Berita Archives - Page 2 of 63 - Keuskupan Tanjungkarang

Berita

DIAKON FX HENDRI FIRMANTO

JANGAN KUATIR; TUHAN BERSAMAMU “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1Ptr. 5:7) “Jangan kuatir; Tuhan bersamamu” menggambarkan disposisi batin saya ketika menuliskan refleksi panggilan ini. Rasa kuatir namun tetap percaya akan penyertaan Tuhan membawa saya pada permenungan tentang makna panggilan yang ditanamkan Tuhan dalam diri saya. Saya menemukan makna panggilan Tuhan tersebut ialah panggilan itu anugerah istimewa dari kasih Ilahi kepada diri saya yang penuh kelemahan. Allah Yang Kudus telah berkenan memanggil dan memilih hamba-Nya untuk mewartakan Injil. Dengan keyakinan akan penyertaan Tuhan, saya berusaha untuk menghadapi kekuatiran dalam iman yang teguh dan percaya bahwa Tuhan sendirilah yang selalu memelihara. Santo Paulus mengatakan “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Fil. 4:6). Perkataan Santo Paulus menjadi satu kekuatan bagi saya untuk tidak menghawatirkan proses yang telah saya lalui mau pun yang akan saya lalui ke depannya dalam menanggapi panggilan Tuhan sebagai imam. Saya berusaha menyerahkan segala yang terjadi kepada kehendak Tuhan yang memanggil. Hal ini secara nyata terbukti dalam seluruh proses yang telah saya alami mulai dari awal keinginan masuk seminari sampai sekarang. Saya ingin masuk seminari sejak kelas dua SMP. Karena itu, pada tahun 2011 rencananya setelah tamat SMP saya ingin melanjutkan pendidikan di seminari, tetapi gagal karena romo paroki tidak memberitahu waktu pendaftarannya, bahkan terkesan tidak mengizinkannya. Karena hal itu, kemudian saya masuk ke Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Satu (SMK N1) Blambangan Umpu dan melupakan keinginan untuk ke seminari. Akan tetapi, ketika kelas tiga (XII), berawal dari ajakan teman saya untuk mendaftar ke sekolah (kuliah) ikatan dinas, yakni dinas pertanian dan perkebunan Kabupaten Way Kanan, secara spontan saya menolaknya dengan berkata: “Saya mau masuk seminari, jadi romo”. Dia kaget dan tidak menyangka dengan keinginan saya ini. Keinginan saya untuk kembali masuk seminari, saya utarakan juga kepada romo kepala paroki yang baru (dulu romo rekan dan diangkat menjadi pastor kepala paroki). Romo kepala paroki tidak serta merta memberikan izin dan rekomendasi. Beliau menyarankan supaya dipikirkan kembali dengan matang. Beberapa minggu kemudian, tepatnya 26 Desember 2013, saya kembali menghadap romo kepala paroki untuk tetap mendaftar ke seminari. Akhirnya, 27 Desember 2013, saya berangkat untuk mengikuti tes masuk di seminari Menengah St. Paulus Palembang. Setelah mengikuti tes, beberapa bulan kemudian hasil tes keluar dan dalam hasil itu, saya dinyatakkan lulus seleksi dan diterima masuk ke Seminari Menengah St. Paulus Palembang. Saat saya memulai pendidikan dan pembinaan di Seminari Menengah St. Paulus Palembang, saya berkeinginan menjadi bruder FIC. Hal ini terjadi karena saya dan keluarga memiliki hubungan yang cukup dekat dan baik dengan beberapa bruder FIC yang berkomunitas di Sukaraja, Blitang, BK. 0; serta kedua adik saya bersekolah di SMA dan SMP Pangudi Luhur, Sukaraja, Blitang yang dikelolah oleh para bruder FIC. Selama enam bulan saya merenungkan panggilan ini, hingga akhirnya ketika retret akhir Retorica, saya berubah haluan dari bruder FIC ke Imam Diosesan Keuskupan Tanjungkarang. Perubahan pillihan saya ini terjadi karena saya mengetahui bahwa di antara teman-teman seminaris yang lainnya, terutama yang berasal dari Lampung tidak ada satu pun yang memilih