DIAKON FX HENDRI FIRMANTO
JANGAN KUATIR; TUHAN BERSAMAMU “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1Ptr. 5:7) “Jangan kuatir; Tuhan bersamamu” menggambarkan disposisi batin saya ketika menuliskan refleksi panggilan ini. Rasa kuatir namun tetap percaya akan penyertaan Tuhan membawa saya pada permenungan tentang makna panggilan yang ditanamkan Tuhan dalam diri saya. Saya menemukan makna panggilan Tuhan tersebut ialah panggilan itu anugerah istimewa dari kasih Ilahi kepada diri saya yang penuh kelemahan. Allah Yang Kudus telah berkenan memanggil dan memilih hamba-Nya untuk mewartakan Injil. Dengan keyakinan akan penyertaan Tuhan, saya berusaha untuk menghadapi kekuatiran dalam iman yang teguh dan percaya bahwa Tuhan sendirilah yang selalu memelihara. Santo Paulus mengatakan “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Fil. 4:6). Perkataan Santo Paulus menjadi satu kekuatan bagi saya untuk tidak menghawatirkan proses yang telah saya lalui mau pun yang akan saya lalui ke depannya dalam menanggapi panggilan Tuhan sebagai imam. Saya berusaha menyerahkan segala yang terjadi kepada kehendak Tuhan yang memanggil. Hal ini secara nyata terbukti dalam seluruh proses yang telah saya alami mulai dari awal keinginan masuk seminari sampai sekarang. Saya ingin masuk seminari sejak kelas dua SMP. Karena itu, pada tahun 2011 rencananya setelah tamat SMP saya ingin melanjutkan pendidikan di seminari, tetapi gagal karena romo paroki tidak memberitahu waktu pendaftarannya, bahkan terkesan tidak mengizinkannya. Karena hal itu, kemudian saya masuk ke Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Satu (SMK N1) Blambangan Umpu dan melupakan keinginan untuk ke seminari. Akan tetapi, ketika kelas tiga (XII), berawal dari ajakan teman saya untuk mendaftar ke sekolah (kuliah) ikatan dinas, yakni dinas pertanian dan perkebunan Kabupaten Way Kanan, secara spontan saya menolaknya dengan berkata: “Saya mau masuk seminari, jadi romo”. Dia kaget dan tidak menyangka dengan keinginan saya ini. Keinginan saya untuk kembali masuk seminari, saya utarakan juga kepada romo kepala paroki yang baru (dulu romo rekan dan diangkat menjadi pastor kepala paroki). Romo kepala paroki tidak serta merta memberikan izin dan rekomendasi. Beliau menyarankan supaya dipikirkan kembali dengan matang. Beberapa minggu kemudian, tepatnya 26 Desember 2013, saya kembali menghadap romo kepala paroki untuk tetap mendaftar ke seminari. Akhirnya, 27 Desember 2013, saya berangkat untuk mengikuti tes masuk di seminari Menengah St. Paulus Palembang. Setelah mengikuti tes, beberapa bulan kemudian hasil tes keluar dan dalam hasil itu, saya dinyatakkan lulus seleksi dan diterima masuk ke Seminari Menengah St. Paulus Palembang. Saat saya memulai pendidikan dan pembinaan di Seminari Menengah St. Paulus Palembang, saya berkeinginan menjadi bruder FIC. Hal ini terjadi karena saya dan keluarga memiliki hubungan yang cukup dekat dan baik dengan beberapa bruder FIC yang berkomunitas di Sukaraja, Blitang, BK. 0; serta kedua adik saya bersekolah di SMA dan SMP Pangudi Luhur, Sukaraja, Blitang yang dikelolah oleh para bruder FIC. Selama enam bulan saya merenungkan panggilan ini, hingga akhirnya ketika retret akhir Retorica, saya berubah haluan dari bruder FIC ke Imam Diosesan Keuskupan Tanjungkarang. Perubahan pillihan saya ini terjadi karena saya mengetahui bahwa di antara teman-teman seminaris yang lainnya, terutama yang berasal dari Lampung tidak ada satu pun yang memilih Keuskupan Tanjungkarang. Melihat situasi seperti