Hari ini adalah hari penuh syukur atas kesetiaan Tuhan. Rm. Ambrosius Dhani Indrata SCJ merayakan 50 Tahun Imamat, di Paroki Ratu Damai, Teluk Betung, Bandar Lampung. Selasa, 6 Desember 2022.
Provinsial SCJ, Rm. Andreas Suparman SCJ memimpin Perayaan Ekaristi ini didampingi oleh Rm. Yohanes Samiran SCJ dan Rm. Dhani, yang berpesta. Hadir Uskup Emeritus Aloysius Sudarso SCJ. Tiga puluh imam ikut memeriahkan Perayaan Syukur ini
Sederhana
Rm. Dhani, sapaan akrabnya, terlahir di Yogyakarta, 12 April 1944. Anak ke tiga dari empat bersaudara ini buah cinta dari Yohanes Parikin Sarirejo dan Elisabeth Parinem Sarirejo.Benih-benih panggilan tumbuh bersemi di sanubari Dhani kecil berkat cinta dan peran orangtua yang melahirkannya. Keluarga Parikin hidup dalam kesederhanaan.
Keluarga Dhani kecil hidup dalam ‘abangan’, Bahasa Jawa yang artinya, belum beragama secara definitive. Maksudnya, menjalankan sholat tidak, membuat tanda salib pun tidak. Muslim tidak, Katolik pun juga tidak. Meski ayahnya, Parikin Sarirejo, saat itu sudah banyak mengenal romo.
Bergeming
Suatu hari Parikin Sarirejo pernah diminta agar bertemu dengan pastor paroki supaya dibabtis. Bahkan, dijanjikan akan diberi fasilitas berupa pekerjaan. Namun, Parikin tetap bergeming. Ia tak mau. Tidak siap, begitu ungkapnya dengan jujur.
Seiring waktu, kakaknya Rm. Dhani yang pertama di babtis di keluarga itu. Disusul Dhani kecil, yang saat itu duduk di kelas V SD (11 tahun). Setelah menyelesaikan Sekolah Rakyat (SR), sekarang Sekolah Dasar (SD), Dhani kecil, ditanya oleh kakaknya yang saat itu menjalani pendidikan guru di Muntilan, apakah tidak ingin menjadi seorang romo.
Bersama Superior SCJ Wilayah Lampung Rm. Y. Sukamto SCJ
Pertanyaan kakaknya itu, semakin mendorong Dhani kecil untuk menjadi seorang imam. Lalu ia memberanikan diri mengutarakan keinginannya itu pada orangtuanya. Tanpa tawar-menawar, ayahnya langsung mendukungnya. Saat itu ayahnya sedang persiapan untuk dibabtis. Oleh ayah, Dhani kecil dihantar ke pastor paroki. Lalu ke Seminari St. Paulus Palembang lewat Mgr. Albertus Hermelink Gentiaras SCJ. Saat itu Rm. Dhani SCJ masuk seminari Palembang bersama temannya, Rm. Ignatius Ciptaharsaya SCJ.Mozaik kehidupan keluarga Parikin Sarirejo ini, menyiapkan Dhani kecil menanggapi jalan panggilan imamatnya.
Setia
Perjalanan 50 tahun imamat bukanlah waktu yang singkat. Banyak hal telah terjadi. Dan Tuhan memang membiarkan semuanya terjadi. Agar semakin nyatalah kuat kuasa-Nya.
Lewat pelayanan kepada umat, menjadi salah satu faktor Rm. Dhani setia pada panggilannya. Terlebih dalam pelayanan dua sakramental yakni: Sakramen Permandian dan dan Sakramen Perkawinan.
Ketika membabtis, Rm. Dhani senantiasa menjelaskan kepada umat, bahwa dibabtis sekali untuk seumur hidup. Sekali Katolik, tetap Katolik. Begitu pula saat memberkati perkawinan. Sekali mengikat janji perkawinan, satu kali untuk seumur hidup. Pelayanan dua sakramental ini dilakukannya dengan sungguh-sungguh, tidak sekedar upacara saja.
Ini menjadi salah satu pijakan kuat Rm. Dhani untuk setia dalam panggilan. Kalau saya mengajarkan orang lain untuk setia, maka saya juga harus setia pada janji imamat saya. “Apa yang kamu percaya, kamu ajarkan. Apa yang kamu ajarkan, kamu lakukan.
Enjoy
Bagi Rm. Dhani hidup itu mengalir. Jadi, tantangan tidak dipandang serius sebagai hal yang menakutkan dan dirasa berat. Pokoknya, jalani saja, seberat apa pun tugas perutusan, lama-kelamaan kita pasti dapat menikmatinya.
Sepanjang 50 tahun imamat, Rm. Dhani SCJ tidak pernah merasa jenuh atau bosan. Resepnya, semua dijalankan dengan segala daya kekuatan yang ada, tanpa banyak pertimbangan. Semua akan terasa enjoy. Melayani umat juga harus dengan hati tulus. Kalau tidak tulus, membuat kita malas.
Rm. Dhani Indrata SCJ, tinggal di Rumah SCJ, di Jln. Dr. Cipto Mangunkusumo, Telukbetung. Di masa lanjut usianya, ia mendapat tugas perutusan sebagai Pendamping Rohani bagi para Devosan.
Baginya, tugas pelayanan itu cukup menantang. Artinya, Rm. Dhani tidak bisa menutup-nutupi diri agar tampak suci. Ia melayani ada adanya, sejauh menghayati panggilan imamatnya. Meski begitu, di satu sisi, tantangan ini justru memurnikan dan menyuburkan hidup rohaninya sebagai orang Kristiani Katolik dan Imamatnya.
Daun kates
Menjadi romo itu pastilah berpindah-pindah tempat tugas perutusan. Tak bisa memilih tempat. Tak bisa pula memilih siapa konfrater yang akan tinggal bersama kita. Rm. Dhani sendiri menjalani tugas panggilan tidak pernah dengan rasa senang atau tidak senang. Krasan atau tidak krasan. Semua dijalani sejauh ia bisa jalani. “Sejauh saya bisa merasakan, saya rasakan, tetapi bukan krasan,” ujarnya.
Ketika di tempat tugas perutusan yang baru dan tak jarang umat bertanya, apakah Rm. Dhani sudah krasan di tempat ini. Romo yang berumur hampir kepala delapan ini, senantiasa menjawab dengan santai, “Bukan krasan, bukan senang. Tetapi, dirasakan. Dibuat senang..”
Jawaban itu ia ibaratkan seperti meminum air papaya. Daun papaya ditumbuk, diberi garam sedikit. Lalu diperas. Airnya diminum untuk obat. Menyembuhkan. Rasanya pahit. Tetapi lama-kelamaan kita bisa menikmati rasa pahitnya itu. Dan, tidak merasakan pahitnya lagi.
Seperti itulah Rm. Dhani menjajaki jalan-jalan panggilan hidupnya. Semua dirasakan. Semua dibuat senang… Satu yang ia yakini, Tuhan tidak pernah meninggalkannya. ***
M. Fransiska FSGM