Keuskupan Tanjungkarang. Melihat situasi seperti itu, saya berpikir bahwa kalau bukan saya yang memilih menjadi imam di Keuskupan Tanjungkarang siapa lagi; kemudian, saya sendiri berasal dari Keuskupan Tanjungkarang serta Keuskupan ini pun membutuhkan kaum muda yang mau mengabdikan diri bagi perkembangan Gereja setempat. Dengan pemikiran-pemikiran sedehana itu, akhirnya saya memutuskan dan memantapkan diri untuk melamar ke Keuskupan Tanjungkarang sebagai calon imam Diosesan Keuskupan Tanjungkarang. Pada akhirnya, saya diterima sebagai calon Imam Dioesan Keuskupan Tanjungkarang serta diutus untuk menjalankan proses pendidikan dan pembinaan di Seminari TOR Santo Markus; kemudian, di Seminari Tinggi Santo Petrus Pematangsiantar sampai selesai masa formatio awal sebagai calon Imam Diosesan. Pengalaman yang telah saya lalui seperti di atas sebagai masa awal  panggilan membuat saya merasakan bahwa Tuhan selalu menyertai perjalanan hidup saya. Bahkan, ketika saya berusaha mengelak dari panggilan-Nya, Tuhan menegur saya dengan berbagai pengalaman yang meneguhkan iman saya. Salah satunya, saya semakin aktif dalam kegiatan menggereja seperti kegiatan Orang Muda Katolik yang diselenggarakan pertiga bulan sekali pada minggu kelima. Saya merasa bahwa ini adalah awal panggilan saya untuk secara khusus mengikuti-Nya. Maka pada waktu itu, tanpa keraguan saya memutuskan untuk meninggalkan segalanya dan mulai menjawab panggilan-Nya. Misteri panggilan Tuhan saya rasakan ketika memasuki masa persiapan tahbisan Diakonat. Secara tidak terduga saya mendapat tugas perutusan di Paroki Hati Yesus Yang Mahakudus, Metro bersama para Imam dari Keuskupan Agung Semarang serta membantu di SMP Xaverius Metro. Selama menjalankan masa persiapan Diakonat ini, saya berusaha untuk memurnikan gambaran imamat yang saya miliki sebagai bentuk kesungguhan dalam menjawab panggilan Tuhan. Karena itu, dalam refleksi sebelum tahbisan Diakonat saya menuliskan bahwa gambaran imamat saya ialah Imam adalah Gembala yang melayani, seperti Tuhan Yesus yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Mat. 20:28) kawanan domba Allah melalui Gereja. Gambaran imamat di atas semakin saya pertegas selama masa Diakonat di Paroki Santa Maria Pajar Mataram. Bagi saya pribadi, gambaran imamat tentang imam sebagai Gembala dan imam sebagai Pelayan saya maknai sebagai berikut: Pertama, Imam sebagai Gembala bermakna bahwa seorang imam mempunyai tugas dan tanggung jawab menuntun dan mengarahkan kawanan domba Allah yang dipercayakan kepadanya ke Padang yang hijau, yang dapat memberikan kehidupan kepada setiap orang baik secara pribadi mau pun bersama, khususnya dalam hal hidup rohani atau iman kepada Kristus yang bangkit. Konsep ini adalah bentuk lain dari konsep tentang Gembala yang baik seperti yang ditegaskan oleh Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes 10:1-20. Kedua, Imam sebagai pelayan bermakna bahwa seorang imam yang adalah Gembala harus mau melayani secara total, dengan memberikan diri kepada Allah untuk melayani umat Allah sesuai kebutuhannya masing-masing dalam situasi konkret hidupnya. Konsep imam sebagai pelayan yang saya miliki ini terinspirasi dari Sabda Yesus sendiri yakni “Siapa saja yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mat. 20:26b). Selama masa Diakonat, saya berusaha membentuk diri sebagai gembala yang baik; gembala yang mau melayani, dan selalu belajar dari siapa saja yang berkehendak baik, terutama Pastor Paroki. Dalam proses belajar menjadi gembala yang melayani, saya menyadari bahwa banyak