itu, saya berpikir bahwa kalau bukan saya yang memilih menjadi imam di Keuskupan Tanjungkarang siapa lagi; kemudian, saya sendiri berasal dari Keuskupan Tanjungkarang serta Keuskupan ini pun membutuhkan kaum muda yang mau mengabdikan diri bagi perkembangan Gereja setempat. Dengan pemikiran-pemikiran sedehana itu, akhirnya saya memutuskan dan memantapkan diri untuk melamar ke Keuskupan Tanjungkarang sebagai calon imam Diosesan Keuskupan Tanjungkarang. Pada akhirnya, saya diterima sebagai calon Imam Dioesan Keuskupan Tanjungkarang serta diutus untuk menjalankan proses pendidikan dan pembinaan di Seminari TOR Santo Markus; kemudian, di Seminari Tinggi Santo Petrus Pematangsiantar sampai selesai masa formatio awal sebagai calon Imam Diosesan. Pengalaman yang telah saya lalui seperti di atas sebagai masa awal panggilan membuat saya merasakan bahwa Tuhan selalu menyertai perjalanan hidup saya. Bahkan, ketika saya berusaha mengelak dari panggilan-Nya, Tuhan menegur saya dengan berbagai pengalaman yang meneguhkan iman saya. Salah satunya, saya semakin aktif dalam kegiatan menggereja seperti kegiatan Orang Muda Katolik yang diselenggarakan pertiga bulan sekali pada minggu kelima. Saya merasa bahwa ini adalah awal panggilan saya untuk secara khusus mengikuti-Nya. Maka pada waktu itu, tanpa keraguan saya memutuskan untuk meninggalkan segalanya dan mulai menjawab panggilan-Nya. Misteri panggilan Tuhan saya rasakan ketika memasuki masa persiapan tahbisan Diakonat. Secara tidak terduga saya mendapat tugas perutusan di Paroki Hati Yesus Yang Mahakudus, Metro bersama para Imam dari Keuskupan Agung Semarang serta membantu di SMP Xaverius Metro. Selama menjalankan masa persiapan Diakonat ini, saya berusaha untuk memurnikan gambaran imamat yang saya miliki sebagai bentuk kesungguhan dalam menjawab panggilan Tuhan. Karena itu, dalam refleksi sebelum tahbisan Diakonat saya menuliskan bahwa gambaran imamat saya ialah Imam adalah Gembala yang melayani, seperti Tuhan Yesus yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Mat. 20:28) kawanan domba Allah melalui Gereja. Gambaran imamat di atas semakin saya pertegas selama masa Diakonat di Paroki Santa Maria Pajar Mataram. Bagi saya pribadi, gambaran imamat tentang imam sebagai Gembala dan imam sebagai Pelayan saya maknai sebagai berikut: Pertama, Imam sebagai Gembala bermakna bahwa seorang imam mempunyai tugas dan tanggung jawab menuntun dan mengarahkan kawanan domba Allah yang dipercayakan kepadanya ke Padang yang hijau, yang dapat memberikan kehidupan kepada setiap orang baik secara pribadi mau pun bersama, khususnya dalam hal hidup rohani atau iman kepada Kristus yang bangkit. Konsep ini adalah bentuk lain dari konsep tentang Gembala yang baik seperti yang ditegaskan oleh Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes 10:1-20. Kedua, Imam sebagai pelayan bermakna bahwa seorang imam yang adalah Gembala harus mau melayani secara total, dengan memberikan diri kepada Allah untuk melayani umat Allah sesuai kebutuhannya masing-masing dalam situasi konkret hidupnya. Konsep imam sebagai pelayan yang saya miliki ini terinspirasi dari Sabda Yesus sendiri yakni “Siapa saja yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mat. 20:26b). Selama masa Diakonat, saya berusaha membentuk diri sebagai gembala yang baik; gembala yang mau melayani, dan selalu belajar dari siapa saja yang berkehendak baik, terutama Pastor Paroki. Dalam proses belajar menjadi gembala yang melayani, saya menyadari bahwa banyak
DIAKON FX HENDRI FIRMANTO Read More »