Ketentuan Yuridis Menyangkut Pengangkatan Pastor Paroki
*RD Rikardus Jehaut
Pendahuluan
Pastor paroki (parochus) adalah gembala sebuah komunitas kaum beriman kristiani tertentu yang dibentuk secara tetap dalam Gereja Partikular (bdk. KHK kan. 515, §1) yang diserahi kewenangan untuk menjalankan reksa pastoral dalam bingkai tria munera Christi: mengajar, menguduskan dan memimpin, di bawah otoritas Uskup diosesan (bdk. KHK kan. 519). Di kalangan umat beriman, seringkali muncul pertanyaan menyangkut pengangkatan seorang pastor paroki. Apa syarat-syaratnya ? Bagaimana prosedurnya ? Siapakah yang berhak mengangkat seseorang menjadi pastor paroki? Apakah jabatan tersebut memiliki batas waktu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dapat ditemukan berbagai ketentuan normatif sebagaimana tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik 1983. Tulisan sederhana ini hanya bermaksud untuk menggarisbawahi kembali berbagai hal yang digariskan dalam ketentuan normatif tersebut.
Syarat-Syarat
Dalam kanon 521, Legislator secara eksplisit menetapkan beberapa syarat mendasar yang dituntut dari seseorang untuk dapat diangkat menjadi pastor paroki, sebagai berikut:
Pertama, demi keabsahan (ad validitatem), calon haruslah telah menerima tahbisan suci presbiterat (bdk. kan. 521, §1). Tuntutan ini merupakan aplikasi dari norma umum yang tertuang dalam kanon 150, di mana ditegaskan bahwa validitas pemberian jabatan gerejawi yang berkaitan dengan pemeliharaan jiwa-jiwa itu hanya diberikan kepada mereka yang telah ditahbiskan sebagai imam. Atas dasar itu maka seorang diakon, bruder atau awam tidak dapat diangkat untuk menjadi pastor paroki (bdk. Communicationes 8, 1976, hlm. 25).
Kedua, demi kepantasan (ad liceitatem), calon harus memiliki keunggulan dalam ajaran sehat (sana dottrina) dan berperilaku jujur secara moral. Ia juga harus memiliki perhatian terhadap jiwa-jiwa dan keutamaan-keutamaan lainnya. Di samping itu mempunyai kualitas yang dituntut hukum universal dan partikular untuk membina paroki yang bersangkutan (bdk. Kan 521, §2; Christus Dominus, n. 31). Tuntutan ini erat berhubungan dengan kewajiban pastor paroki untuk mewartakan sabda Allah secara utuh kepada umat yang nota bene harus mendapatkan pengajaran dalam kebenaran imam lewat homili dan pembinaan kateketik dan pelayan sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi (bdk. kan. 528). Di samping itu ia harus mengenal umat beriman yang dipercayakan kepadanya, mengambil bagian dalam keprihatinan, kecemasan dan kedukaan mereka (bdk. kan. 529, §1).
Ketiga, ada kepastian bahwa calon yang bersangkutan sungguh-sungguh layak seturut kriteria yang ditentukan oleh Uskup Diosesan. Kepastian ini, jika dipandang perlu, dapat juga diperoleh melalui ujian (bdk. kan. 521, §3) menyangkut hal-hal doktrinal, sekalipun hal ini tidak merupakan sebuah keharusan. Uskup diosesan juga berwenang untuk menetapkan ketentuan atau syarat tambahan, misalnya calon harus memiliki pengalaman pastoral sebagai pastor rekan minimal setahun tahun, usia imamat minimal dua tahun, tidak mengidap kelainan seksual atau penyakit yang berbahaya serta bebas dari kasus moral tertentu, dan lain sebagainya.
Prosedur
Secara prosedural, ada beberapa ketentuan umum menyangkut pengangkatan seorang pastor paroki yang harus untuk diperhatikan oleh otoritas gereja yang berwenang:
Pertama, secara yuridis pengangkatan seorang pastor paroki merupakan suatu keharusan untuk semua paroki yang telah dibentuk secara sah (bdk. kan. 515, §1) sekalipun untuk situasi tertentu di mana terdapat kekurangan imam (ob sacerdotum penuriam), reksa pastoral sebuah paroki dapat dipercayakan kepada seorang diakon atau orang lain yang bukan imam atau kepada suatu kelompok di bawah pengawasan seorang imam tertentu yang dibekali kuasa dan kewenangan pastor paroki (bdk. kan. 517, §2).