DIAKON FX HENDRI FIRMANTO Read More »

Diakon Chosmas Oswyn Koba

Panggilan menjadi seorang imam bagi pribadi saya adalah jalan mulia yang begitu menyenangkan. Menyenangkan karena ketika dijalani dengan sukacita dan tanpa ketakutan semuanya akan baik-baik saja. Bagi saya, Tuhan Yesus selalu menyertai saya dalam jalan ini. Ia selalu berada di samping saya. Panggilan mengikuti-Nya, saya alami ketika berada di bangku Sekolah Dasar (SD); waktu itu saya ditanya oleh paman saya yang adalah guru matematika di sekolah. Katanya jika saya jadi imam maka bakat menyanyi saya akan semakin berkembang hal ini karena beliau mengetahui bahwa saya suka menyanyi. Lambatlaun akhirnya saya berniat masuk seminari. Niat saya semakin kuat karena kakek saya adalah seorang pastor Serikat Sabda Allah (SVD) yang selalu datang ke rumah dan memberi saya makanan enak. Dalam benak saya, ketika menjadi seorang imam saya pun akan selalu merasakan kenikmatan makanan yang serba enak. Ketika tamat Sekolah Dasar, saya mengikuti seleksi masuk seminari di istana Keuskupan Agung Ende dan saya diterima di Seminari Bunda Segala Bangsa-Maumere. Tahun 2008 adalah tahun yang sangat berharga bagi saya karena boleh menginjakan kaki di Seminari Bunda Segala Bangsa. Angkatan saya adalah angkatan terakhir yang boleh bersekolah di  SMPK Frateran Maumere namun berstatus seminaris. Saya bersukacita karena di seminari saya mendapat kawan-kawan baru, pembina yang selalu memberi kasih sayang, belajar hal-hal baru misalnya ketertipan dan tanggung jawab, saya dipilih menjadi ketua musik vokal, dan saya bersyukur bawasannya saya dijaga kakak sepupu yang merupakan senior saya. Di seminari senioritas sangat kuat. Satu kesempatan ketika kawan-kawan lain diperintah untuk mencuci pakaian kakak-kakak kelas tiga saya sendiri yang tidak mendapatkan perintah tersebut karena kakak melarang saya agar tidak mengikuti perintah tersebut. Ketika naik kelas tiga, saya dikeluarkan dari seminari karena alasan bolos. Waktu itu 10 orang dikeluarkan dari seminari, saya termasuk didalamnya. Sebelum dikeluarkan, pembina seminari yakni Romo Bone menganjurkan saya untuk melanjutkan ke Kelas Persiapan Bawah di Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko. Dalam benak saya beranggapan bahwa Romo Bone masih sangat mendukung saya dalam jalan panggilan menjadi serang imam. Ia terus terang mendukung saya. Bhkan pada malam harinya, ia memanggil saya dan mengatakan bahwa ada ketaatan dan kedisiplinan yang kuat melekat dalam diri saya dan itu merupakan salah satu yang harus dimiliki oleh seorang calon imam. Ajakan dari Romo Bone tidak diindakan oleh saya. Saya tidak melanjutkan pendidikan di seminari. Namun panggilan saya tidak putus ditengah jalan. Seusai tamat dari SMPK Frateran Maumere, saya melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) Frateran Ndao. Salah satu sekolah yang sangat bergengsi di Kabupaten Ende. Di SMAK Ndao, saya selalu dipuja oleh para freter karena nilai agama katolik yang selalu bagus. Ketika menamatkan Pendidikan di SMAK Ndao, saya diajak oleh salah seorang frater untuk menjadi frater Bunda Hati Kudus namun saya menolak tawarannya. Hal ini karena saya tidak mau menjadi frater kekal, saya inin menjadi seorang imam. Akhirnya saya melanjutkan panggilan saya di Kelas Persiapan Atas San Paulo-Mataloko. Awal masuk di KPA Mataloko, saya mengalami kekeringan panggilan karena keinginan untuk melanjutkan panggilan ini bukan atas kemauan saya melainkan