Pagi hari di Stasi Margolestari, Paroki Margoagung, Minggu, 12 Februari 2023. Sejumlah orang muda Katolik datang dengan pakaian adat Jawa. Yang laki-laki memakai surjan dan blangkon. Yang perempuan mengenakan pakaian kebaya, rambut di sanggul. Anak-anak muda ini ingin mempersembahkan kebolehan mereka di bidang kesenian Jawa. Mereka akan mengiringi Misa Hari Orang Sakit Sedunia dengan musik gamelan.
Satu demi satu umat berdatangan. Sebagian besar yang datang berusia lanjut. Ada yang memakai tongkat atau kursi roda. Musik gamelan menyambut kedatangan umat. Perayaan Ekaristi ini dipimpin oleh Pastor Paroki Margo Agung, Rm. Philipus Suroyo.
Musik gamelan terus berkumandang menghantar jiwa masuk dalam nuansa Jawa. Orang-orang muda ini dengan sukacita dan penuh penghayatan memainkannya.
Melestarikan budaya
Di stasi Margo Lestari ini sebagian besar masyarakatnya adalah para transmigran dari tanah Jawa. “Kami ingin menghormati para sesepuh. Maka, Perayaan Ekaristi Hari Orang Sakit ini diiringi dengan gamelan dan berbahasa Jawa. Selain itu untuk memelihara nilai-nilai luhur budaya Jawa dan menanamkan cinta pada kesenian Jawa kepada orang-orang muda,“ jelas F. Riatmono Hadi.
Untuk mencintai dan semakin profesional dalam bidang seni gamelan, orang-orang muda ini dilatih seminggu dua kali pada malam hari. Usia mereka berkisar 15 tahun hingga belum menikah. Ketika sudah menikah, mereka diwajibkan mengundurkan diri dan diganti dengan orang yang lebih muda.
Syukurlah mereka rajin dan semangat untuk datang latihan. Mereka rela mengurbankan waktu di sela-sela kesibukan kerja atau studinya. Tingkat kehadiran masih dapat dikatakan 100 persen. Karena bila beberapa kali tidak datang, bisa membuat semua kacau. Tidak dapat berjalan dengan baik. Semua itu butuh kekompakkan dan persaudaraan.
Dunia cepat berubah. Orang muda biasanya senang dengan yang bermodel modern, cepat, dan instan. Nah, olah seni gamelan ini juga merubah cara berpikir anak. “Mereka tidak boleh malu dengan budaya Jawa karena kita ini memang orang Jawa. Tidak boleh kacang lupa dengan kulitnya. Tidak semua orang senang dengan budaya Jawa. Maka, sungguh-sungguh harus kita turunkan terus sampai ke anak cucu. Jangan sampai hilang,” harap Riatmono. Tidak mudah melatih orang-orang muda ini untuk mencintai gamelan. Butuh tekun, sabar dan penuh kasih.
Menurut Riatmono, alat gamelan ini pemberian salah seorang tokoh umat di Stasi Margo Lestari. Namanya, Cornelius Sutrimo. Ia berjanji kalau mencalonkan diri ke DPR, lalu duduk di dalamnya, maka akan membelikan gamelan untuk Stasi Margo Lestari. “Beberapa hari yang lalu ia dipanggil Tuhan,” jelas Riatmono kelahiran Margo Agung, 18 November 1969 ini.
Menjadi sahabat
Dalam homilinya, Rm. Roy, sapaan akrabnya, mengajak kita semua untuk menjadi sahabat dan saudara bagi yang lemah, rapuh, miskin, sakit, dan lanjut usia tanpa membeda-bedakan.
Semua orang akan mengalami sakit dan menua. Namun, kalau sakit itu ditanggung dalam kesendirian dan merasa terabaikan, tanpa belas kasih, dukungan, kehadiran, dan kepedulian dari yang lain, pengalaman itu menjadi tidak manusiawi. Ditinggalkan karena dirasa sudah tidak produktif lagi. Mengganggu. Merepotkan. Hingga akhirnya seseorang mengalami kesepian, keraguan seakan ditinggalkan Tuhan.
“Kamu menikmati susunya dari bulunya buat pakaian. Yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba itu sendiri tidak kamu gembalakan. Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekelaman,” Yehezkiel 34: 3-4. ***
M. Fransiska FSGM