Kedua, seperti yang berlaku untuk berbagai jabatan gerejawi lainnya, jabatan pastor paroki dapat juga diserahkan secara bebas oleh Uskup Diosesan kepada seorang imam yang memiliki kualifikasi yang dituntut untuk jabatan tersebut (bdk. kan. 147, 523). Kemampuan untuk menjalankan reksa pastoral bagi umat beriman di wilayah paroki tersebut menjadi kriteria utama dalam menetapkan seorang imam menjadi pastor paroki. Untuk membuat penilaian terhadap calon pastor paroki, uskup diosesan, harus mendengar pendapat pribadi deken (vicarius foraneus) di wilayah paroki yang vacant tersebut (bdk. kan. 524; kan. 127, §2, 1°).
Jika pastor paroki baru tersebut dipindahkan dari wilayah dekenat atau kevikepan lain, sangat dianjurkan (bukan suatu keharusan) bahwa uskup diosesan berkonsultasi dengan para deken atau vikep masing-masing.
Dalam menilai kelayakan calon, uskup diosesan dapat juga mengadakan penyelidikan dan bila perlu mendengarkan pendapat dari imam-imam dan awam tertentu (bdk. kan. 524). Jika dipandang perlu, uskup dapat membuat test tertentu terhadap calon (bdk. kan. 521, §3). Dewan imam dapat memberikan bantuan kepada Uskup dalam mengumpulkan data obyektif dan menawarkan alternatif tertentu yang dipandang perlu sebagai bahan pertimbangan uskup. Setelah mempertimbangkan semua hal, uskup menyerahkan paroki tersebut kepada imam yang dipandang cocok.
Ketiga, jika jabatan pastor paroki diserahkan kepada seorang imam religius maka ia diangkat oleh uskup diosesan sesudah diajukan atau sekurang-kurangnya disetujui oleh Pimpinan yang berwenang (bdk. kan. 158, §1, kan. 682, §1).
Keempat, pada saat pemberiaan jabatan pastor paroki, paroki yang hendak dituju tersebut harus berada dalam keadaan vacant atau harus menjadi vacant pada saat pengambilalihan jabatan secara kanonik oleh pastor paroki baru tersebut, jika tidak maka invalid secara hukum (bdk. kan. 153, §1). Ordinaris wilayah harus menentukan time frame terkait jangka waktu paroki harus diambil alih oleh pastor paroki baru (bdk. kan. 527, §3). Jika pastor paroki diangkat untuk jangka waktu tertentu, maka hal itu harus dicantumkan dalam surat pengangkatan.
Kelima, pastor paroki baru dilantik untuk menduduki jabatanya oleh Ordinaris wilayah atau imam yang didelegasi olehnya dengan mengindahkan tata cara yang ditentukan dalam norma partikular atau kebiasaan yang legitim (bdk. kan. 527, §2).
Batas Waktu
Dalam kanon 522 Legislator menetapkan bahwa : “Pastor paroki haruslah mempunyai sifat tetap, maka haruslah diangkat untuk waktu yang tak ditentukan; ia dapat diangkat hanya untuk waktu tertentu oleh Uskup Diosesan, jika diperkenankan oleh Konferensi Para Uskup dengan dekret”. Ketentuan normatif ini memuat dua hal penting yang harus diperhatikan:
Pertama, sebagai prinsip dasar, jabatan pastor paroki bersifat stabil, dan karena itu harus diangkat untuk jangka waktu yang tidak ditentukan (ad tempus indefinitum). Kata keterangan waktu “ad tempus indefinitum” tidak boleh dipahami dalam pengertian “ad perpetuum”, untuk selama-lamanya. Gagasan stabilitas terkait jabatan pastor paroki dalam Kodeks 1983 ini tidak harus dilihat secara eksklusif sebagai sebuah jabatan yang bersifat abadi atau sesuatu yang tidak dapat dipindahkan (irremovability). Secara yuridis, pengertian stabilitas mencakup dua relasi hukum, yang esensial, yakni lamanya masa jabatan pastoral dan sistem perubahan administratif dalam masa jabatan tersebut. Sistem kanonik terkait perubahan dalam masa jabatan pastoral didasarkan pada tingkat stabilitas yang mengakui kompleksitas atau fleksibilitas dalam prosedur yang diperlukan untuk memberhentikan atau memindahkan pastor paroki. Alasan dibalik ketentuan normatif berkaitan dengan jabatan pastor paroki yang bersifat stabil ini sangat beragam. Secara eklesiologis, keberadaan seorang pastor paroki berhubungan erat dengan paroki, yang adalah komunitas umat beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular. Karakter stabil sebuah paroki menuntut pula stabilitas jabatan pastor paroki yang bertugas untuk menjalankan reksa pastoral cura animarum. Dan ini membutuhkan waktu yang panjang dan berkesinambungan. Di samping itu, jabatan yang bersifat stabil memberikan ruang seluas-luasnya bagi pastor paroki untuk menjalankan tugasnya secara efektif dan dengan dedikasi yang total. Stabilitas yang menjadi karakter jabatan pastor paroki juga berhubungan dengan kewajiban pastor paroki untuk tinggal di pastoran dekat gereja (bdk. kan. 533 – §1) dan kedudukan pastoral paroki yang mewakili badan hukum paroki dalam urusan yuridis, khususnya berkaitan dengan pengelolahan harta benda paroki (bdk. kan. 532).