atas kemauan sang bunda. Saya terpaksa saja menjalankan panggilan dengan sangat berat hati. Namun seiring berjalanya waktu, saya selalu dikuatkan oleh RP, Yanto Ndona, O.Carm. ia selalu mengatakan bahwasanya panggilan mengikuti Yesus selalu penuh dengan tantangan dan berat. Namun yesus sendiri yang akan membantu dan membimbing siapa saja yang mau mengikutiNya. Awal tahun 2015 pada bulan Februari tanggal 17, saya mendapat kabar dari bapak bahwa adik saya meninggal dunia. Ia meninggal dunia dengan cara yang begitu tragis yakni dengan menggantung diri. Kabar ini saya dapat dari RP, Yanto Ndona. Pater Yanto sekali lagi menguatkan saya. Ia memeluk saya dan mengatakan bahwa saya kuat dan bisa melewati cobaan ini. Sesampainya di rumah, saya disambut oleh senyuman manis dari sang bunda. Senyuman mama menguatkan saya dan kerabat dekat heran bahwasanya saya tidak menagisi kepergian adik tercinta. Saya memegang kuat nasihat dari Pater Yanto. Ibadat pemakaman dilakukan oleh saya. Bapak berpesan agar saya tetap menjalani panggilan dengan bersukacita dan jangan ragu akan panggilan Tuhan. Bagi bapak, saya telah dewasa karena dapat melewati cobaan ini dengan lapang dada. Tahun 2015 pun saya menamatkan Pendidikan di KPA Mataloko dan melanjutkan pendidikan di Tahun Orientasi Rohani St. Damian Nela. Di sana saya bertemu banyak kawan dari tamatan seminari. Bagi saya mereka adalah anak-anak pintar dan saya merasa gelisah karena mereka beda dari saya. Mereka pintar dan saya tidak. Namun saya tetap mempercayakan semuanya itu dalam tangan Tuhan. Saya yakin Ia selalu menyertai saya. Ia selalu dan masih berada di samping saya. Penerimaan Jubah dan Jalan Suci Tahun 2016 adalah tahun dimana saya menerima pakaian rohani atau jubah. Saya bersukacita akhirnya keingian tercapai. Jubah bagi saya adalah pemberian Tuhan yang istimewa dan harus dijaga. Ada seorang pastor yang selalu mengingatkan saya untuk menjaga jubah itu agar tak pernah noda. Noda dalam artian jangan meninggalkan atau melepasnya. Pada tahun 2020 saya menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Yoseph Naikoten. Pengelaman yang berharga dalam masa ini yakni saya selalu dikuatkan oleh Romo Andre Alo’A. beliau selalu mengajarkan saya untuk hidup ugahari dan selalu berpasrah pada Bunda Maria. Romo Andre dengan jiwa kebapaanya, selalu mengajarkan saya untuk lebih mencintai orang miskin daripada yang lain. Ia selalu memberi masukan dan motivasi bagi saya. Pernah suatu hari saya tidak mengikuti misa pagi. Ia memanggil dan meninju perut saya serta memberi saya motivasi. Ia berpesan bahwa Ekaristi adalah puncak dari kehidupan manusia dan menggereja. Jangan sekali-kali meninggalkan Ekaristi. Dari Romo Andre, saya belajar untuk selalu setia dan mencintai Ekaristi. Ekaristi harus menjadi pegangan bagi saya yang adalah seorang calon imam. Tahun 2021, Ibunda saya meninggal dunia; Romo berpesan pada saya untuk tetap berserah diri pada Bunda Maria. Pengelaman pahit ini menjadi kekuatan tersendiri bagi saya. Saya memaknai pengelaman ini sebagai titik awal saya menemukan Tuhan dan lebih dekat dengan Tuhan. Motto tahbisan “Jangan takut, percaya saja. Merupakan refleksi akan pengalaman-pengalaman yang pernah saya alami. Bagi saya, Tuhan selalu menjaga saya. Ia selalu memeluk saya dan selalu mengandeng tangan saya. Saya percaya bahwa Ia tidak pernah meninggalkan saya. Tahun 2022 saya mengakhiri Masa Tahun Orientasi Pastoran (TOP) di Paroki St. Yoseph-Naikoten.

