part 1) Read More »

Keuskupan Tanjungkarang

keuskupantanjungkarang.org adalah website resmi Keuskupan Tanjungkarang yang dikelola langsung oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Tanjungkarang

Kritik, usul, dan saran dapat menghubungi kami melalui komsosktjk18@gmail.com

Lokasi Kantor Keuskupan Tanjungkarang

© 2018-2024 Komsos Tanjungkarang | Designed by Norbertus Marcell

You cannot copy content of this page

Scroll to Top