Kedua, kendati jabatan pastor paroki bersifat stabil, namun norma kanon juga memberi ruang kemungkinan untuk mengangkat pastor paroki ad tempus determinatum, untuk jangka waktu tertentu dengan catatan bahwa Konferensi Para Uskup, melalui dekret (bdk. kan. 455, §1) memperbolehkan hal itu (dalam dekret, Konferensi Para Uskup dapat menetapkan jangka waktu, misalnya 5 tahun, atau menyerahkan hal itu kepada pertimbangan masing-masing uskup diosesan) Pertimbangan pastoral untuk menetapkan jangka waktu tertentu dapat beragam, misalnya, kepentingan kesejahteraan jiwa umat beriman dan manfaat yang besar bagi Gereja (bdk. kan. 1748) atau pertimbangan-pertimbangan lain dari Uskup diosesan (setelah mendengar pendapat dari organ konsultatif di keuskupanya), seperti demi mencegah efek negatif terhadap imam yang bersangkutan dan terhadap umat beriman lantaran memegang jabatan yang terlalu lama, memberi kesempatan kepada imam muda untuk memperoleh pengamalan pastoral di paroki dan membangun dialog dengan pastor paroki yang lebih tua, rotasi kepemimpinan pada level paroki, dan lain sebagainya. Jika uskup diosesan menetapkan jangkah waktu tertentu sebagai norma partikular, maka hal itu berlaku untuk semua paroki tanpa kecuali (bdk. kan. 13, §1).
Otoritas Yang Berwenang
Norma kanon 523 menegaskan bahwa pemberian jabatan pastor paroki merupakan hak Uskup Diosesan dan bersifat bebas (dengan tetap memperhatian hak pengajuan Superior yang berwenang terkait jabatan gerejawi yang diberikan kepada seorang religius sebagaimana dinyatakan dalam kanon 682, §1).
Di sisi lain, dalam konteks tahta lowong atau terhalang, jabatan pastor paroki dapat juga diberikan oleh administrator diosesan dengan syarat bahwa keadaan tersebut telah berlangsung sejak setahun (bdk. kan. 525, 2°). Mengapa Legislator kewenangan terhadap administrator tidak langsung diberikan sejak saat ia diangkat dan harus menunggu “setahun”? Alasanya bukan karena ketakutan akan perubahan tertentu yang dibuat oleh administrator, yang merugikan keuskupan yang sedang mengalami tahta lowong, melainkan karena secara teologis pastor paroki mengambil bagian dalam tri tugas Kristus –nya Uskup diosesan.
Penutup
Pengangkatan seorang imam menjadi pastor paroki bukanlah sebuah hal yang sepele atau sekedar sebuah tindakan administratif belaka. Ada banyak hal yang harus dikaji dan dipertimbangkan dengan seksama mengingat tugas dan tanggungjawab besar yang diembang oleh seorang pastor paroki. Kitab Hukum Kanonik telah menggariskan berbagai ketentuan normatif yang dapat digunakan sebagai pedoman oleh Uskup Diosesan dalam mengangkat seseorang menjadi pastor paroki yang menjadi kewenangannya. Tentu diharapkan, dan selalu diandaikan, bahwa pastor paroki yang diangkat itu seorang yang dapat menjalankan reksa pastoral dengan baik dan bukan seorang yang sedang ‘bermasalah’.
disadur dari: mirifica.net
Baca juga syarat Pelantikan Pastor Paroki: http://www.mirifica.net/2019/06/20/pelantikan-pastor-paroki/