Diakon Chosmas Oswyn Koba Read More »

Diakon Vincentius Namapadji Kopong Daten

Ketika mengenang perjalanan saya menuju imamat, saya menyadari bahwa perjalanan tersebut dipenuhi oleh berbagai cobaan dan anugerah. Namun, dengan penuh syukur, saya bisa mengatakan bahwa sebagian besarnya adalah anugerah. Saya mengingat usaha keras orang tua saya dalam mendidik iman saya dan saudara-saudara saya. Saya bersyukur atas teladan hidup beriman yang luar biasa yang saya terima dari keluarga,  lingkungan tempat saya tumbuh, dan orang-orang yang telah membentuk serta mempersiapkan saya untuk menanggapi panggilan dalam pelayanan imamat. Selain itu, saya merasa beruntung berasal dari Paroki Sta. Maria Mater Dolorosa SoE, salah satu wilayah paroki di Keuskupan Agung Kupang, yang subur akan panggilan. Banyaknya imam dan biarawan/biarawati yang berasal dari paroki ini memotivasi banyak anak untuk merasakan panggilan yang sama. Saat diminta untuk menuliskan refleksi panggilan saya ini, alasan saya masuk seminari, dan ketertarikan saya untuk menjadi seorang imam. Pertama-tama saya harus mengakui bahwa hal itu sulit dijelaskan secara menyeluruh. Panggilan ini tetap merupakan misteri, bahkan bagi saya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa menjelaskan jalan Tuhan? Tidak ada yang benar-benar tahu. Motivasi awal saya masuk ke Seminari bukanlah karena keinginan untuk menjadi seorang imam. Saat menjelang lulus SMP, saya bersama beberapa teman seangkatan mendaftarkan diri ke pastor paroki saya waktu itu untuk masuk Seminari. Mungkin bagi teman-teman saya yang lain, alasan mereka ingin masuk Seminari adalah memang untuk menjadi imam. Namun, bagi saya, saat itu saya ikut mendaftar karena saya sendiri bingung ingin melanjutkan pendidikan di mana setelah lulus. Selain itu, saya melihat banyak teman dan kakak kelas dari SMP kami yang memilih melanjutkan pendidikan ke Seminari setelah lulus. Ketika Pastor Paroki bertanya, “apakah kamu mau masuk Seminari?” Saya menjawab, “ia romo, saya mau!” tanpa motivasi seutuhnya untuk menjadi imam. Saya tertarik untuk mendaftar karena ada banyak teman yang juga mau, ditambah lagi kakak kandung saya sudah lebih dahulu bersekolah di Seminari. Kehidupan Seminari yang Menumbuhkan Panggilan Ketertarikan saya untuk menjadi imam justru tumbuh dan berproses ketika saya sudah beberapa tahun menjalani pendidikan dan pembinaan di Seminari Menengah. Hubungan persaudaraan dengan teman-teman seangkatan saya adalah momen yang sangat saya hargai sebagai seorang seminaris. Seminari adalah tempat di mana seseorang dapat menemukan Gereja masa depan. Saya sangat bahagia diberi kesempatan menjadi bagian dari Gereja masa depan itu. Bersama dengan para seminaris lainnya, seluruh lingkungan Seminari bagi kami adalah tempat untuk mempelajari kebijaksanaan dan kebenaran surgawi. Di sini, saya mulai jatuh cinta dengan kehidupan di Seminari. Tahun-tahun saya di Seminari membentuk saya menjadi seseorang yang lebih baik dan mengajari saya cara menjadi murid yang lebih baik. Saya teringat akan perjumpaan saya dengan sebuah kertas usang yang entah kenapa ada di lorong menuju kapel Seminari. Entah kenapa juga harus saya yang mengambilnya. Kertas usang itu berisikan kata-kata St. Leonardus dari Porto Mauritio, bunyinya demikian “Bahasa manusia atau malaikat manakah yang dapat menggambarkan kuasa yang tak terukur seperti yang dilakukan seorang imam dalam perayaan ekaristi? Siapakah yang dapat membayangkan bahwa suara manusia, yang secara kodrat tidak memiliki kuasa bahkan untuk mengangkat jerami dari tanah, memperoleh melalui Rahmat, sebuah kekuatan yang luar biasa sehingga dapat membawa Putera Allah dari surga ke bumi?” Jika tadi saya hanya sebatas jatuh cinta pada kehidupan di seminari, perjumpaan dengan kertas usang itu membuat saya mulai jatuh cinta pada panggilan menuju imamat. Saya tahu bahwa pada suatu titik dalam hidup saya, saya menyadari bahwa menjadi seorang imam adalah sesuatu yang istimewa. Betapa istimewanya itu, sehingga hanya mereka yang memiliki martabat imamat lah yang dapat mengucapkan doa konsekrasi yang sama dengan yang diucapkan Yesus beribu-ribu tahun yang lalu. Ya, panggilan imamat adalah karunia yang berharga. Jadi saya terus-menerus bersyukur kepada Tuhan atas karunia panggilan saya yang berharga ini.  Sejak saat itu, doa dan harapan saya setiap membuat tanda salib saat masuk dan keluar gereja adalah “Tuhan, saya mau jadi imam. Bantu saya!” Dari Kupang ke Tanjungkarang Beberapa tahun terakhir ini, Keuskupan Agung Kupang (KAK) telah mengirim misionaris dalam negeri ke beberapa keuskupan: Padang, Palembang, Sorong, Manokwari, dan Tanjung Selor. Untuk Tanjungkarang, ini yang pertama. Perutusan ini merupakan salah satu aspek dari refleksi sinodal yang diminta oleh Paus Fransiskus. Ini merupakan perwujudan misi KAK setelah mengalami proses sinodal berjalan bersama dalam persekutuan, partisipasi, dan misi sejak 2021-2023. Dengan demikian, Gereja KAK melaksanakan misi melalui perutusan para misionaris KAK dalam bingkai kesatuan Gereja universal. Keuskupan yang surplus imam untuk membantu keuskupan lain yang membutuhkan. Dari perspektif ini, Gereja KAK telah mewujudkan semangat sinodal berjalan bersama dalam aspek misi. Beberapa bulan menjelang tahbisan diakonat di Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui-Kupang, kami dipanggil satu per satu dan ditanyai kesiapan dan pandangan kami perihal misi ini. Sebagai seorang yang akan mengucapkan janji untuk taat pada uskup, saya menjawab, “Ya, saya bersedia untuk mendukung semua program dari keuskupan. Saya bersedia diutus jika ada keuskupan yang membutuhkan dan meminta. Namun dengan satu syarat, saya mau ditahbiskan menjadi imam di sini, di Keuskupan Agung Kupang”. Beberapa minggu sebelum tahbisan, saya dipanggil lagi dan diberitahu bahwa saya akan ditugaskan ke Keuskupan Tanjungkarang dan akan ditahbiskan menjadi imam di sana. Perasaan berkecamuk seketika muncul dalam diri saya. Saya menyesali waktu di mana saya memberikan jawaban “bersedia untuk diutus”. Harusnya jawaban saya waktu itu adalah “tidak bersedia”. Saya mulai mengkhawatirkan dan mencemaskan kesiapan saya untuk itu. Saya takut harus meninggalkan kenyamanan saya di KAK. Saya cemas harus meninggalkan begitu banyak orang yang mengasihi saya. Saya menyesal kenapa harus ditahbiskan menjadi imam di keuskupan orang. Begitu banyak orang yang mengenal saya, mendukung dan menemani saya dalam perjalanan imamat, tidak akan bisa menyaksikan tahbisan saya secara langsung. Saya menyesal, kenapa perasaan ini baru muncul ketika keputusan sudah ditetapkan. Sejujurnya, saya takut. Mengetahui bahwa saya mengalami tekanan yang luar biasa, salah seorang romo formator kami, seorang imam senior di KAK yang kini berusia 82 tahun, memanggil saya. Usianya menunjukkan bahwa ia telah melewati pahit manisnya perjalanan hidup maupun imamat. Seringkali dia meminta bantuan saya untuk mengemudikan mobilnya, baik untuk pergi pelayanan maupun sekedar membeli obat. Di atas mobil dia menanyakan kesiapan saya untuk bermisi di keuskupan Tanjungkarang. “Apakah kamu siap?” “Kapan kalian berangkat?” dan masih banyak lagi. Semua pertanyaan itu tidak ada satupun yang saya jawab. Sampai

Diakon Vincentius Namapadji Kopong Daten Read More »

Temu Akbar Komunitas Kerasulan Kerahiman Ilahi Keuskupan Tanjungkarang: “Jangan Berhenti Di Sini”

Temu Akbar Komunitas Kerasulan Kerahiman Ilahi (KKKI) Keuskupan Tanjungkarang digelar di Gereja Paroki St.Kristoforus Bakauheni, Sabtu, 5 Oktober 2024.  Satu jam sebelum Perayaan Ekaristi dilantunkan lagu-lagu pujian dan doa koronka. Ada yang mengikuti di dalam gereja tetapi ada pula yang di luar gereja. Syukurlah hujan yang smpat mengguyur deras itu berhenti tepat waktu. Perarakan dimulai. Dua belas vandel kelompok devosional dan barisan para romo menuju altar diiringi lagu St. Faustina. Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Uskup Tanjungkarang Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmojo ini bertema: “Bersatu Hati Untuk Menghadirkan Kerahiman Allah Dan Melangkah Bersama Dalam Pelayanan Kasih Tanpa Batas.” Temu Akbar ini diikuti sebanyak 1.450 orang. Mereka datang datang dari berbagai paroki di Keuskupan Tanjungkarang. Tidak Berhenti Di sini Pamong KKKI Keuskupan Tanjungkarang Cecilia Tresnaningsih dalam kata sambutannya mengatakan, pengumpulan dana diadakan dengan jimpitan. Sedikit demi sedikit. Hasilnya, luar biasa. Karena semua dicukupkan oleh Allah. Ia berharap, semakin hari para devosan semakin meneladani St. Faustina. Hiduplah penuh syukur dan terimakasih. Mari kita mengandalkan Allah dan tidak berhenti di sini. Setelah kita pulang ke rumah, kita lanjutkan karya pelayanan. Biarlah Allah yang menggenapinya. Ke depan, semoga kita semakin guyub dan bersatu hati. Selain itu, kebersamaan kita ini menjadi sukacita bersama dan berlanjut terus dalam kehidupan sehari-hari, tambahnya. Moderator KKKI Pastor Vincentius Anggoro Ratri SCJ, mengatakan semoga tema yang diusung dalam even ini merupakan langkah awal untuk berjalan ke depan sebagai sebuah keluarga dan komunitas. “Semoga para devosan Kerahiman Ilahi semakin menghadirkan kasih Allah melalui jalan pelayanan,” ujarnya. Miniatur Indonesia Kegiatan akbar ini bekerja sama dengan pemerintahan desa. Sehingga mendapat izin untuk mengadakan pertemuan yang dihadiri ribuan orang. Semalam sebelum acara berlangsung, Kepala Desa Sukirno, menggerakkan warganya untuk terlibat. Ibu-ibu membantu memasak. Dan bapak-bapak memasang umbul-umbul di sepanjang jalan menuju gereja.  Suasana guyub dan rukun mengawali momen akbar ini. Maka, dalam acara ramah tamah hadir Kepala Desa Sukirno, Ketua RT dan RW. Lanjut Uskup Avien, Bakauheni ini merupakan desa kerukunan. Desa Pancasila. Desa Percontohan. Desa Wisata. Maka, dapat disebut sebagai:  miniaturnya Indonesia. Bakauheni juga memiliki banyak potensi. Maka, silakan dimanfaatkan. Banyak tempat wisata seperti: menara siger dan Krakatau Park. Lokasinya berada di ujung  Lampung. “Kalau pergi ke Jawa, pastilah berhenti di tempat ini untuk istirahat sambil menikmati alam dan suasana masyarakat yang ramah,” kata Uskup. Acara ini dimeriahkan dengan berbagai tampilan menarik para devosan dari setiap stasi.  Potong tumpeng sebagai ucapan syukur. ***   Tulisan ini juga dimuat di Malajah Nuntius Sr. M. Fransiska FSGM                   

Temu Akbar Komunitas Kerasulan Kerahiman Ilahi Keuskupan Tanjungkarang: “Jangan Berhenti Di Sini” Read More »

Keuskupan Tanjungkarang

keuskupantanjungkarang.org adalah website resmi Keuskupan Tanjungkarang yang dikelola langsung oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Tanjungkarang

Kritik, usul, dan saran dapat menghubungi kami melalui komsosktjk18@gmail.com

Lokasi Kantor Keuskupan Tanjungkarang

© 2018-2024 Komsos Tanjungkarang | Designed by Norbertus Marcell

You cannot copy content of this page

Scroll to Top